BatamNow.com – Setelah Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa, kini giliran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diminta melakukan audit menyeluruh atas proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Batam.
Desakan audit datang dari sejumlah aktivis antikorupsi dan pemerhati kebijakan publik di Batam, yang menilai proyek ini sudah terlalu lama tertunda tanpa kejelasan manfaat.
Ketua DPP Kepri LI-Tipikor dan Hukum Kinerja Aparatur Negara, Panahatan SH meminta, “BPK segera melakukan audit investigatif terhadap penggunaan dana soft loan Korea untuk proyek IPAL Batam. Proyek ini sudah berjalan lebih dari 8 tahun, molor dari target awal 2020, dan sampai sekarang tidak jelas sudah berapa persen yang benar-benar berfungsi”.
Sama dengan Panahatan, Junaedi SH, pemerhati anti korupsi juga mengkritisi keras terkatung-katungnya perampungan proyek ini.
Menurutnya, proyek ini memiliki sejumlah tanda-tanda yang mencurigakan, mulai dari revisi kontrak yang berulang, perpanjangan waktu pengerjaan hingga 2025, hingga tidak jelasnya nasib 11.000 sambungan rumah tangga yang seharusnya sudah aktif difungsikan.
Selain itu, naiknya pokok pinjaman dari USD 50 juta USD menjadi USD 54,5 juta memicu pertanyaan di saat proyek mandek.
Proyek ini dibiayai oleh pinjaman luar negeri dari Korea Selatan senilai USD 54,5 juta tersebut atau setara sekitar Rp 900 miliar dengan asumsi kurs Rp 16.565 per dolar AS.

Dibayari Pinjaman, Tapi Hasilnya Belum Terasa
Sebagai informasi, proyek IPAL Batam dikerjakan oleh BP Batam, dengan kontraktor Hansol Paper Co., Ltd., dan konsultan Sunjin Engineering & Architecture, keduanya dari Korea Selatan
Sementara pendanaan pun berasal dari pinjaman lunak Economic Development Cooperation Fund (EDCF) yang dikelola oleh Korea Eximbank.
Pinjaman ini merupakan hasil perjanjian antar-pemerintah (G2G) dan dicairkan melalui Kementerian Keuangan RI.
Satu sumber terpercaya mengatakan setelah masa grace period 5 tahun berakhir pada 2022, Pemerintah Indonesia mulai mencicil pokok dan bunga pinjaman ini.
Namun, proyek yang dimaksud masih jauh dari selesai dan belum memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Batam.

BPK Diminta Transparan dan Independen
Desakan terhadap BPK dilandasi oleh kekhawatiran publik bahwa penggunaan dana luar negeri di Batam rawan penyimpangan.
Terlebih, sebelumnya proyek revitalisasi dermaga Pelabuhan Batu Ampar — juga di bawah BP Batam — telah menyeret sejumlah pihak menjadi tersangka atas dugaan korupsi proyek pendalaman kolam.
“Setelah skandal Dermaga Utara Batu Ampar, kita tidak ingin proyek IPAL menyusul kasus dugaan korupsi Pelabuhan Batu Ampar, Batam,” kata Sasangko, tokoh masyarakat Batam, pensiunan aparat penegak hukum ini.
Ini, katanya, urusan hajat hidup masyarakat dan uang publik.
“Jika ada indikasi kerugian negara, BPK harus hadir dan menjelaskan kepada rakyat,” kata Junaedi.
Sasongko juga menekankan bahwa permintaan audit ini bukan untuk mencari kambing hitam, melainkan untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi penggunaan uang negara dan pinjaman luar negeri.

Butuh Aksi Serius, Bukan Janji Manis
Sebelumnya, BP Batam menjanjikan proyek IPAL ditargetkan selesai pada Oktober 2025, setelah janji berulang sebelumnya.
Namun publik mulai pesimis karena penyelesaian proyek telah tertunda lebih dari beberapa tahun dari jadwal awal.
Sejumlah tokoh masyarakat bahkan mempertanyakan mengapa Korea Selatan tetap menambah nilai pinjaman menjadi USD 54,5 juta, padahal proyek belum menunjukkan hasil signifikan.
“Bukan hanya BP Batam, tapi EDCF Korea seharusnya menjelaskan kenapa proyek ini dibiarkan berlarut. Jika ini proyek kerja sama internasional, maka harus ada standar dan akuntabilitas internasional pula,” tambah Junaidi.
Baik EDCF maupun BP Batam bungkam ketika dikonfirmasi media ini terkait terkatung-katungnya penyelesian proyek ini.
Konfirmasi ke BP Batam ditujukan ke Deputi/Anggota Bidang Pelayanan Umum, Arystuti Sirait; Direktur Fasling & SPAM, Iyus Rusmana; serta Kabiro Umum, Muhamad Taofan, namun tak ada respons. (Red)

