BatamNow.com, Jakarta – Tim Hukum Solidaritas Nasional Untuk Rempang (THSNUR) siap membawa konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, ke pengadilan internasional, bilamana pihak-pihak yang terkait dengan persoalan itu tetap memaksakan kehendak melakukan investasi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah turun-temurun bermukim di sana.
THSNUR melayangkan somasi kepada 10 pihak yang dinilai terlibat langsung pada konflik di Rempang yakni, Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) RI, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) RI, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN RI, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), Kepala Kepolisian RI, Panglima TNI, dan Wali Kota Batam.
Presiden Jokowi dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) atas tindakan faktualnya, yakni: terlibat dalam penandatanganan perjanjian kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan Xinyi Glass asal Cina terkait pengelolaan industri kaca dan panel surya di Rempang.
Tim Hukum menilai, perjanjian tersebut melanggar hukum dan HAM karena mengabaikan hak-hak tradisional masyarakat pada 16 kampung tua di Pulau Rempang. “Objek yang diperjanjikan merupakan hak masyarakat Rempang yang diakui oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan UU Pokok Agraria. Selain itu, perjanjian tersebut melanggar asas keterbukaan, partisipasi, kepastian hukum, dan akuntabilitas sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),” kata THSNUR, dalam cuplikan somasinya yang diterima BatamNow.com, di Jakarta, Selasa (26/09/2023).
Pemerintah juga dinilai telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak terukur. Misal, ‘sebanyak 80% warga Rempang telah menerima untuk direlokasi’. Faktanya, tidak demikian. Juga pemerintah (Kementerian ATR/BPN) menerbitkan/memproses usulan Hak Pengelolaan kepada BP Batam atas tanah milik warga di Rempang, Kepulauan Riau dan melakukan pengukuran tata batas dan relokasi tempat tinggal masyarakat Rempang, pada 7 September 2023. Padahal, atas tanah yang dimohonkan HPL terdapat hak-hak tradisional masyarakat Rempang yang diakui oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan UU Pokok Agraria.
Lainnya, pemerintah mengeluarkan perintah pengamanan (Polri, TNI & Satpol PP) dalam rangka pengukuran tata batas dan relokasi tempat tinggal warga, pada tanggal 7 September 2023 dan tidak menepati janji pada tahun 2019 untuk menerbitkan SHM kepada warga di kampung tua Pulau Rempang.
THSNUR juga menilai tindakan paksa dari BP Batam yang melakukan pengukuran tata batas telah melanggar HAM, berupa: hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, hak atas identitas, hak atas pekerjaan, dan hak untuk memperjuangkan hidup layak sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Selanjutnya, proses penggusuran paksa (forced eviction) terhadap 16 Kampung Tua di Pulau Rempang, Kota Batam dengan disertai dugaan kekerasan dan intimidasi ini jelas telah mengabaikan musyawarah yang tulus, pencarian solusi dan berbagai ketentuan terkait syarat-syarat perlindungan bagi warga terdampak pembangunan yang diatur dalam Komentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak (Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya) atau General Comment No 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11 (1) of the Covenant).
Dijelaskan, sebagaimana Resolusi Komisi HAM PBB 1993/77 dan 2008/24, PBB menegaskan bahwa Penggusuran Paksa (forced eviction) merupakan Pelanggaran HAM Berat (gross violation of human rights); “Affirms that the practice of forced eviction constitutes a gross violation of human rights, in particular the right to adequate housing (Poin Pertama Resolusi Komisi HAM PBB 1993/77)“.
Tindakan aparat kepolisian, kata THSNUR, yang melakukan kekerasan terhadap warga Rempang telah melanggar prosedur pengamanan aksi massa yang berdampak pelanggaran hak kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana diatur dalam UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Selain itu, tindakan aparat TNI melakukan tugas perbantuan dalam penggusuran paksa (forced eviction) terhadap 16 Kampung Tua di Pulau Rempang tidak sesuai dengan peran, fungsi dan tugas TNI, sebagaimana Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (“UU TNI”). Serta tindakan Wali Kota Batam selaku atasan dari Satpol PP telah melanggar hak kebebasan warga negara.
Karenanya, THSNUR mendesak agar:
- Menghentikan segala upaya penggusuran/pengusiran/pemindahan paksa terhadap masyarakat Pulau Rempang;
- Menghentikan upaya-upaya menakut-nakuti masyarakat melalui Tim Terpadu yang terdiri dari TNI/Polri dan Satpol PP dengan mendatangi rumah-rumah warga;
- Segera menarik mundur semua aparat Polri dan TNI dari Rempang;
- Membatalkan perjanjian kerja sama antara Pemerintah RI dengan PT Xinyi Glass;
- BP Batam serta Polri, TNI dan Pemerintah Kota Batam untuk menghentikan upaya pengukuran batas dan relokasi paksa warga Rempang;
- Jika Presiden, BP Batam, dkk tetap memaksakan upaya relokasi tanpa persetujuan warga Rempang yang berhak atas tanah dan sumber penghidupan, maka kami akan membawa kasus ini pada pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang berat sesuai ketentuan Pasal 9 huruf d dan e UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM jo. Pasal 11 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Ekonomis, Sosial, dan Budaya;
- Menuntut pertanggungjawaban hukum kepada BP Batam, Polri, TNI dan Wali Kota Batam atas tindakannya yang menimbulkan kerugian bagi warga Rempang;
Dengan tegas, THSNUR menyatakan, apabila Presiden RI dkk tidak memiliki itikad baik untuk memenuhi tuntutan kami dalam waktu 10 hari kerja sejak diterimanya surat itu berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (4) UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka pihaknya akan menempuh jalur hukum pidana, perdata, dan administrasi, baik melalui mekanisme hukum nasional maupun hukum internasional. (RN)