Modus suap demi predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terkuak. Penangkapan Bupati Bogor Ade Yasin pembuka tabir.
Ade dicokok KPK karena diduga memberi suap ke pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat (Jabar) demi predikat WTP. Ambyar!
Yang mencengangkan, KPK menduga modus serupa telah terjadi hampir merata di kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah lain. Alamak!
Bila benar dugaan KPK itu, WTP ini tengah “diobral”? Kalau sudah demikian, cuma pelaku pelaku lain belum tertangkap. Tak tertangkap, apakah karena yang mau ditangkap telah menyuap petugas yang hendak menangkap?
“Ngeri-ngeri sedap memang”. Itulah mungkin mengapa KPK mengingatkan atau memberi lampu kuning kepada otoritas pemeriksa keuangan negara itu agar dapat menjalankan fungsinya dengan jujur, tidak menyalahgunakan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik-praktik korupsi. (Publikasi berbagai media)
Bagaimana pun tak dipungkiri bahwa kredibilitas BPK yang dijamin UUD itu kini mengeropos ihwal dari beberapa kasus pegawai BPK yang ketangkap karena suap.
Memang predikat opini WTP atau unqualified opinion dari BPK itu kini menjadi tren bagi instansi penerima. Laris manis.
Selama ini, terbangun satu euforia seolah opini WTP itu satu jaminan bebas korupsi di kantor instansi yang diaudit BPK.
Apalagi jikalau menengok konsep penyerahan bundel pemeriksaan itu oleh BPK pakai acara seremoni segala dan riuh tepuk tangan dengan tawa canda.
Pemahaman pemberian opini WTP dimaknai lain. Dianggap satu prestasi. Padahal jika membaca satu rekomendasi BPK di LHP itu, ada dengan frasa: kondisi itu telah melanggar peraturan ini dan itu, kondisi itu berpotensi merugikan negara, sejumlah aset tetap ini tidak ditemukan lagi dan rekomendasi jelek lainnya. Syukur-syukur temuan lain tak sampai lupa mencatatkannya.
Presiden Jokowi maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berkali mengingatkan kementerian dan lembaga (K/L), pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK bukan berarti jaminan instansi tersebut sudah efisien dan bebas korupsi.
BPK memang bukan lembaga eksekutor. Mereka hanya pemberi opini atau pernyataan profesional pemeriksa (auditor) mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan beberapa kriteria.
Tak jaminan memang. Sebagai contoh, dugaan kasus korupsi di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Kepri yang diungkap Polda di sini.
Terungkap adanya “kongkalikong” dana hibah. Tindakan yang diduga dapat merugikan sekitar Rp 6,2 miliar dari total anggaran Rp 20 miliar. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus itu juga temuan BPK Perwakilan Provinsi Kepri sebagaimana dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan tahun 2020. Sementara Pemprov Kepri mendapat opini WTP dari BPK Tahun yang sama.
Untuk tahun 2020, hampir semua instansi pemerintah daerah di Provinsi Kepri mendapat opini yang sama dari BPK Perwakilan di sini.
Bahkan Pemko Batam menerima opini WTP 9 kali berturut. BP Batam juga dengan 5 kali berturut.
Dari hasil telisik media ini di LHP BP Batam tahun 2020 terlihat jelas bejibun masalah lahan dan aset lainnya yang berpotensi hilangnya pendapatan negara bukan ajak (PNBP) hingga ratusan miliaran rupiah.
Di LHP Pemko Batam juga tampak berbagai “borok” atas laporan keuangan tahun 2020 yang dipaparkan BPK dan sudah di-publish media ini beberapa edisi.
Masih bangga atau mau berlindung di balik WTP-BPK yang diduga KPK sebagian bermodus suap? (*)