Sumpah Pemuda di Era Bonus Demografi: Ancaman Ilusi di Tengah Potensi Besar - BatamNow.com Verifikasi
BatamNow.com
  • Beranda
  • Pilihan Editor
  • Akal Sehat
  • Opini
  • Wawancara
  • Politik
  • Ekonomi
  • Internasional
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Pilihan Editor
  • Akal Sehat
  • Opini
  • Wawancara
  • Politik
  • Ekonomi
  • Internasional
No Result
View All Result
BatamNow.com

Sumpah Pemuda di Era Bonus Demografi: Ancaman Ilusi di Tengah Potensi Besar

28/Okt/2025 15:09
Sumpah Pemuda di Era Bonus Demografi: Ancaman Ilusi di Tengah Potensi Besar

Rikson Pandapotan Tampubolon, S.E., M.Si., Dosen; Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policies; Konsultan; Pengamat Kebijakan Publik. (F: Dok. Pribadi)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke Facebook

Oleh: Rikson Pandapotan Tampubolon, S.E., M.Si.
Mantan Pengurus Pusat GMKI 2014–2016; Mantan Ketua GAMKI Batam dan Kepri; Ketua Komisi Pemuda Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Kepri; Akademisi di Kota Batam; Analis Batam Labor and Public Policy (Balapi)


Hampir satu abad sejak Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, gema “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” masih terasa.

Namun hari ini, seruan itu bukan lagi hanya simbol persatuan, melainkan panggilan untuk membangun bangsa yang mampu berdiri tegak di panggung dunia.

Indonesia tengah menapaki jalan menuju satu abad kemerdekaannya pada 2045, sebuah momentum yang kita sebut “Indonesia Emas”.

Namun, apakah kita benar-benar sedang menuju masa keemasan, atau hanya mengulang ilusi kejayaan yang tak kunjung tiba?

Menurut World Bank Country Report on Indonesia (2024), tingkat pengangguran pemuda usia 15–24 tahun masih bertengger di angka 13,14 persen, sementara prevalensi stunting nasional mencapai 19,8 persen (Badan Kebijakan Kesehatan, 2024).

Dua angka ini seolah menggambarkan jurang antara potensi dan kenyataan.

Kita memiliki bonus demografi terbesar dalam sejarah, namun kualitas sumber daya manusianya belum siap menanggung beban masa depan.

Alih-alih menjadi berkah, bonus demografi berisiko berubah menjadi “bom sosial” jika tidak dikelola dengan arif dan bijak.

Bonus Demografi: Antara Harapan dan Ancaman

Bonus demografi memang disebut-sebut sebagai window of opportunity—ketika jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar daripada usia nonproduktif.

Namun, sejarah global menunjukkan bahwa “bonus” hanya menjadi keuntungan bagi negara yang siap secara pendidikan, kesehatan, dan struktur ekonomi.

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok sukses karena memadukan disiplin sosial dengan investasi besar-besaran pada pendidikan serta industri berbasis teknologi.

Indonesia belum sampai ke sana. Asian Development Bank (2024) mencatat bahwa sekitar 60 persen tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal, dengan produktivitas rendah dan perlindungan kerja yang minim.

Sementara itu, kelas menengah yang selama ini menjadi penopang stabilitas ekonomi justru menyusut. Analisis Financial Times (2024) memperkirakan hanya 17 persen penduduk Indonesia kini tergolong kelas menengah, turun dari 23 persen pada 2018.

Kelesuan ini menunjukkan daya beli dan kepercayaan publik sedang melemah—sebuah tanda bahaya bagi pembangunan jangka panjang.

Dari Sumpah ke Realitas: Pemuda dalam Bayang Krisis

Pemuda adalah pusat harapan bangsa, tetapi juga cermin dari kondisi sosialnya.

Seabad setelah Sumpah Pemuda, generasi muda Indonesia berhadapan dengan tantangan baru yang tak kalah berat dari zaman kolonial: pengangguran, ketimpangan, dan kehilangan arah.

Banyak dari mereka mencari pelarian lewat judi online (judol), pinjaman daring (pinjol), atau pekerjaan berisiko tanpa jaminan sosial.

Masalah-masalah itu bukan sekadar kesalahan individu, melainkan cermin dari struktur ekonomi yang belum inklusif.

Kesempatan kerja layak semakin sempit di tengah otomasi dan disrupsi teknologi.

Di saat yang sama, penegakan hukum yang lemah dan korupsi yang kronis membuat keadilan sosial—cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945—semakin jauh dari kenyataan.

Generasi Z kini bukan hanya menuntut pekerjaan, tetapi juga pemerintahan yang transparan dan peka terhadap penderitaan rakyat.

Jangan heran, tagar #kaburajadulu dan #indonesiagelap akhirnya memenuhi beranda media sosial anak muda.

Kondisi global pun tidak bersahabat.

Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok, krisis energi di Eropa, serta perubahan iklim yang memperburuk rantai pasok global, semuanya berimbas pada ekonomi domestik.

Indonesia berpotensi terjebak dalam middle-income trap—jebakan pendapatan menengah—sebuah situasi ketika negara berhenti tumbuh karena gagal naik kelas menjadi ekonomi berbasis inovasi.

Data World Bank menunjukkan bahwa untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia harus tumbuh minimal 6–7 persen per tahun secara konsisten hingga 2045.

Namun, pertumbuhan ekonomi 2024 baru mencapai 5,1 persen (BPS, 2024), dan sebagian besar masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, bukan ekspor atau teknologi.

Dengan struktur ekonomi seperti ini, harapan menjadi negara maju dalam dua dekade ke depan tampak semakin berat.

Jalan Realistis Menuju Indonesia Emas

Lantas, apa skenario realistis menuju Indonesia Emas 2045?

Pertama, investasi besar-besaran pada manusia muda harus menjadi prioritas mutlak.

Pendidikan tak boleh lagi berorientasi pada gelar, tetapi pada keterampilan abad ke-21: berpikir kritis, adaptif, kreatif, dan mampu memecahkan masalah nyata.

Program Merdeka Belajar perlu dihubungkan langsung dengan dunia industri agar tidak melahirkan “sarjana menganggur”.

Kedua, pertumbuhan ekonomi harus inklusif. Peningkatan PDB tidak berarti apa-apa jika tidak diikuti oleh pembukaan lapangan kerja formal.

Kebijakan upah minimum, perlindungan sosial, dan transformasi sektor informal perlu dilakukan agar tenaga kerja muda memiliki kepastian ekonomi.

Ketiga, tata kelola pemerintahan harus diperbaiki. Korupsi yang menggerogoti institusi publik menjadi penghambat utama inovasi dan kepercayaan investor.

Pemerintah harus berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan memperkuat transparansi anggaran, terutama di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan.

Keempat, bonus demografi tidak boleh dipahami sekadar sebagai jumlah penduduk produktif. Kualitas manusia lebih penting daripada kuantitas.

Human Capital Index Indonesia pada 2024 berada di angka 0,54 (World Bank), artinya anak-anak yang lahir hari ini hanya akan mencapai 54 persen dari potensi produktivitas maksimalnya jika sistem pendidikan dan kesehatannya tidak diperbaiki.

Terakhir, nilai-nilai persatuan dan empati sosial perlu dihidupkan kembali. Semangat Sumpah Pemuda harus menjadi energi moral untuk melawan fragmentasi sosial yang kian tajam.

Di era media sosial yang penuh kebencian dan disinformasi, semangat “satu bahasa” harus dimaknai sebagai satu tekad untuk menjaga akal sehat publik dan peradaban dialog.

Harapan atau Ilusi Kolektif?

Data makroekonomi memang menunjukkan perbaikan. Tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 9,03 persen pada Maret 2024 (BPS).

Namun kesenjangan ekonomi tetap tinggi: rasio Gini stagnan di 0,388, menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan belum berkurang signifikan.

Artinya, sebagian besar pertumbuhan masih dinikmati oleh kelompok kecil di perkotaan dan kalangan menengah atas.

Dengan kondisi ini, wajar bila banyak pihak mulai skeptis: apakah “Indonesia Emas 2045” benar-benar realistis, atau sekadar euforia politik jangka panjang?

Presiden Prabowo sendiri pernah menyindir dalam pidatonya bahwa cita-cita Indonesia Emas “jangan sampai hanya jadi omon-omon”.

Kalimat itu, sekeras apa pun, menyentuh akar persoalan: kita sering terjebak dalam obsesi retoris tanpa rencana eksekusi yang terukur.

Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan romantis masa lalu, tetapi peringatan moral agar bangsa ini tidak kehilangan arah.

Generasi muda hari ini tidak hanya butuh inspirasi, tetapi juga keadilan struktural—akses pendidikan, pekerjaan, dan kebijakan publik yang berpihak.

Indonesia Emas hanya akan lahir bila pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil bekerja dalam satu visi: membangun manusia Indonesia yang berdaya, sehat, dan berpikir kritis.

Seperti kata Albert Einstein, “Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.”

Jika kita terus mengulang pola lama—pendidikan yang tak relevan, birokrasi yang korup, dan kebijakan yang tidak berpihak—maka “Indonesia Emas” akan tinggal mitos, bukan milestone sejarah.

Kita perlu menatap 2045 bukan dengan euforia, melainkan kesadaran objektif.

Semangat Sumpah Pemuda harus menjadi kompas moral: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa—dan satu tekad untuk bekerja lebih rasional, adil, dan terukur.

Hanya dengan cara itu, mimpi emas bisa ditempa menjadi kenyataan—bukan sekadar kilau ilusi di balik jargon-jargon kosong. (*)

Berita Sebelumnya

Diskusi Nasional SMSI akan Mengupas Tuntas Media Baru dan UU ITE

Berita Selanjutnya

Romo Paschal Kritik Wamen P2MI “Baru Tahu” Banyak Penerbangan Bawa WNI ke Kamboja

Berita Selanjutnya
Menkopolhukam dan BP2MI Dukung Romo Paschal, Sinyal Buruk bagi Wakabinda Kepri

Romo Paschal Kritik Wamen P2MI “Baru Tahu” Banyak Penerbangan Bawa WNI ke Kamboja

guest
Recipe Rating




guest
Recipe Rating




0 Komentar
Tanggapan
Lihat semua komentar
iklan PLN
iklan AEC
BatamNow.com

© 2021-2024 BatamNow.com

  • Kode Etik Jurnalistik
  • Peraturan Dewan Pers
  • Redaksi
  • Kontak

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Pilihan Editor
  • Akal Sehat
  • Opini
  • Wawancara
  • Politik
  • Ekonomi
  • Internasional

© 2021-2024 BatamNow.com

0
0
Berikan komentar andax
()
x
| Reply