BatamNow.com – Keberadaan Badan Pengusahaan (BP) Batam dituding seperti satu negara yang berada dalam negara.
Tudingan datang dari Petrus Selestinus SH, salah seorang advokat Kantor Hukum 74 & Associates yang tergabung dalam Tim Pembela untuk Keadilan bagi Masyarakat Pulau Rempang-Galang (TPKM Purelang).
Petrus berbicara pada wawancara doorstop oleh wartawan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, beberapa hari lalu saat mendaftarkan gugatan perkara polemik Pulau Rempang ke PN Jakarta Selatan.
Menurut advokat TPKM Purelang itu, BP Batam dalam menjalankan tugasnya dengan seenak sendiri.
“Dia bikin aturan sendiri yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah,” kata Petrus didampingi advokat Drs Alfons Loemau SH MSi MBus dengan yang lainnya.
BP Batam, ujar Petrus, melakukan penggusuran atau relokasi sepihak yang salah terhadap warga Pulau Rempang.
“Seharusnya relokasi itu harus lahir dari produk yang namanya musyawarah. Musyawarah tidak pernah ada,” tambah Petrus.
Menurutnya, yang punya kewenangan memusyawarahkan masalah pemindahan warga Rempang adalah panitia pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang diatur dalam Undang-undang.
Dan tim pembela melihat ada monopoli, sementara undang-undang melarang adanya monopoli.
“Sehingga kita lihat Batam itu, BP Batam itu seolah-olah ada negara di dalam negara,” ujarnya.
Itulah makanya mengapa mereka menggugat dan mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap berbagai pihak ke pengadilan negeri.
“Jadi hari ini kami kuasa hukum dari masyarakat adat Purelang mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum mulai dari pemerintah Republik Indonesia, Otorita Batam dan semua pihak yang terkait dalam perjanjian kerja sama dengan PT MEG Indonesia,” kata Alfons Loemau.
Adapun dasar pengajuan gugatan yang menjadi awal persoalan dimana Otorita Batam belum punya hak secara hukum atas lahan 17 ribu hektar tetapi mereka membuatnya objek hukum dalam perjanjian dengan pihak investor.
MoU atau perjanjian yang dibuat tanggal 26 Agustus 2004 itu dinilai cacat hukum sehingga dalam materi gugatan, pengadilan negeri diminta membatalkan.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada sebelum MoU terjadi sampai dengan kebijakan pembangunan yang sekarang diputuskan sebagai Program Strategis Nasional (PSN), tidak sesuai lagi dengan perjanjian itu.
Lalu Petrus mengungkap perjanjian dibuat tahun 2004, satu kebijakan rencana memindahkan segala macam aktivitas pariwisata dari Pulau Batam ke Pulau Rempang itu dimulai dari tahun 1992.
Setelah MoU itu, pelaksanaannya menggantung. Kemudian mendadak bergeser menjadi pembangunan industri besar pabrik kaca sebagai industri terbesar kedua di dunia yang ada di Indonesia.
Pulau Rempang Berpotensi Beralih ke Pihak Asing
Menjawab wartawan, Petrus mengungkapkan isi MoU itu. Pertama, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang akan didapatkan oleh Otorita Batam itu dialihkan ke investor.
Sementara di dalam SK Menteri Agraria yang memberi HPL tahun 1993 mensyaratkan, antara lain HPL tidak boleh dialihkan kepada pihak ketiga.
Tetapi BP Batam dan PT MEG ini dapat mengalihkan kepada pihak ketiga. “Itu salah satu pelanggaran yang kita lihat,” katanya.
Pelanggaran, karena tidak sejalan dengan SK Menteri Agraria dengan 7 syarat yang harus dipenuhi oleh BP Batam.
Baik sebelum 2004 maupun sampai Menteri Kehutanan kemarin mengeluarkan SK pelepaskan hutan itu kepada BP Batam yang seyogianya tidak boleh mengalihkan ke pihak lain.
Tapi, lanjutnya, dalam perjanjian tahun 2004, pihak lain yang terikat perjanjian dengan BP Batam bisa mengalihkan bahkan lahan yang diserakan ke pihak lain bisa dijadikan jaminan utang termasuk kepada bank asing.
Artinya, katanya, potensi Pulau Rempang ini besok atau lusa bisa beralih ke pihak asing, itu ada diatur di dalam MoU perjanjian itu.
Menjawab wartawan, Petrus mengakui kehadiran mereka mewakili Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang-Galang (Himad Purelang) sebuah LSM berbadan hukum yang selama ini sejak tahun 2008 mengadvokasi masalah Pulau Rempang, Galang, dan pulau-pulau kecil lainnya.
Adapun pihak tergugat, yakni pertama BP Batam atau dulu disebut Badan Otorita Batam sebagai tergugat 1. Tergugat 2: Wali Kota Batam. Tergugat: 3 PT Makmur Elok Graha. Tergugat 4: Presiden . Tergugat 5 adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Sementara turut tergugat 1 adalah Xinyi Glass Holdings Ltd dari Cina, dan turut tergugat 2 adalah notaris.
Petrus juga mengungkit mengapa Presiden ikut digugat dalam perkara ini.
“Apa yang diomongin Presiden tahun 2019 akan melindungi 37 kampung adat, kampung tua, termasuk 16 di Pulau Rempang ini, ternyata tidak terbukti. Sekarang kok mau digusur dan Presiden diam saja,” begitu katanya. (red)