BatamNow.com – Vincent Koh namanya. Begitu ditulis di media online Batampena.com. Edisi Rabu (29/12/2021).
Dia dituntut jaksa penuntut umum (JPU) karena mengedarkan kosmetik tanpa izin alias ilegal.
Proses peradilannya di Pengadilan Negeri (PN) Batam, jelang putusan.
Ada yang menarik memang dalam proses penegakan hukum atas perkara itu oleh para aparat penegak hukum (APH).
“Itulah pemantik mengapa saya sampai mewawancarai seorang akademisi Dr Parningotan Manalu ST SH MH,” kata Joni Pandiangan, Pemred media itu ke BatamNow.com.
Dari hasil wawancara yang dimuat, Parningotan mengkritisi keras tuntutan hukuman ringan oleh jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Vincent Koh. Dia sebut tuntutan JPU itu, tuntutan hukuman ecek-ecek alias main-main.
Parningotan punya dalil, bukankah Vincent Koh diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar atas perbuatannya?
Ancaman hukuman bagi Vincent Koh itu tertuang dalam Pasal 197 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 60 ayat 10 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tapi JPU dari Kejari Batam Desi Sari Dewi justru menuntut Vincent Koh dengan 2 bulan penjara, denda Rp 5 juta, subsider 1 bulan kurungan.
“Saya selaku akademisi sungguh kaget melihat tuntutan yang diberikan jaksa penuntut umum dalam perkara pengedar kosmetik ilegal,” begitu pernyataan doktor hukum ini.
Ia katakan tuntutan yang dijatuhkan JPU di persidangan di PN Batam pada Senin (20/12/2021) benar-benar menggerakkan nuraninya sebagai orang hukum.
“Saya melihat tuntutan jaksa ini sebagai tuntutan ecek-ecek dan membuat saya tidak dapat memahami. Ini benar benar di luar logika hukum,” demikian media itu mengutip Parningotan.
Malapetaka Hukum. Wow!
Mengutip statement pria penyandang gelar akademik doktor dari Universitas Sumatera Utara (USU) itu bahwa perkara kosmetik ilegal di Batam bukan perkara baru.
Dia katakan perkara serupa juga sudah ada yang disidangkan di PN Batam. Meski ancaman hukumannya berat, namun, dia sebut vonis hakim terlalu ringan. Tak membuat jera para pelaku.
Catatan BatamNow.com, pada 25 Mei 2021, PN Batam pernah memvonis kasus yang mirip dengan 1 bulan 15 hari atas terhukum Benny SIM dan Hendra.
Sebelumnya JPU menuntut keduanya 3 bulan dan subsider 1 bulan penjara.
Benny dan Hendra santuy saja menjalani proses peradilan itu karena tidak pernah ditahan dalam penjara. Padahal mengedarkan barang kosmetik secara ilegal.
Parningotan meyakini peredaran kosmetik ilegal, marak dan gampang masuk ke Batam karena kondisi dan posisi kota ini yang strategis.
Maka, ujarnya, ketidakseriusan penegak hukum dalam memberikan sanksi pidana kepada para terdakwa pengedar kosmetik ilegal di Kota Batam, merupakan malapetaka hukum.
Menurut Dosen Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Kota Batam ini barang bukti atas perbuatan pidana dalam perkara Vincent Koh, cukup banyak.
Mengutip laman SIPP PN Batam, ada 5.667 barang bukti terdiri dari 300 item yang diamankan dari Vincent Koh.
Parningotan menegaskan bahwa kosmetik atau sediaan farmasi ilegal merupakan barang-barang yang masuk dalam kategori berbahaya bagi kesehatan manusia.
“Bagaimana kalau barang-barang yang tidak punya izin edar dari Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ini digunakan oleh masyarakat?” ujarnya.
Ia juga menduga bahwa terdakwa Vincent Koh itu melakukan tindak pidana tidak secara perseorangan. Patut diduga, juga melibatkan korporasi. “Tidak mungkin, jika melihat banyaknya barang bukti yang ditemukan itu,” tegas Parningotan.
Itu pula alasan Parningotan menyayangkan JPU tak menyasar korporasinya. Korporasi, katanya, merupakan subjek hukum yang juga harus dipertanggungjawabkan secara ideal di hadapan hukum.
“Kalau jaksa aktif mencari korporasi dalam perkara kosmetik ilegal ini maka bisa saja pidana terhadap korporasi tiga kali lipat dari pidana yang dijatuhkan kepada orang perseorangan,” ucap Parningotan.
Dalam konteks penegakan hukum ia berharap, pada zaman Presiden Jokowi sekarang para penegak hukum seharusnya semakin jujur, profesional dan qualified dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum. “Kasus ini bukan kasus ecek-ecek melainkan kasus kasus besar karena menyangkut kesehatan manusia, kalau ini tidak benar-benar ditangani secara serius oleh penegak hukum maka kosmetik ilegal akan menjamur terus,” ujar Parningotan.
Lewat analisa hukum dia, perkara kosmetik ilegal dengan terdakwa Vincent Koh juga masih bisa dijerat dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Undang-undang 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
Jadi Parningotan berharap kepada jaksa tadinya untuk cerdas dalam membuat surat dakwaan dan surat tuntutan dalam perkara kosmetik ilegal dengan terdakwa Vincent Koh.
Harusnya, kata dia, jangan hanya menggunakan UU tentang Kesehatan saja. “Memang dari semua undang-undang yang saya sebutkan tadi ancaman hukuman yang paling berat itu adalah Undang-undang tentang Kesehatan itu,” ucap Parningotan.
Jaksa Desi Sari Dewi dari Kejari Batam sebagai JPU Vincent Koh tak menjawab konfirmasi BatamNow.com lewat WhatsApp pada Rabu (29/12/2021).
“Langsung menghadap Kasi Intel saja pak,” begitu jawaban chat-nya.
Kasus kosmetik ilegal ini terungkap pada 9 Juni 2021.
Berawal dari informasi masyarakat adanya beredar kosmetik ilegal. Tim dari BPOM Batam mendatangi gudang/toko online Koreanbeauty di Perumahan Bukit Mas Blok C No 20, Kelurahan Lubuk Baja, Batam.
Tim langsung melakukan penggeledahan setelah bertemu dengan Vincent Koh, terdakwa pemilik barang. Kasus ini pun menggelinding hingga ke meja pengadilan. Kini tinggal menunggu putusan mejelis hakim.
Bagi Vincent, meski ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara tapi tak pernah merasakan “masuk gemuk pulang tinggal tulang” dari penjara sejak kasus ini diungkap. Kecuali, barangkali hanya tahanan rumah, tidur di kasur empuk dengan ruang ber-air conditioner. (redaksi)