BatamNow.com – Beberapa warga Kampung Tanjung Banun di Pulau Rempang, Batam, ‘diultimatum’ Surat Peringatan (SP) 2 untuk mengosongkan lahan kebun yang terdampak pembangunan rumah relokasi akibat proyek Eco-City.
SP 2 dengan kop surat Tim Terpadu Pemerintah Kota Batam itu dikirimkan ke rumah beberapa warga pada Selasa (05/03/2024) siang ini.
Warga ditemui wartawan BatamNow.com di Tanjung Banun, mengatakan bahwa surat itu diantar oleh sekitar 6 personel Ditpam BP Batam yang berkeliling kampung.
Salah satu SP 2 yang dilihat kru media ini, surat bernomor 020/TIM-TPD/III/2024 perihal peringatan kedua, tertanggal 4 Maret 2024 dan diteken Moch Badrus Wakil Ketua 2 Tim Terpadu Pengawasan dan Penertiban Terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah Kota Batam.
Poin 3 dalam surat itu menjelaskan, “Bahwa dalam rangka percepatan pembangunan rumah relokasi Proyek Rempang Eco-City di lokasi Tanjung Banun, kepada Saudara/i disampaikan Sura Peringatan II (Kedua) dan perintah untuk segera membongkar/ mengosongkan lokasi dimaksud terhitung mullai tanggal 5 Maret 2024 s/d 12 Maret 2024“.
Poin penutup surat itu mengultimatum, Tim Terpadu akan melakukan pembongkaran/ pengosongan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, bila warga tidak mengindahkan poin 3 pada SP 2 tersebut.
Dalam SP 2 ini, dilampirkan daftar 15 nama warga Tanjung Banun beserta luas persil lahannya.
Sebelumnya mereka juga sudah di-SP 1. Surat itu tertanggal 27 Februari 2024, tapi kata warga, mereka baru menerimanya pada 29 Februari. Saat itu, masih ada 32 nama pada lampiran surat.
Sebagian Masih Pertahankan Lahannya
Beberapa warga yang ditemui di Tanjung Banun, mengaku masih memilih mempertahankan lahan kebunnya meski sudah dikirimkan SP 2.
Mereka menyayangkan, Surat Peringatan ‘ujug-ujug’ dikirimkan. Padahal selama ini, tak ada kesepakatan dalam sosialisasi yang terakhir dilakukan pada 26 Februari di Kantor BP Batam.
“Kok datang SP? Apa yang disampaikan masyarakat itu tanggapi dulu. Bukan putusan yang kita datang ke situ kemarin,” kata warga yang meminta namanya tak ditulis.
Lalu apakah ada diberi opsi menolak pengosongan lahan? “Nggak ada pilihan, tapi malah SP yang datang setelah sosialisasi tanggal 26,” ucapnya.
Selain dia, ada beberapa warga lain yang belum rela melepaskan lahan kebun di Tanjung Banun.
Meski di lain sisi, ada juga warga Tanjung Banun yang sudah menerima keadaan, dan mau mengosongkan lahannya.
“Saya memang mau menjual kebun itu dari dulu,” kata seorang warga yang namanya dulu ada di lampiran SP 1.
Tak Ada Negosiasi, Nominal Ganti Rugi Disoal
Warga Tanjung Banun mengatakan, tak ada ruang negosiasi atas biaya ganti rugi atau santunan atas lahan kebun, tanamannya, maupun bangunan di atasnya.
Pengakuan mereka, nominal ganti rugi dibanderol Rp 14 ribu untuk per meter persegi (m²) tanah kebun.
Sementara untuk ganti rugi tanaman, nominalnya bervariasi. Misalnya pohon kelapa, dikategorisasi lagi.
“Kalau yang baru tanam dihargai Rp 6 ribu sekian per pohon, yang belum menghasilkan dihargai Rp 20 ribu sekian, baru yang sudah menghasilkan di Rp 30 ribu sekian,” kata warga.
Menurut warga, nominal itu tidak sesuai ekspektasi mereka.
Seorang warga yang masih mempertahankan kebunnya, menjelaskan bahwa lahan garapannya yang luasnya tak sampai 1 hektare ditambah tanaman di atasnya, ditawarkan ganti rugi senilai Rp 100 juta lebih.
“Tak silau saya dengan uang segitu,” tukasnya.
Ditegaskannya, kebun di Tanjung Banun itu digarap dan ditanami tumbuhan yang diharapkan kelak menjadi sumber ekonomi untuk menghidupi anak-cucu.
“Bukan berarti saya serahkan ini saya memikirkan masa depan saya. Lebih daripada itu, lebih berfungsi itu. Karena saya memikirkan masa depan, makanya itu saya tanam,” tegasnya.
Bangun Rumah Rp 280 Juta, Ditawar Rp 42 Juta Uang Pengganti
Nelangsa mendera Rusmawati, ibu rumah tangga yang membangun rumah permanen di Tanjung Banun dan terdampak pembangunan rumah relokasi proyek Rempang Eco-City.
Pengakuan Rusmawati, ia ditawarkan Rp 42 juta untuk ganti rugi bangunan rumah, ditambah sekitar Rp 7 juta untuk tanahnya seluas 503,74 meter².
“Harga bangunan rumah saya itu dibilang Rp 42 juta, harga tanah yang saya beli per meter Rp 90 ribu dijadikannya Rp 14 ribu, jadinya Rp 7 juta,” terangnya.
Informasi dari warga, selama ini harga tanah di sana berbeda untuk rumah dan kebun. Lahan tapak rumah, dibanderol Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu.
Sementara yang ditawarkan, tanah dan bangunan Rusmawati ditawarkan ganti rugi sekitar Rp 49 juta. Menurutnya, ia tak akan bisa mendapat tempat tinggal dengan nominal itu.
“Untuk tukang saja tak cukup,” keluhnya.
Menurutnya, nominal ganti rugi itu sangat rendah. “Pokoknya saya habis Rp 280 juta, itu bangunan saja,” akunya.
Kru BatamNow.com mendatangi rumah Rusmawati di Tanjung Banun. Posisinya di tepi kanan jalan, sekitar 400 meter dari simpang tiga memasuki kampung tersebut.
Terlihat, rumah berwarna kombinasi putih dan abu-abu itu dengan material beton. Halaman depan dan sampingnya ditanami bunga.
Di rumah itu, Rusmawati tinggal bersama tiga anggota keluarganya. “Kami ada empat orang,” katanya.
Rusmawati menceriterakan, rumah itu satu-satunya ‘papan’ yang dimilikinya kini. “Jangan kalian ganggu-ganggu,” kata dia kepada personel Ditpam yang mengantar SP 2 tapi tak mau diterimanya.
“Saya mempertahankan hak saya. Kalau saya ada banyak rumah, saya nggak pedulikan rumah ini, ambil lah,” tandasnya.
Sepengatahuan warga, ada beberapa lagi rumah tinggal yang terdampak di atas lahan dirincikan pada lampiran SP 2 Tim Terpadu.
Dalam rilisnya, BP Batam menyebut ada 961 rumah yang akan dibangun di lokasi di Tanjung Banun.
Proyek tersebut sudah dilelang lewat laman LPSE BP Batam. Ditargetkan pengerjaannya dimulai April 2024 dan pada September 2024 dapat ditempati warga Rempang yang setuju direlokasi buntut proyek Rempang Eco-City.
Disebutkan, ada 93 hektare lahan yang dikuasai masyarakat dan hendak digunakan sebagai lokasi pembangunan 961 unit rumah relokasi.
“Untuk SP Pertama, sudah diterbitkan Selasa kemarin. Itu isinya pemberitahuan untuk membongkar sendiri rumahnya. Lahan tersebut, harus segera dikosongkan agar pembangunan 961 rumah warga bisa segera kita laksanakan,” kata Kabiro Humas BP Batam Ariastuty Sirait dalam rilis tersebut.
Dijelaskan juga, warga yang belum bersedia mengosongkan lahan akan dikirimi SP 1 hingga SP 3, lalu diterbitkan Surat Perintah Bongkar (SPB) yang selanjutnya akan dieksekusi Tim Terpadu.
Terkait uang pengganti untuk bangunan hingga tanaman yang tumbuh, lanjutnya, dihitung oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) sesuai dengan NJOP yang telah disepakati oleh seluruh FKPD Kepri dan Batam. Sehingga setiap masyarakat, akan menerima santunan yang berbeda-beda. Sesuai dengan luasan lahan yang dimiliikinya. (D)