BatamNow.com – Warga tempatan di 16 kampung tua di Rempang serta komunitas peternak hingga petani di pulau itu, kompak menegaskan tidak ada masyarakat bagian dari mereka yang menyerahkan aset sebagaimana diklaim BP Batam.
Penegasan itu disampaikan oleh Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) yang diberi mandat oleh 16 kampung tua di Rempang, dalam konferensi pers di Kedai S-One di Komplek Ruko SP Plaza, Sagulung, pada hari ini, Sabtu (02/09/2023). Hadir juga perwakilan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Batam, Komunitas Peternak (Kompak), serta beberapa warga.
Pada Jumat (01/09) malam, di hari BP Batam mem-publish rilis berjudul Sejumlah Aset Milik Masyarakat Rempang Dikembalikan Sukarela Kepada Negara, KERAMAT telah berkoordinasi dan berkonsultasi kepada seluruh perwakilan warga dari masing-masing kampung yang berada di Pulau Rempang, Galang dan Galang Baru.
“Alhamdulillah itu merupakan tidak benar karena kami masyarakat Rempang tetap berkomitmen pada tujuan kami mempertahankan kampung,” tegas Humas KERAMAT Suardi, Sabtu (02/09).
Hingga kini, warga Rempang masih belum tahu pasti siapa sebenarnya orang-orang yang diklaim telah menyerahkan asetnya di pulau tersebut apalagi dinarasikan sebagai masyarakat di sana.
Dugaan mereka, orang-orang tersebut merupakan pengusaha bukan warga tempatan Rempang.
“Kita sangat menyanggah jika itu dipakai atas nama besar masyarakat, kita lebih sepakat penyampaian mereka itu adalah pihak pengusaha yang memang lokasinya sidah di-police line. Tapi kalau untuk masyarakat menyerahkan itu, belum ada,”
Rizal tokoh pemuda di Rempang, Galang, juga memastikan bahwa tidak benar bahwa empat orang yang diklaim menyerahkan asetnya di Rempang bila diklaim sebagai masyarakat tempatan di pulau tersebut.
“Setelah kami tanya ke seluruh pemuda yang ada, seluruh warga masyarakat yang ada di 16 kampung, ternyata mereka tidak ada satu pun yang kenal. Dan itu bisa kami pastikan bahwa itu bukan masyarakat Rempang, Galang,” tegasnya.
KERAMAT juga berharap, karena memang belum ada kesepakatan bersama, maka jangan ada lagi pihak-pihak berupaya memasang patok di lahan masyarakat di Pulau Rempang yang berada di Kelurahan Rempang Cate dan Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang.
Karena takut tanah di kampungnya dipasang patok tata batas hutan, warga Pulau Rempang masih terus berjaga di Jembatan IV Barelang dan pintu-pintu masuk kampung hingga kini.
Dalam rilisnya, BP Batam mengklaim sejumlah masyarakat dan pelaku usaha di Rempang secara sukarela mengembalikan aset yang dimiliki kepada Negara pada Jumat (01/09), di Marketing Center BP Batam.
Penyerahan tersebut secara simbolis diterima oleh Mochamad Badrus Direktur Pengamanan Aset BP Batam selaku Ketua Tim Pelaksana Pendataan dan Sosialisasi Pengembangan Kawasan Rempang.
Diberitakan, 17 ribu hektare lahan di Pulau Rempang, Galang, akan dikembangkan menjadi kawasan industri Rempang Eco-City oleh PT Makmur Elok Graha (MEG).
Warga Rempang sejatinya sangat menyambut investasi di pulau tersebut. Tapi mereka menolak keras digusur/direlokasi dari 16 kampung tua/lama yang sudah mereka tempati bahkan sejak 1834.
Selain itu, warga berharap hak-hak mereka di luar kampung tua diganti untung sesuai kesepakatan lewat musyawarah mufakat.
Warga Rempang telah menempuh banyak cara untuk menyampaikan tuntutan mereka, utamanya penolakan relokasi 16 kampung tua. Mulai dari mendatangi Komnas HAM, DPR RI, DPD RI, bahkan lewat aksi unjuk rasa langsung di depan Menteri Investasi/ Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang berkunjung ke Kelurahan Sembulang di Pulau Rempang, Kecamatan Galang.
Kemudian pada Rabu (23/08), ribuan warga yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Melayu pun menggelar demo di depan Kantor BP Batam. Tuntutan utamanya tetap menolak relokasi 16 kampung tua di Pulau Rempang, Galang.
HKTI Batam: Tak Pernah Diajak Dialog, Terkesan Dipaksakan
Dalam konferensi pers yang sama, Ketua HKTI Kota Batam Gunawan Satari juga menegaskan tidak ada dari anggotanya pelaku usaha pertanian di Pulau Rempang yang menyerahkan aset lahan kepada Negara lewat BP Batam.
“Hingga saat ini belum ada di antara kita kesepakatan untuk menyampaikan ataupun menyerahkan aset secara sukarela. Kami bersama KERAMAT dan warga kampung tua di sana masih sama-sama berjuang dan akan tersu berjuang hingga hak-hak kami itu diberikan oleh pemerintah dengan baik,” ujar Gunawan.
Sama seperti KERAMAT dan warga tempatan di Rempang, Galang, lanjutnya, HKTI dan anggotanya tidak anti terhadap pembangunan. Tetapi mereka minta agar ikut dilibatkan dalam diskusi agar menghasilkan win-win solution.
“Kalau kami warga masyarakat yang melakukan usaha pertanian di sana belum ada satu orang pun yang diajak berdialog apa maunya kami, semuanya searah dan terkesan dipaksakan,” ucap Gunawan.
Ada seribuan warga berprofesi petani yang kini nasibnya belum jelas pasca pemerintah mengumumkan pengembangan kawasan Rempang Eco-City di Rempang, Galang.
“Setiap petani itu sebenarnya anggota juga, cuma yang tergabung resmi saja sudah ada 700 KK atau sekitar 1.400 orang kalau dia suami dan istri,” kata Gunawan.
Wakil Ketua HKTI Kota Batam Rika Sentosa menambahkan, warga petani di Rempang mengusahai lahan di sana dengan memegang alas hak dan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dari kelurahan dan kecamatan.
“Jadi dalam peternakan, perikanan dan pertanian ini melibatkan ribuan masyarakat. Dan juga lahannya itu juga tidak sedikit, setelah ditotal itu mungkin bisa mencapai 500 hektare. Jadi kami meminta ini juga menjadi perhatian,” terang Rika.
Tetiba Peternak di-SP 3 dalam Kurun 2 Minggu
Senada, Komunitas Peternak (Kompak) di Rempang juga menegaskan tidak ada anggotanya yang menyerahkan aset kepada Negara lewat BP Batam pada Jumat (01/09) kemarin.
“Yang kemarin diklarifikasi dari media mengatasnamakan peternak dan tambak, itu bukan bagian dari anggota kita,” ucap Ketua Kompak Rempang Anton Sihombing, Sabtu (02/09).
Peternak di Pulau Rempang, Galang, sudah bertahun-tahun beraktivitas di sana. Tapi anehnya, kata Anton, tetiba baru-baru ini mereka dilayangkan Surat Peringatan (SP) untuk mengosongkan lahan tempat peternakan.
“Itu SP 1 pada akhir bulan Juli, SP 2 awal bulan Agustus, SP3 di minggu pertama Agustus, jadi dua minggu totalnya. Dari Ditpam BP Batam,” urainya.
Pemberian SP 1 sampai SP 3 dalam dua minggu itu mereka nilai tidak manusiawi dan terkesan mengintimidasi.
“Jadi ada keresahan dari peternak dan juga kawan-kawan yang beternak ayam kampung, ayam petelur, ayam pedaging ataupun ayam potong ini berkumpul bersama menyatukan aspirasi dan dibentuklah Komunitas Peternak,” jelasnya.
Merespons ketiga SP dari BP Batam, Komunitas Peternak menyurati balik tapi belum dibalas hingga hari ini. Namun, mereka masih tetap bertahan beraktivitas sebagaimana biasanya.
Sementara sebelumnya mereka tak pernah disurati terkait aktivitas peternakan warga di Pulau Rempang.
Ditambahkan Anton, tak ada juga plang pemberitahuan terkait status lahan di sana. Terkait hal ini juga pernah diklarifikasi Polda Kepri kepada peternak, dan mereka sampaikan memang tidak ada terpasang plang begitupun instansi yang memberitahukan.
Tapi kemudian, barulah lokasi peternakan mereka dipasangi plang. “Plang ini baru ditempel, yang pertama menempel itu pihak Kehutanan menyebut itu Hutan Taman Buru baru yang kedua dari pihak BP Batam isinya menyebut lahan ini milik BP Batam jadi dilarang mengelola tanpa izin,” terang Anton.
Pemasangan plang itu juga dinilainya secara kurang etis karena tanpa izin warga peternak. “Itu pun mereka tempel di kandang-kandang itu tanpa izin, masuk seperti menangkap teroris, ada 8-10 mobil masuk nggak permisi, diam-diam pasang plang,” tukasnya.
Dijelaskan Anton, peternak di rempang punya kontribusi besar untuk menyuplai kebutuhan Kota Batam.
“Untuk ternak ayam saja itu ada 3 juta ekor, kalau itu kehilangan di Rempang dan di Batam ini suplai pasti terganggu. Sanggup nggak pemerintah menyediakan satu hari 100 ribu ekor. Apakah ini dipikirkan mereka?” tanya Anton. (D)