Catatan Tim News Room BatamNow.com
Tak nyangka, sifat cengeng yang ditunjukkan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara ini.
Cengeng bila menyimak narasi nota pembelaannya saat persidangan kasus korupsinya oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (09/08/2021).
Dia diadili karena diduga memaling uang (hak) rakyat miskin, puluhan miliar.
Garang kan?
Namun, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum, dia cengeng dan ciut nyali.
Ciut karena Juliari meminta agar dirinya divonis bebas dalam perkara korupsi pengadaan paket bantuan sosial (bansos) Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Bebas?
Padahal uang hak rakyat miskin yang diduga dikorupsinya. Masyarakat yang hidupnya/ ekonominya sangat susah.
Sedangkan Juliari disebut-sebut orang tajir.
Kepada majelis hakim yang mulia, Juliari dalam nota pembelaannya, meminta untuk dibebaskan dari tuntutan hukuman dan dari segala dakwaan.
Alasannya, demi mengakhiri penderitaannya, kekinian.
Bukan hanya Juliari yang bermohon kepada majelis hakim, tapi juga melibatkan permohonan istri dan anak-anaknya yang masih kecil, juga keluarga besarnya.
Juliari menyebut bahwa vonis majelis hakim akan sangat berdampak pada keluarganya. Apalagi, kata Juliari, perannya sangat dibutuhkan sebagai seorang ayah.
Rupanya Juliari lupa juga perannya yang mengemplang dan menikmati hak-hak rakyat jelata itu.
Juga Juliari, agaknya, tak merasakan penderitaan rakyat yang menjadi korban keserakahannya. Mungkin saja banyak anak-anak warga miskin itu yang menderita karena jatah mereka ditilap Juliari.
Nota pembelaan memang satu tatanan yustisia bagi setiap terdakwa, yang sudah diatur dalam sistem peradilan.
Demi keadilan, para terdakwa diberi ruang dan hak untuk membela dirinya di hadapan mejelis hakim, walau narasi selirih apapun.
Dan majelis hakim sebelum menjatuhkan hukuman, akan mempertimbangkan.
Tuntutan Dinilai Kurang Adil
Melihat dari narasi nota pembelaan Juliari, tampak rasionalitas dan moralitas Juliari, rapuh.
Padahal bila menengok pendidikan yang dimiliki Juliari, dia seorang intelektual, politisi yang harusnya berpikir rasional, realistis bukan emosional serta egois.
Narasi dan bobot materi nota pembelaan Juliari semestinya tak bombastis dan sensasional yang justru dapat mencederai hati dan rasa keadilan masyarakat khsususnya sasaran bansos yang dia tilap.
Perbuatan sejahat itu, seakan dapat dimaafkan seenak pikirannya dan semaunya dengan mengesampingkan asas keadilan bagi yang dicederai.
Ancaman hukuman yang dijatuhkan Jaksa Tipikor 11 tahun sebenarnya pun sudah mengundang kontroversi di tengah masyarakat.
Banyak menyebut, lama tuntutan yang dijatuhkan, kurang berkeadilan dan tidak sebanding dengan perbuatan Juliari yang diduga menilap hak banyak rakyat miskin.
Sedari Juliari di OTT KPK, riuh opini publik, pemerhati dan para pakar hukum di negara ini sudah mewanti-wanti aparat penegak hukum (APH) untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Juliari.
Tak kurang dari Ketua KPK Firli sempat merespons opini publik itu.
Juliari pantas dihukum mati dengan berbagai argumentasi hukum dan sisi pertimbangan moral, sosial atas perbuatannya yang memang sudah mengkhianati negara, pemerintah dan rakyat.
Apalagi perbuatan Juliari yang memperkaya diri sendiri dan orang lain itu, dilakukan di tengah penderitaan masyarakat imbas dari angkara murka pandemi Covid-19.
Ekonomi kebanyakan masyarakat negeri ini tengah terpuruk, bahkan hanya untuk makan saja pun sudah susah.
Maka pemerintah berinisiatif menyalurkan bansos. Agar rakyat yang sulit secara ekonomi, tak mati kelaparan.
Tapi bansos dari pemerintah yang sekadar membantu hidup masyarakat susah itu, tega-teganya digarong Juliari dengan berlindung di balik kekuasannya sebagai Menteri Sosial, kala itu.
Juliari egois. Itu tampak juga dalam nota pembelaannya yang meminta maaf hanya kepada Presiden Jokowi dan Megawati.
Meminta maaf ke Presiden Jokowi, dapat dipahami karena presiden adalah mantan atasan Juliari, yang sebenarnya juga sudah dikhianatinya.
Juliari mempermalukan dan “menampar” muka presiden di depan masyarakatnya atas tindakan korupsi bansos itu.
Demikian juga kata maaf kepada Megawati. Tentu dapat dipahami lah.
Juliari Tak Minta Maaf pada Rakyat
Satu hal yang tampaknya belum diinsyafi Juliari. Dia tak merasa bahwa masyarakatlah yang paling tercederai dan terkhianati atas perbuatannya itu. Masyarakat yang dia sengsarakan sebagai korban atas keserakahannya itu.
Tapi tak satu kalimat MAAF pun yang disampaikan Juliari kepada masyarakat dalam nota pembelaannya.
Kalau dihitung-hitung tuntutan hukuman 11 tahun yang dijatuhkan Jaksa Tipikor, sulit menafikan bahwa rasa keadilan masyarakat pun terusik di sini.
Dari sanksi moral dan sosial masyarakat yang meminta hukuman mati, jatuhnya hanya tuntutan hukuman formal 11 tahun penjara. Lain lagi, nanti bagaimana putusan hakim.
Dalam teori normal putusan hakim nantinya, rata-rata vonis itu 2/3 dari tuntutan. Dapat diartikan, bahwa vonis hakim diasumsikan 8 tahun.
Kala Juliari menjalani hukumannya, kelak, paling lama hanya 5 tahun karena akan banyak lagi “bonus” remisi pada momen-momen tertentu.
Dalam rentang waktu 5 tahun dipenjara— kalau benar-benar diterapkan oleh pihak berwenang, paling tidak dia masih dapat mencicipi pelan-pelan rupiah yang dimilikinya.
Sesungguhnya kalau Juliari berjiwa seorang kesatria—“sekesatria” mengemplang uang rakyat jelata itu, tentu sifat cengeng dan ciut nyali itu tak pantas dia pertontonkan.
Apalagi sampai Juliari minta dibebaskan, itu sangat mencederai hati dan rasa keadilan rakyat.
Memang belum tentu majelis hakim mempertimbangkan “kecengengan” murahan Juliari.
Bisa juga putusan hakim, sebaliknya.
Kini Juliari sedang menanti hukuman atas putusan pengadilan.
Masyarakat berharap, naluri dan keyakinan para hakim yang sering dipersepsikan sebagai wakil Tuhan itu, menjatuhkan hukuman berdasarkan keadilan untuk semua pihak. Bukan hanya keadilan bagi Juliari.
Lalu apa hikmah yang bisa dipetik dari perkara korupsi Juliari, khususnya buat para petinggi partai pemenang Pemilu negeri ini. Hendaknya, selektiflah mengajukan para kadernya untuk duduk di kabinet di kemudian hari.
Kalaupun memang petugas partai itu sudah bawaan bermental koruptor dan kemudian ketangkul, ya harusnya berjiwa kesatria saja mempertagungjawabkannya secara hukum.
Tak perlu cengeng dan ciut nyali.
Juliari, misalnya, semestinya berserah saja atas putusan hakim, terlebih kepada Tuhan, tanpa membuat sensasi dalam nota pembelaannya.
Toh dia sudah lolos dari “hukuman mati”. Bukan?
Tapi dasar manusia cengeng, serakah dan egois, “terkurung hendak di luar, terhimpit hendak ke atas”. Terlalu!(*)