BatamNow.com – Kabar dugaan pengurungan 10 siswa Sekolah Penerbangan (SPN) Dirgantara Batam dalam sel tahanan di sekolah itu menjadi trending topic pemberitaan hari ini, Kamis (18/11/2021).
Kepada awak media, Kepala SPN Dirgantara Purn Pol AKBP Dunya Harun membantah bahwa sekolahnya memiliki sel tahanan.
“Kalau dimasukkan ke dalam sel itu tidak benar. Yang jelas tidak ada yang namanya memasukkan anak-anak murid kami ke dalam sel,” tegas Dunya yang ditemui di ruang kerjanya, Kamis (18/11).
Kasus ini bermula dari laporan 10 orangtua siswa SPN Dirgantara pada Oktober 2021. Kesepuluhnya melapor ke Dinas Pendidikan Provinsi Kepri dan juga membuat pengaduan ke KPPAD Kota Batam. Dikatakan, kesepuluh peserta didik itu mengalami kekerasan di sekolah mulai dari ditampar, ditendang hingga dimasukkan ke dalam sel tahanan. Dijelaskan juga pengurungan itu bisa berbilang bulan, tergantung kesalahan yang dilakukan.
Mengenai hal ini, Dunya malah mengatakan belum ada menerima laporan orangtua yang keberatan karena anaknya mengalami kekerasan di sana. Kecuali, kata dia, memang ada 9 orang yang baru-baru ini dikeluarkan karena melakukan pelanggaran disiplin. Kini, jumlah siswa di sana totalnya 131 orang yang semula 140 orang.
“Kita tidak tahu orangtua mana yang merasa tidak terima itu karena kita belum juga ada penjelasan secara musyawarah di sini,” ujar Dunya yang sudah empat bulan menjabat Kepala SPN Dirgantara.
Dunya jelaskan, sanksi pemberhentian diberikan kepada siswa yang melakukan pelanggaran disiplin berulang-ulang. “Sehingga tidak layak lagi menjadi anak sekolah di sini dan kita keluarkan,” imbuhnya.
Contoh pelanggaran itu mulai dari balap liar, berkelahi, merokok hingga indikasi/ terlibat dalam penggunaan narkoba. Masing-masing pelanggaran ini memiliki bobot poin, jika siswa sudah mencapai 100 poin maka akan dikeluarkan. Untuk sanksinya mulai dari push up, sit up, jungkir balik, merayap punggung hingga konseling.
“Tidak ada kekerasan fisik atau body contact,” tegas Dunya.
Namun dalam berita yang beredar, dijelaskan bahwa KPAI dan KPPAD Batam menerima bukti 1 video dan 15 foto yang diduga berisi peserta didik di SPN Dirgantara Batam yang mengalami pemenjaraan di sel tahanan sekolah. Dijelaskan, ada 2 peserta didik yang dirantai di leher dan di tangan.
“Kita tidak pernah mengetahui pemberitaan ataupun dirantai atau bagaimana karena kita pun tidak pernah melakukan itu ya,” tegas Dunya.
Ditambahkan Dunya, Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2 dari 9 siswa yang dikeluarkan itu memang sempat ditahan karena masalah administrasi yang belum selesai.
“Ada 2 orang yang belum melunasi uang SPP, itulah yang ditahan Dapodiknya,” ucapnya.
Dan pada 28 Oktober dan 4 November, Dapodik untuk masing-masing siswa dimaksud sudah dikeluarkan setelah diambil alih oleh dinas terkait.
Siswa Hanya Dikonseling
Meluruskan soal keberadaan sel tahanan, Dunya mengatakan SPN Dirgantara hanya memiliki ruang konseling yang digunakan bagi siswa yang melakukan pelanggaran disiplin. Masa konseling bervariasi, mulai dari 7 hingga 21 hari.
“Yang 21 hari yang sudah berulang-ulang tapi tetap kita mengharapkan dia baik. Tempatnya tidak mengerikanlah dan tidak 24 jam di sana,” jelasnya.
“Kita tidak memenjarakan anak, dia kan sekolah. Bagaimana hal-hal negatif itu bisa kembali ke normal, itulah perlu konseling dan ada guru konselingnya,” lanjutnya.
Guru konseling akan mencari latar belakang siswa itu melakukan pelanggaran disiplin dan juga memberikan nasihat kepada si siswa.
Dia tambahkan, SPN Dirgantara Batam memiliki peraturan dan SOP yang telah disetujui orangtua dengan menandatangani pakta integritas sebelum siswa diterima masuk ke sekolah.
“Ada hal-hal yang dilarang dan ada poin-poin kesalahan yang berisiko akan dikonseling dalam rangka mengembalikan mentalnya, integritasnya dan disiplinnya,” tandasnya.
Untuk kurikulum yang diterapkan di SPN Dirgantara Batam, kata Dunya, tetap mengacu pada yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan. “Itulah yang menjadi dasar kita untuk melaksanakan proses belajar mengajar,” ucapnya.
Dari 9 siswa yang dikeluarkan itu rata-rata sudah di bangku kelas tiga. Sesuai peraturan di SPND Dirgantara, siswa kelas 1 dan 2 tinggal di dalam asrama di lingkungan sekolah itu. Sementara siswa kelas 3 tidak lagi di asrama, namun di rumah masing-masing.
“Inilah kendala juga bagi kami dalam pengawasan selama dia tidak di lingkungan asrama kami,” ucapnya.
Kepala Sekolah: Tidak Ada Kekerasan
Seperti yang dikatakan Dunya sebelumnya, ia tidak pernah menerima laporan orangtua siswa yang keberatan karena anaknya mengalami kekerasan di SPN Dirgantara Batam.
Bahkan kata dia, saat pengurusan pemindahan kesembilan siswa yang dikeluarkan itu, pihak SPN Dirgantara masih mengusahakan agar mereka dapat lanjut di sekolah baru.
“Sebenaranya harus di-drop out [DO] tetapi kita tak tega karena tidak tidak boleh diterima di mana-mana loh. Begitulah kita memperhatikan anak-anak ini,” jelas Dunya.
Dalam proses pengurusan pindah sekolah ini, kata Dunyan, juga melibatkan komunikasi antara sekolah dan orangtua siswa.
“Kalau tidak ada komunikasi dengan orang tua tidak akan muncul sekolah di mana yang akan dituju,” katanya.
Saat siswa melakukan pelangaran pun pihak sekolah akan memanggil orangtua. “Diundang dan diberi tahu dan bahas anaknya ada masalah dan menandatangani,” pungkasnya. (Hendra)