BatamNow.com – Waduk (embung) swasta di Batam, yakni milik PT Kabil Indonusa Estate (KIE) dan yang dikuasai Panbil Group dinilai bermasalah.
Tak punya izin dari BP Batam, tapi eksis dikomersilkan, selama ini. Tanpa mengindahkan ketentuan perundang-undangan.
Sementara Pasal 7 (tujuh) UU 17/2019 mengamanahkan sumber daya air tidak dapat dimiliki dan/ atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha.
Lain lagi waduk di Kawasan Industri Terpadu Kabil (KITK) sudah ± 30 tahun dikuasai PT KIE, juga tanpa izin dari BP Batam.
Nah pengawasan eksternal atas kesehatan air di sana juga diduga tidak sesuai amanah perundang-undangan.
Sedangkan waduk yang dikuasai Panbil Group disebut bukan di atas lahan yang dialokasikan BP Batam pun tidak lewat izin pemanfaatan hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kota Batam.
Lalu di areal lahan siapa?
Selain soal lahan waduk, masalah lain adalah tentang pengawasan eksternal standar baku mutu (SBM) air hasil olahan water treatment plant (WTP).
Lalu apa kata Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak) Kota Batam Agung Widjaja atas masalah dua waduk swasta ini?
Hasil wawancaranya kami rangkai seperti di bawah ini;
Apa pendapat Gebrak soal kedua waduk yang diduga bermasalah tersebut?
Sekarang yang jadi pertanyaan saya adalah sumber air itu di mana lokasinya. Apakah waduk itu di lahan private atau di lahan yang milik publik seperti danau begitu?
Menurut sumber BatamNow.com bahwa waduk KIE, berada di lahan alokasi dari BP Batam.
Sedangkan waduk di Panbil Group ada dua pendapat berbeda. Menurut Plh Direktur Badan Usaha SPAM BP Batam Ibrahim, waduk itu bukan di areal Panbil Grup, tapi di luar.
Sementara menurut Kepala BKSDA Resort Muka Kuning, Pulau Rempang Yon Romby Sihotang waduk itu berada di areal Panbil Group yang lahannya dialokasikan BP Batam.
Kalau saya melihatnya begini saja, saya tidak akan berdebat apakah itu di lahan mereka atau di lahan publik. Sumber mata air itu kan dikelola dan dikomersilkan. Menurut saya itu tidak tepat. Artinya ada benefit yang didapatkan dari mengelola waduk itu tanpa sepengatahuan negara. Itu menurut saya sudah salah.
Belum lagi kalau kita bicara soal UU Kesehatan, hak konsumen dan sebagainya, bisa panjang nanti.
Air itu walaupun dia berada di areal mereka, toh juga kan ada faktor pendukung. Misalnya bicara yang di Panbil, di situ dia kan ada hutan penyangga sebagai daerah resapan. Tentu tidak boleh juga karena di situ air berlimpah terus mereka memanfaatkan untuk keperluan komersil mereka. Negara dalam hal ini BP Batam harus melakukan tindakan.
Harapan saudara Agung atas masalah ini?
LSM kami juga fokus terhadap hak dasar masyarakat, air termasuk dan ini diatur dalam konstitusi. Nah kalau kita berkaca dari tempat-tempat lain yang hari ini masih belum bisa mengakses air bersih karena serangkaian aturan yang justru mempersulit, seperti warga ruli yang harus membayar lebih mahal dari warga di perumahan. Secara konstitusi, mereka kan seharusnya punya hak yang sama dan negara seharusnya hadir di sini tanpa diskriminasi.
Diskriminasinya di mana, boleh dijelaskan?
Ini kan terjadi kesenjangan sementara di lain sisi katakanlah contohnya Panbil. Mereka bisa menguasai lahan dan dia juga bisa mengelola air di situ,
selain supporting ke industri kawasan, ya mungkin digunakan untuk warga yang bermukim di situ. Ini kan gak bisa dibenarkan.
Lalu apa konsekuensinya buat mereka?
Jrtinya, apapun yang namanya air itu kebutuhan dasar manusia, tidak boleh di sana bisa terpenuhi namun di tempat lain tidak terpenuhi. Ini harus menjadi perhatian BP Batam karena mempunyai kewenangan terkait lahan dan air.
Apa menurut Anda tindakan pemerintah terhadap ada pihak-pihak yang melanggar peraturan?
Negara dalam hal ini BP Batam harus bertindak adil. Tapi kalau melihat situasi akhir-akhir ini kan semua itu harus menunggu. Kalau kita berkaca ada satu contoh kasus misalnya, polisi baru bertindak ketika publik ramai-ramai bicara dan bikin tagar #PercumaLaporPolisi. Nah kalau aku mau bikin #PercumaLaporBPBatam. (*)