BatamNow.com, Jakarta – China berusaha mengembangkan teknologi Artificial Intelligence ke sektor hukum. Para ilmuwan negara itu membuat program AI untuk mengidentifikasi kejahatan serta mengajukan tuntutan.
Dilansir CNBCIndonesia.com, para peneliti mengklaim ‘jaksa’ buatannya itu memiliki akurasi 97%. Selain itu tools juga bisa menilai kasus dan menyarankan hukuman pidana.
Laporan South China Morning Post mengatakan, ini berdasarkan 1.000 sifat yang dilaporkan berasal dari 17 ribu kasus kehidupan nyata dari tahun 2015 hingga 2020.
Mesin tersebut telah diuji oleh kantor kejaksaan terbesar, Kejaksaan Rakyat Shanghai Pudong. Ini terbukti sangat berpengalaman untuk kejahatan kriminal paling umum di China misalnya judi, mengemudi sembarangan, pencurian, dan penipuan.
Teknologi AI ini diharapkan juga bisa segera mengenali kasus yang lebih kompleks, dikutip NY Post, Jumat (31/12/2021).
“Sistem itu bisa menggantikan jaksa dalam proses pengambilan keputusan sampai batas tertentu,” ungkap pemimpin penelitian, Profesor Shi Yong.
Namun sebenarnya penggunaan kecerdasan buatan untuk penegakan hukum telah dikritik sejak lama. Mereka yang mengkritik berasal dari aktivis politik dan insinyur, yang mengatakan teknologi tidak selalu bisa melakukan keadilan sesuatu yang bahkan belum bisa dikuasai manusia sendiri.
Menurut sejumlah penelitian, AI gagal melakukan deteksi ujaran kebencian online atau melakukan preferensi untuk wajah putih di layar.
Namun di sisi lain, teknologi machine learning juga sudah digunakan di sebuah pengadilan. Menurut investigasi Associated Press, terdapat pria Oklahoma yang didakwa membunuh berdasarkan video pengawas disamarkan dan algoritma kepemilikan bernama ShotSpotter.
Teknologi ShotSpotter disebutkan telah digunakan di 110 kota di Amerika dan menelan biaya US$ 95 ribu per mil persegi cakupan. Namun biaya mahal itu nampaknya tidak berarti apa-apa berdasarkan studi yang terbit bulan April lalu.
Menurut seorang peneliti, “teknologi tidak mengurangi kekerasan senjata api dalam jangka panjang, dan implementasi teknologi tidak mengarah pada peningkatan pembunuhan atau penangkapan karena senjata”. (*)