BatamNow.com, Jakarta – Keberadaan pengungsi Afghanistan di Batam, Kepulauan Riau, yang sudah memasuki tahun ke-10, nyaris luput dari perhatian, terutama Pemerintah Pusat.
Terakhir, puluhan pengungsi tersebut melakukan demonstrasi dk Kantor Wali Kota Batam. Mereka meminta pemerintah setempat memfasilitasi agar para pengungsi tersebut bisa pergi ke negara ketiga yang mau menerima mereka.
Menyikapi kondisi ini penasihat hukum senior SUAKA –lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pengungsian dan pencari suaka–, Atika Yuanita mengatakan, aksi unjuk rasa dari para pengungsi ini memiliki banyak akar dari sekian banyak permasalahan penanganan pengungsi di Indonesia.
“Jangan dilihat permasalahan pokoknya hanya dari perilaku pengungsi, pengungsi tidak kebal hukum, dan lainnya. Patut diingat, selama tinggal di Indonesia mereka harus tunduk pada hukum Indonesia. Tapi bayangkan hidup selama 10 tahun, tunduk pada hukum, tapi kehidupan terkungkung pada situasi limbo, dengan perlindungan hak yang sangat terbatas. Hal ini sangat mempengaruhi kesejahteraan (well being) para pengungsi,” urainya.
Atika menilai, kesempatan penempatan ke negara ketiga sangat kecil. Sementara untuk kembali ke negaranya tidak mungkin karena situasi tidak aman, terlebih untuk Afghanistan yang jatuh ke tangan Taliban. Di sisi lain, tinggal di negara suaka seperti Indonesia, tidak diperbolehkan melakukan apa-apa, kecuali hidup.
Atika menguraikan bahwa persoalan resettlement ini bukan permasalahan UNHCR semata, tapi urusan multilateral antarnegara. Menurutnya, Pemerintah juga perlu mendesak negara-negara penerima pengungsi untuk membuka kuota penerimaan. “UNHCR tidak mempunyai daya desak. Indonesia sebagai negara dan anggota PBB lah yang mempunyai daya desak tersebut,” jelasnya.
SUAKA secara khusus menyerukan agar pemerintah segera menerbitkan atau merevisi regulasi penanganan pengungsi di Indonesia (Perpres 125/2016), dengan memasukkan aspek perlindungan/ pemenuhan hak pengungsi, pendidikan/ akses kesehatan/ pemberdayaan ekonomi. Regulasi ini harus diterapkan dan disosialisasikan secara baik di tingkat nasional maupun daerah.
Hal lainnya, perlu melakukan pendekatan keamanan nasional serta meninjau ulang pemberlakukan tata tertib yang ketat karena suka tidak suka, mau tidak mau, pengungsi akan tinggal lebih lama di Indonesia. “Pengungsi harus diajak ikut bertanggung jawab terhadap keamanan dan lingkungannya sendiri,” cetus Atika.
Selain itu, sambungnya, membuka akses pemberdayaan ekonomi, di mana para pengungsi harus diberikan akses untuk berdaya secara ekonomi agar dapat memenuhi kebutuhan pribadinya. “Pola mengandalkan donasi atau bantuan dari IOM sudah tidak relevan dan berkesinambungan kedepannya. Pemberdayaan ekonomi juga salah satu upaya memanusiakan pengungsi dengan menjaga kehormatan dan kesehatan mental para pengungsi,” pungkasnya. (RN)