BatamNow.com – Kawasan lahan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning, Batam seluas 901 hektare (Ha).
Seluas 482 hektare kini telah dialokasikan dan diberi izin ke dua perusahaan dan 1 koperasi.
PT Lise Batam Rimba Lestari mendapat 247 hektare sejak 2015 dan PT Papanjaya Sejahtera Raya (Panbil Group) seluas 207 hektare sejak 28 Mei 2021.
Ada 28 hektare lagi di dalam TWA Muka Kuning yang dikelola Koperasi Jasa Bumi Rimba Nusantara.
Bentuk izin pengelolaan TWA itu dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup itu adalah Perizinan Berusaha Pengusahaan Sarana Jasa Lingkungan Wisata Alam (PB-PSWA).
Rupanya TWA Muka Kuning diresmikan sejak 1986 oleh Menteri Kehutanan saat itu dan satu-satunya taman wisata alam di Kota Batam.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resort Muka Kuning, Pulau Rempang Yon Romby Sihotang menyatakan pemanfaatan ekonomi di Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning dilakukan dengan tetap memperhatikan segi konservasi hutan.
“Konservasinya tetap ada dan manfaat ekonominya juga bisa didapatkan,” ujar Yon kepada BatamNow.com di Tenang Coffee & Resto, saat meninjau bersama, Rabu (05/01/2022).
Tenang Coffee & Resto ini adalah kafe yang berdiri di Blok Pemanfaatan TWA Muka Kuning melalui kerja sama dengan Koperasi Jasa Bumi Rimba Nusantara lewat desain tapak ruang publik (public use).
Desain tapak public use ini tidak dapat diberikan ke pihak ketiga, hanya bisa dalam bentuk jasa ataupun sarana yang disiapkan oleh pemerintah atau bisa juga melalui dana Company Social Responsibility (CSR).
“Masyarakat hanya boleh memanfaatkan sarana itu dengan pembayaran dalam bentuk PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) bukan biaya sewa,” terang Yon.
Sementara Blok Pemanfaatan yang bisa diberikan izinnya ke pihak ketiga/ swasta adalah desain tapak ruang usaha.
“Pihak swasta ini juga bisa bekerja sama lagi dengan masyarakat sebagai mitranya. Karena memang kewajiban mereka untuk menggandeng masyarakat,” imbuhnya.
Yon melanjutkan, hanya 10 persen dari alokasi lahan hutan yang bisa dibangun/ diusahakan jadi sarana oleh pihak ketiga dengan konsep bangunan harus semi permanen.
“Ini sebagai bentuk upaya menyeimbangkan ekosistem dengan ekonomi. Karena kalau tidak ada sarana, orang tidak akan datang,” tandasnya.
“Jangan salah paham, TWA itu nomenklatur milik kehutanan bukan milik swasta. Kemudian TWA inilah yang dibuat blok-bloknya yang ada peruntukannya masing-masing,” jelas Yon.
Yon mengatakan, untuk Blok Pemanfaatan TWA Muka Kuning ini juga sudah dibuatkan master plan-nya.
Sesuai master plan, di lokasi TWA Muka Kuning itu nantinya memiliki berbagai spot wisata maupun atraksi/ permainan. Mulai dari visitor center, kafe, paint ball & outbound, flying fox, taman, permainan ATV hingga kano.
“Kita terbuka untuk siapa saja yang mau bergabung lewat koperasi kita persilakan,” terang Yon.
Menurut Yon, pemanfaatan TWA seperti dengan melibatkan pihak ketiga cenderung lebih baik dalam hal konservasi dibanding ketika tidak diperbolehkan.
“Faktanya selama ini kita larang-larang, namun hutan semakin gundul. Faktanya kalau kita berikan mereka tanggung jawab untuk mengelola malah lebih lestari,” ujarnya.
Selain Blok Pemanfaatan, ada juga Blok Perlindungan, Blok Khusus dan Blok Rehabilitasi yang masing-masing memiliki kriteria tersendiri.
Ditentukan sebagai Blok Perlindungan biasanya karena ditemukan nilai penting di dalamnya seperti satwa ataupun tumbuhan tertentu.
Blok Khusus adalah area yang sudah terbuka atau wilayah-wilayah yang akan dikerjasamakan. Hanya di blok inilah bisa dilakukan kerja sama pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Misalnya ketika pemerintah akan membuat jalan/ reservoir di kawasan hutan.
“Jadi pembangunan strategis yang tak bisa terelakkan itu bisa di kawasan hutan seperti jalan, transportasi, komunikasi serta pertahanan dan keamanan,” ucapnya.
Sementara untuk Blok Rehabilitasi ialah wilayah yang memang sudah terlanjur terbuka, misalnya kawasan perkebunan sayur di dekat Bukit Daeng, Tembesi.
“Blok-blok itu bisa diubah setelah dievaluasi tergantung kebutuhan,” pungkasnya. (D)