BatamNow.com, Jakarta – Pengamat hukum internasional mengingatkan agar Indonesia waspada terhadap taktik Singapura di balik perjanjian ruang kendali udara (FIR) dan ekstradisi yang disepakati Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong hari ini, Selasa (25/01/2022).
“Indonesia perlu waspada dengan strategi Singapura,” ujar pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, melalui siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com.
Hikmahanto membaca langkah Singapura ini melalui tiga perjanjian yang disepakati dengan Indonesia, yaitu FIR, ekstradisi, dan Defence Cooperation Agreement (DCA) atau Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan.
Indonesia dan Singapura sebenarnya sudah pernah meneken perjanjian ekstradisi dan DCA pada 2007 lalu. Namun, perjanjian itu harus melalui proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dulu sebelum diresmikan.
Pembahasan di DPR ini terganjal karena saat itu, perjanjian ekstradisi dan DCA harus disepakati dalam satu paket. Sementara itu, Indonesia banyak dirugikan dalam perjanjian DCA.
Melihat rekam jejak kebuntuan pembahasan di DPR itu, Hikmahanto menduga Singapura kini juga menawarkan kesepakatan FIR dengan sistem paket seperti dulu.
“Singapura berstrategi bila perjanjian pertahanan bisa berlaku efektif, maka Singapura bersedia untuk menyerahkan kendali atas FIR Kepulauan Riau ke Indonesia, padahal Singapura telah berhitung secara cermat bahwa perjanjian pertahanan akan ditentang oleh publik, bahkan oleh DPR,” katanya.
Ia kemudian berkata, “Bila memang perjanjian pertahanan ditentang untuk disahkan nantinya, maka Singapura akan tetap memegang kendali atas FIR di atas Kepulauan Riau. Artinya, perjanjian pengendalian FIR ke Indonesia tidak akan pernah efektif.”
Jika perkiraan ini benar, Hikmahanto menganggap perjanjian ekstradisi yang tinggal menunggu ratifikasi menjadi tidak penting dari sisi pencapaian.
“Perjanjian ekstradisi itu diduga muncul dalam pembahasan karena diminta oleh pemerintah Indonesia karena Singapura memunculkan perjanjian pertahanan yang dikaitkan dengan perjanjian penyerahan kendali FIR,” tutur Hikmahanto.
Menutup pernyataannya, Hikmahanto berkata, “Dalam konteks demikian, perjanjian ekstradisi yang ditanda tangan ulang bukanlah merupakan suatu pencapaian (achievement).” (*)
sumber: CNN Indonesia