BatamNow.com, Jakarta – Tertangkapnya 12 orang yang diduga terlibat kelompok teroris, termasuk 4 orang di Batam, Kepulauan Riau, baru-baru ini, menjadi sinyal bahwa keberadaan kelompok-kelompok tersebut masih eksis di negeri ini.
“Terkhusus Jamaah Islamiyah (JI), pasca aksi-aksi pengeboman, saat ini lebih memilih jalur dakwah dan rekrutmen yang tujuan utamanya melakukan kaderisasi secara masif sehingga bisa mencapai tujuannya mendirikan Negara Islam,” ungkap Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani kepada BatamNow.com, di Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Saat ini, sambungnya, anggota-anggota JI telah masuk ke organisasi keagamaan, organisasi profesi, bahkan instansi pemerintahan. Salah satu tujuannya untuk merekrut lebih banyak lagi anggota-anggota baru.
Saat ini, JI tengah nelalukan reorientasi melalui dakwah dan pendidikan, untuk mempersiapkan investasi jangka panjang dalam rangka memperkuat kelompoknya.
Kesulitan Badan Intelijen Negara (BIN) atau Densus 88 memberantas kelompok teroris, menurut Ismail, lebih diakibatkan, ini organisasi ideologi. “Sekalipun pemimpinnya ditangkap, ideologinya bisa tetap berkembang. Untuk organisasi ideologi sebenarnya tidak pernah kekurangan pemimpin. Selalu ada skenario A, B, dan seterusnya, yang telah disusun rapih, sebagai bentuk antisipasi terjadinya penangkapan-penangkapan,” urainya.
Menurutnya, jadi bukan karena Densus 88 tidak mampu mendeteksi, tapi lebih karena organisasi ini mampu selalu mentransmisikan ideologinya pada aktor-aktor baru. “Mungkin akhir-akhir ini pergerakan JI tidak terlalu nampak. Namun sesungguhnya perencanaan-perencanaan yang mereka miliki jauh dari yang dipikirkan. Seperti mereka punya kemampuan memodifikasi model rekrutmen dengan dakwah dan pendidikan. Itu menjadi bagian dari persiapan mereka dalam melakukan aksi-aksinya. Bisa saja tidak dengan kekerasan, tapi bisa mencapai tujuan politik mereka,” paparnya lugas.
Dia mencontohkan, sulit mendeteksi siapa pemimpin JI sesungguhnya di Indonesia. Sebab, sekalipun seseorang yang dikatakan pemimpin sudah tertangkap, dalam waktu singkat sudah muncul lagi pemimpin yang baru. “Pergantian pimpinan di organisasi semacam ini, termasuk Al Qaeda atau ISIS cenderung soft, tidak ada ketegangan atau perebutan jabatan yang nampak keluar,” jelasnya.
Dikatakannya pula, sering masalah yang muncul adalah keraguan publik, apakah benar yang ditangkap itu teroris atau bukan? “Saya pernah usulkan agar dalam operasinya kredibel, baik BIN maupun Densus 88 bisa menyajikan white paper, yakni laporan (report) yang disajikan secara terbuka, baik tentang sosok-sosok yang ditangkap atau gambaran pengejaran yang dilakukan. White paper mereka bisa disajikan misal per tiga bulan, baik kepada parlemen, ormas, dan lainnya. Sebab, kalau Densus terlalu menutup rapat, wajar bila muncul keraguan dari sebagian orang,” usulnya.
Lebih jauh Ismail mengatakan, pemerintah tidak pernah serius menyelesaikan persoalan hulu dari terorisme, yakni intoleransi. “Kalau intoleransi disikapi secara permisif, maka sesungguhnya pemerintah sedang menanam bibit dan membuka ruang di mana dalam situasi kondusif para anggota kelompok JI, misalnya, bisa bertransformasi menjadi teroris. Jadi, kalau ingin komprehensif memberantas teroris, hulunya harus diperhatikan yaitu intoleransi,” sarannya.
Memang, ketika salah satu pihak melakukan aksi intoleran tidak bisa lantas dikualifikasi sebagai teroris. Tapi, harus dipahami ketika kedamaian, dalam arti tidak ada konfik yang bermanifes, melakukan rekrutmen anggota-anggota baru untuk melakukan aksi terorisme itu akan sulit.
“Sejak 2010 atau pasca konflik di Ambon dan Poso, kami mencatat, medium yang digunakan kelompok-kelompok teroris adalah aksi-aksi intoleransi. Misalnya, penolakan rumah ibadah atau penentangan besar-besaran terhadap orang yang diduga melakukan penistaan agama. Forum ini menjadi medium yang tepat untuk meradikalisasi publik,” ucap Ismail.
Dia menegaskan, pihaknya mendorong pemerintah lebih serius dakam mengatasi persoalan intoleransi, baik melalui pendekatan hukum maupun non-hukum, seperti pendidikan, sosialisasi, dan literasi. “Kalau aksi intoleran sudah termanifes menjadi pelanggaran hukum ya harus segera ditindak,” tegasnya.
Ismail mengatakan, kalau upaya mengatasi intoleransi dianggap sebagai anti-agama, ya sulit. Itu sama saja menanam bibit-bibit teroris karena seorang teroris harus dimulai dari intoleran lebih dulu. “Tapi pelaku intoleran belum tentu bertransformasi menjadi teroris. Sebab, ada proses ideologisasi yang mengendap dan menumbuhkan keyakinan bahwa tindakan amaliyah yang dilakukan adalah sebuah kebenaran,” pungkasnya. (RN)