BatamNow.com – Minyak goreng Hayat, Son Gold dan Maha. Ketiganya adalah produk olahan PT Synergy Oil Nusantara yang beroperasi di Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam.
Meski status perusahaan ini dengan entitas penanaman modal asing (PMA) dan berorientasi ekspor, kontribusinya cukup besar buat Batam.
Perusahaan yang tersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ini adalah industri penyulingan minyak nabati dengan bahan dasar crude palm oil (CPO) dan salah satu produk hilirnya minyak goreng ekspor.
Corporate Affairs (Humas) PT Synergy Oil Nusantara Nopianto mengungkapkan kapasitas produksi perusahaan sekitar 1.500 ton per hari atau sekitar 45.000 ton per bulan, itu minyak goreng kemasan dan curah.
Meski berorientasi ekspor, perusahaan ini juga berperan memenuhi kebutuhan minyak goreng Kota Batam yang 1.600 ton per bulan.
Pun ketika pemerintah menetapkan kewajiban menyuplai kebutuhan domestik (domestic market obligation/ DMO) 20 persen, sekitar 2 bulan lalu. PT Synergy Oil Nusantara juga menyalurkan migor curah sekitar 7.000 ton ke Jakarta karena sudah terpenuhinya kuota untuk Batam yang sekitar 1.600 ton atau maksimalnya 2.000 ton per bulan.
“Perlu dipahami, DMO ini maksudnya untuk domestik seluruh Indonesia bukan cuma di lokal perusahaan berdomisili,” kata Nopi kepada BatamNow.com di PT Synergy Oil Nusantara, Jumat (22/04/2022).
Dia juga menjelaskan, setelah kewajiban DMO dicabut, mereka tetap menyuplai 1.600 ton minyak goreng untuk Batam.
Minyak goreng PT Synergy Oil Nusantara disalurkan lewat 7 distributor yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Batam.
Setiap distributor ini menyalurkan minyak goreng olahan PT Synergy Oil Nusantara, baik itu yang curah maupun kemasan.
Pihak distributor akan melaporkan kepada PT Synergy Oil Nusantara rincian lokasi-lokasi penyaluran minyak goreng.
Untuk kontrol ketersediaan minyak goreng di lapangan, Nopi menjelaskan bahwa mereka memiliki tim yang bertugas berkeliling pasar untuk mengecek. Rutin setidaknya 2 hari sekali.
“Misalnya PNI untuk wilayah Batu Aji, misalnya Top 100. Benar nggak barang kita ada, kalau kosong kita telepon distributornya. Kenapa ambil barang di kami tapi sampai pasar nggak ada. Jadi kami monitor sampai ke ujung,” jelas Nopi.
Penelusuran BatamNow.com di beberapa toko ritel maupun pasar swalayan di Batam, produk minyak goreng kemasan produksi PT Synergy Oil Nusantara memang ada berjejer di rak-rak gondola.
Untuk minyak goreng Hayat ada kemasan dengan isi bersih 1 liter, 2 liter juga jeriken 5 liter. Merek Sun Gold dengan kemasan 900 ml, 1 liter, 1,8 liter dan 2 liter. Sementara merek Maha dengan kemasan 900 ml dan 1,8 liter.
Untuk harganya bervariasi, kemasan 900 ml sekitar Rp 19.500; lalu Rp 19.800 untuk yang 1 liter; Rp 38.500 untuk 1,8 liter; Rp 38.800 – Rp 43.400 untuk 2 liter dan Rp 108.500 untuk jeriken 5 liter.
Setor Pajak Rp 1 Triliun, Kini Pemerintah Berencana Setop Ekspor
Nopianto mengungkapkan, setoran pajak ekspor PT Synergy Oil Nusantara mencapai hampir Rp 1 triliun di tahun 2021.
“Itu di tahun 2021, sebelum ada kenaikan pajak. Tahun 2020 saja kita Rp 835 juta,” katanya.
Setoran itu diprediksi meningkat lagi di tahun ini, melihat dari telah dinaikkannya pajak ekspor CPO dan turunannya hingga 80 persen dari tarif sebelumnya.
Penghitungan besaran pajak ekspor CPO dan minyak goreng itu, kata Nopi, menggunakan sistem dari Bea dan Cukai.
“Jadi sudah ada tabel tarif pajaknya, misal kita kirim 7.000 ton nanti langsung dikalikan secara otomatis,” ucapnya.
Menurutnya, dari ekspor minyak goreng ini pemerintah bisa memperoleh setoran pajak hingga ratusan triliun rupiah dari seluruh Indonesia.
Tapi kini Presiden Jokowi mengeluarkan diskresinya, melarang ekspor CPO dan turunannya, khususnya minyak goreng.
Pemicunya karena harga minyak goreng di pasar domestik masih melambung tinggi dan ditangkapnya para tersangka korupsi ekspor minyak goreng.
Pelarangan ekspor itu, terang Nopi, pastinya berdampak sangat besar bagi PT Synergy Oil Nusantara.
Ketika pemberlakuan DMO di Februari-Maret ini, PT Synergy Oil Nusantara juga sempat berhenti beroperasi sekitar 1 bulan sebab izinnya lambat dikeluarkan meski kewajiban domestiknya telah dipenuhi.
“Kami lebih senang bayar pajak berapa pun daripada disetop ekspornya,” pungkasnya. (D)