BatamNow – Semenjak pandemi Covid-19, tanaman hias menjadi tren yang digandrungi oleh banyak orang untuk menghabiskan waktu di rumah. Salah satu tanaman hias yang belakangan ini viral adalah Janda Bolong. Satu hal yang sangat menarik adalah harga tanaman yang bernama latin monstera adansonii ini meroket, bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah.
Pakar manajemen sekaligus KPS Magister Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Surabaya Dr. Gancar C. Premananto, mengingatkan masyarakat akan fenomena gelembung ekonomi atau bubble economy di tengah melambungnya harga tanaman hias Janda Bolong.
“Bubble economy merupakan aktivitas bisnis yang melambungkan harga suatu produk jauh melampaui nilai intrinsik atau nilai sebenarnya. Seperti halnya gelembung sabun yang tampak indah, namun ketika meletus kita tidak mendapat apapun,” jelasnya, Senin (12/10).
Fenomena bubble economy bukan baru kali ini terjadi di Indonesia. Sebelumnya, di tengah masyarakat sempat tren tanaman Anthurium atau gelombang cinta dan batu akik.
Menurut salah satu penghobi dan kolektor tanaman hias, Mas Paul, lewat kanal youtubenya ia mengatakan bahwa Janda Bolong yang mahal adalah yang telah mengalami mutasi genetik, dimana warna daun pada tanaman ini berubah menjadi perpaduan warna hijau dan putih, terkadang kuning.
Harga 1 pot Janda Bolong dengan daun 3 helai ada di kisaran Rp 90 Juta, sedangkan yang anakan dengan daun kecil-kecil dihargai Rp 45 Juta.
Bercermin dari fenomena bubble economy yang pernah ada di Indonesia seperti disebutkan di atas, Gancar menilai tren tanaman hias Janda Bolong juga tak akan bertahan lama.
“Dalam bahasa akademik apa yang terjadi hanyalah ‘fad’ atau ‘demam’. Dan yang namanya demam, umumnya tidak berlaku lama. Berapa lamanya tergantung dari banyak faktor, diantaranya adalah faktor ekonomi makro. Di saat pandemik seperti saat ini, yang membawa pada perlambatan ekonomi, maka demam yang terjadi biasanya tidak terlalu lama. Faktor lain adalah relevansi kemanfaatan produk yang ditawarkan dengan kondisi terkini,” jelasnya.
Menurutnya, tanaman seperti Janda Bolong, relevansinya bisa dikatakan minim jika dikaitkan dengan pandemik. Sudah wajar, jika konsumsinya tidak akan terlalu tinggi.
Agar masyarakat tidak terjebak pada bubble economy yang nantinya dapat berujung pada kerugian material, Gancar memberikan beberapa tips.
“Carilah informasi harga intrinsik suatu produk (Janda Bolong) sebelumnya seperti apa. Dan pahami alasan mengapa harganya menjadi tinggi? apakah memang sangat langka? Kemudian bagaimana perawatan dari Janda Bolong itu sendiri, sulit ataukah tidak,” paparnya.
Gancar juga menuturkan, mengoleksi tanaman hias perlu dilakukan dengan bijak. Koleksi biasanya untuk dinikmati sendiri, namun bisa juga untuk mendapat keuntungan di masa mendatang.
“Secara umum, ciptaan Allah seringkali memiliki keunikan dan kelangkaan. Maka akan lebih baik mengoleksinya ditujukan sebagai bentuk mencintai karya ciptaNYA,” pungkasnya.(*)
sumber: kumparan