BatamNow – Putera Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) bisa terancam dibunuh. Ini bakal dilakukan warga negara itu, termasuk sejumlah negara Timur Tengah lain bila ia menormalisasi hubungan dengan Israel.
Dilansir BatamNow dari cnbcindonesia.com, sebelumnya, Amerika Serikat (AS) menekan negeri itu untuk mengikuti jejak Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) yang membuka hubungan diplomatik. Meski hal ini sudah ditentang Raja Salman.
Dimuat IslamTimes mengutip surat kabar Harretz, Jumat (23/10),miliarder Israel-Amerika Halim Saban, menyebut MBS mengaku tak bisa menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv. Karena akan dibunuh Iran, Qatar dan masyarakat Arab Saudi sendiri.
“Dia akan dibunuh oleh Iran, Qatar dan rakyat sendiri,” tulis media itu.
Hal ini terungkap dalam acara kampanye online Pemilu AS yang mendukung calon presiden Joe Biden dan wakilnya Kamala Harris. Ini dikatakan Saban dalam wawancara dengan anggota Kongres Demokrat Ted Deutch di kegiatan itu.
Sebelumnya melalui telepon Raja Salman memberitahu Trump Arab Saudi tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel jika solusi yang ditawarkan tidak adil. Arab Saudi hanya akan menormalisasi hubungan dengan Israel asal ada kesepakatan untuk negara Palestina.
Ini sesuai dengan usulan kerajaan di 2002 lalu. “Israel juga wajib menarik penuh pasukan dari wilayah yang direbut sejak perang Timur Tengah 1967 itu,” katanya sebagaimana dimuat Reuters.
Sebagaimana diketahui, Israel dengan Palestina merupakan “musuh abadi”, dikarenakan kedua pihak telah terlibat perang sejak ribuan tahun yang lalu. Inti dari perdebatan kedua negara adalah perebutan wilayah.
Menurut Kiro 7, pada mulanya perselisihan terjadi saat wilayah Palestina yang terletak di sepanjang pantai Mediterania, diduduki oleh Israel. Negara ini dibuat dari kesepakatan antara kumpulan bangsa-bangsa setelah Perang Dunia Kedua.
Namun, sejak awal berdiri, Israel dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membentuknya, langsung mendapat kecaman dari orang-orang Arab di Timur Tengah. Mereka juga mengakui wilayah yang diduduki Israel di sekitar kota suci Yerusalem sebagai milik mereka.
Sejak saat itu, hubungan Israel yang didukung AS, dan Palestina yang didukung negara Arab, terus memburuk. Kedua pihak terus terlibat perselisihan dan perang hingga mengorbankan banyak nyawa dan menghancurkan ekonomi.
Pada Maret 2002, Dewan Liga Negara-negara Arab di Tingkat Puncak membentuk kesepakatan di Beirut. Kesepakatan itu berisi soal rencana perdamaian Israel dengan Palestina.
Menurut The Guardian, salah satu poin dari kesepakatan itu adalah menegaskan kembali resolusi yang diambil pada bulan Juni 1996 pada KTT Arab luar biasa di Kairo.
Bahwa perdamaian yang adil dan komprehensif di Timur Tengah adalah pilihan strategis negara-negara Arab, yang akan dicapai sesuai dengan legalitas internasional, dan yang akan membutuhkan komitmen yang sebanding bagian dari pemerintah Israel.
Selain itu, kesepakatan juga membahas soal penarikan penuh Israel dari semua wilayah Arab yang diduduki sejak Juni 1967.
Termasuk penerimaan Israel atas negara Palestina merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sebagai imbalan atas pembentukan hubungan normal dalam konteks perdamaian komprehensif dengan Israel.(*)