Dari temuan BPK RI terjelaskanlah penyebab “sengkarut” penanganan lahan di BP Batam yang selama ini riuh nan menderu.
Siapa gerangan?
Tak bukan adalah Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi serta Direktur Pengelolaan Pertanahan BP Batam.
Itu menurut kesimpulan dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI.
Direktur Pengelolaan Pertanahan BP Batam adalah Ilham Eka Hartawan yang diperiksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepri minggu lalu, Kamis (20/10/2022).
Pun Ilham diperiksa Kejati Kepri atas laporan masyarakat terkait dugaan mafia lahan di BP Batam, kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Kepri Nixon Andreas Lubis SH MSi kepada BatamNow.com.
Dalam penjelasan BPK pada LHP laporan keuangan BP Batam tahun 2021 bahwa penyelesaian masalah lahan di Batam tak optimal. Salah satunya terkait lahan terlantar.
Masalah tanah terlantar ini bahkan sudah berkali menjadi temuan BPK.
BPK mendefinisikan lahan terlantar adalah areal tanah yang dialokasikan BP Batam kepada pemohon. Para pemohon dengan sengaja tidak mengelolanya sesuai perjanjian dengan BP Batam.
Tanah terlantar hamparan lahan kosong melompong di berbagai titik lokasi di seantero Batam.
Dari hasil uji petik BPK terdapat 4.153 hektare lahan terlantar di Batam saja. Belum di gugusan Pulau Rempang dan Galang.
Menurut analisa BPK, kondisi seperti ini bisa merugikan karena manfaat ekonomi atas lahan-lahan terlantar tidak segera diperoleh serta berisiko disalahgunakan/ dikuasai pihak yang tidak berhak.
Alasan BPK sangat logis tentang manfaat ekonomi itu jika melihat, misalkan, dari total piutang BP Batam atas uang wajib tahunan (UWT) yang mencapai Rp 431 miliar.
Dari total nilai piutang temukan BPK itu, sebanyak puluhan miliar belum diketahui statusnya. Raib kah?
Mangkraknya ribuan hektare lahan terlantar itu sudah menjadi sorotan publik selama ini.
Banyak lahan terlantar, artinya pembangunan fisik seperti gedung, hotel dan sebagainya tertahan pengembangannya hanya karena ulah para spekulan tanah yang mengeduk cuan.
Namun mengapa seluruh hamparan lahan terlantar itu dibiarkan menganga seperti lapangan bola.
Seyogianya masalah inilah salah satu yang harus dituntaskan, dengan ditetapkan pejabat Kepala BP Batam ex-officio. Tapi hasilnya sengkarut semakin karut marut?
Justru Kepala BP Batam Muhammad Rudi yang kesengsem menjadi Gubernur Kepri ini mengakui banyaknya masalah tanah di BP Batam.
Piutang UWT yang Sebenarnya Tak Perlu Terjadi
Bejibun permasalahan lahan di BP Batam. Antara lain sengkarut penanganan tanah sebagaimana dengan data-data yang dibeber BPK.
Salah satu kesimpulan BPK dari masalah itu bahwa Penatausahaan piutang UWT belum memadai.
Disebutkan dari Rp 431 miliar total piutang UWT tanah, sekitar Rp 50 miliar diantaranya tak jelas jejaknya.
Belum lagi piutang UWT tidak lancar sebesar Rp 138,6 miliar yang juga berpotensi “menguap” karena penanganannya yang tak cermat.
Padahal jika merujuk pada Peraturan Kepala (Perka) BP Batam Nomor 26 Tahun 2021, piutang “berseliweran” ini sebenarnya tak perlu terjadi.
Karena Perka itu mengatur dimana pemohon alokasi tanah jika tidak melunasi seluruh faktur yang diterbitkan dalam 10 hari kerja maka persetujuan alokasi tanah dan faktur batal dengan sendirinya alias lahan kembali ke pangkuan BP Batam.
“Ambyarnya” lagi karena kesemrawutan pengelolaan UWT lahan sebagaimana diakui Kepala Subbagian Akuntansi Pendapatan dan Piutang terhadap piutang UWT tidak lancar itu belum dilakukan evaluasi dan proses penagihan dan penarikan lahan.
Lebih diperparah lagi oleh Kasi Kepatuhan Direktorat Pengelolaan Pertanahan kepada BPK belum pernah melakukan kegiatan penarikan lahan atas status piutang yang dinyatakan tidak tertagih.
Makin ambyar lagi ternyata BP Batam belum memiliki pedoman tentang cara penarikan lahan dan penetapan status piutang dinyatakan tidak tertagih.
Kondisi itu, menurut BPK, tidak sesuai Perka BP Batam No 6 Tahun 2013 tetang Sistem Akuntansi Keuangan dan Perka BP Batam No 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Pertanahan, dst.
Munculnya masalah itu mengakibatkan penyajian nilai piutang UWT tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Penyelesaian piutang UWT yang berumur lebih dari satu tahun berisiko berlarut-larut atau dengan kata lain berpotensi lesap.
BPK menilai semua masalah itu terjadi karena Direktur Pengelolaan Pertanahan belum melakukan verifikasi dan validasi status PL dari UWT yang berumur lebih dari setahun.
Disebut juga Kasi Evaluasi dan Pengawasan Direktorat Pengelolaan Pertanahan kurang cermat dalam melakukan perhitungan denda keterlambatan pembayaran tagihan UWT. Dan Kabiro Keuangan belum melakukan rekonsiliasi data piutang UWT dengan Direktorat Pengelolaan Pertanahan.
Siapa “Biang” Masalah?
Menurut BPK, sebagaimana dijelaskan bahwa kondisi itu terjadi disebabkan Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi serta Direktur Pengelolaan Pertanahan kurang optimal dalam pemutakhiran data lahan, penertiban alokasi lahan dan penertiban lahan terlantar.
Direkrur Pertanahan belum dapat menyajikan data yang memadai terkait biaya perolehan HPL yang dimiliki dan dikuasai oleh BP Batam.
Akhirnya BPK pun “menyemprit” Kepala BP Batam agar memerintahkan Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan menginstruksikan Direktur Pengelolaan Pertanahan untuk menelusuri status PL dari piutang UWT yang berumur lebih dari setahun.
Selain itu juga diperintahkan untuk menindaklanjuti hasil penelusuran PL termasuk melakukan rekonsiliasi keterlambatan pembayaran tagihan UWT.
Lalu apa kata Ketua DPP LI-Tipikor dan Hukum Kinerja Aparatur Negara Kepri, Panahatan SH mengkritisi sengkarut masalah lahan temuan BPK yang tak kunjung terurai ini?
Panahatan minta Kepala BP Batam mengevaluasi biang kerok semakin semrawutnya penanganan pengelolaan pertanahan di Batam sebagaimana rekomendasi BPK.
“Evaluasi ini penting untuk menghindari tudingan masyarakat bahwa ‘kepala sama ekor’ sama saja,” kata Panahatan.
Apalagi, ujar Panahatan, tudingan di balik bisnis lahan di Batam kekinian menukik pada kepentingan politik orang tertentu di tahun 2024. (red)