BatamNow.com – Warga Kampung Jabi, Kelurahan Batu Besar, masih dihantui keresahan sebab belum ada penyelesaian konkret terhadap status lahan kampung mereka di dalam Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) yang dialokasikan ke pihak perusahaan.
Hal itu diungkapkan warga yang juga tokoh masyarakat di Kampung Jabi, Amiluddin dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPRD Kota Batam pada Rabu (07/12/2022). Disebutkan, ini sudah pertemuan yang ketiga kali.
“Turun ke lapangan kalau nggak percaya Pak. BP Batam mengadu domba masyarakat dengan perusahaan,” katanya dalam RDPU yang dipimpin oleh Ketua DPRD Batam Nuryanto.
Amiluddin mengatakan warga Kampung Jabi merasa resah setiap malam. Menurutnya, warga masih bersabar namun akan melawan jika terpaksa.
“Resah orang Batu Besar sekarang, semua dalam kampung tua itu sudah di-PL-kan. Dan susahnya lagi perusahaan ini menggiring preman-preman untuk beradu dengan masyarakat kita,” ujarnya.
Sementara Ketua RW 04 Kampung Jabi, Suhaimi mempertanyakan mengapa mereka harus direlokasi padahal sudah bermukim di sana jauh sebelum Bandara Hang Nadim dibangun.
“Sementara perusahaan dengan PL masuk di kawasan KKOP. Kenapa kami harus dipindahkan?” tanyanya heran.
Selain itu, Suhaimi juga menegaskan bahwa Kampung Jabi disepakati dengan luas 76,56 hektare. Itu disepakati dalam rapat pleno bersama DPRD Batam, Pemerintah Kota Batam dan BP Batam pada 2019 lalu.
“Kampung Tua Kampung Jabi seluas 76,56 hektare yang sudah diplenokan tahun 2019 tapi luasan lahan tersebut belum ditandatangani. Kami butuh jawaban kenapa selang begitu lama waktunya belum juga ditandatangani luasan lahan tersebut?” ujarnya.
Ketua DPRD Batam Nuryanto mengamini bahwa hasil pleno sebelumnya, Kampung Jabi dengan luas lahan 76,56 hektare. “Di pleno bukan hanya Pemko, ada BP Batam juga, 76 hektare itu diakui bersama,” terangnya.
Kata Cak Nur –panggilan akrabnya–, saat itu BP Batam juga sudah diminta berkomitmen menyelesaikan persoalan PL milik orang lain di dalam Kampung Jabi.
“Tentu konsekuensinya, pihak BP Batam harus menyelesaikan PL-PL yang ada di dalamnya. Itu kan hak orang, harus diselesaikan. Ini sampai sekarang belum saya dengar peneyelesaiannya bagaimana,” tukasnya.
Soal Bangunan di KKOP, Yunus SPi: Kalau Industri Boleh, Rumah Masyarakat Boleh dong?
Sementara Anggota DPRD Batam Muhammad Yunus SPi mengungkapkan bahwa dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam, Kampung Jabi ditetapkan sebagai wilayah pemukiman.
“Di RTRW 2021-2041, itu juga tetap pemukiman. Kok PL-nya industri? Kalau mau, seharusnya bisa diselesaikan tanpa mengganggu kampung tua,” ujarnya.
Yunus pun mempertanyakan seperti apa sebenarnya penggunaan lahan di dalam area KKOP, karena belakangan diketahui sudah dialokasikan untuk industri.
“Karena selama ini kan katanya tidak boleh ada bangunan kalau di KKOP. Kalau industri boleh berarti rumah masyarakat boleh dong?” ucap Yunus.
Ia khawatir, nantinya di lahan yang disebutkan sebagai industri itu malah berdiri bangunan ruko.
“Mungkin industri dikasih di bagian belakangnya, yang beberapa meter dari ROW jalan nanti tahu-tahu menjadi ruko-ruko. Kalau memang menjadi ruko, biarlah masyarakat yang bikin ruko di situ,” pintanya.
Perwakilan Pusrenpros BP Batam, Milzam Fariz hanya menjelaskan bahwa pengalokasian lahan di area sekeliling Bandara Hang Nadim mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 47 Tahun 2022 tentang Rencana Induk Bandar Udara Hang Nadim.
“Di Kepmenhub 47/2022, di area sekeliling Bandara Hang Nadim itu ada salah satu peruntukannya yang dinamakan CBD atau commercial business district yang artinya penggunaannya akan dikomersialkan baik perdagangan jasa maupun industri, tapi bukan di area landasan pacu, bukan di area yang vital,” katanya.
Ia mengatakan tidak bisa memberikan solusi terhadap persoalan warga Kampung Jabi ini, karena bukan kapasitasnya. Inilah yang disesalkan oleh warga, karena BP Batam terkesan tidak peduli dengan mereka.
Meskipun begitu, warga Kampung Jabi menegaskan tetap memilih bertahan di kampung peninggalan nenek mereka itu.
“Kami sepakat untuk mengajukan permohonan ke BP Batam suapaya kami dijadikan permanen di situ. Kami siap membayar WTO berapa pun harganya sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Abdul Kadir.
Selain itu, mereka juga tidak mampu membangun rumah jika direlokasi.
“Karena kalau sekarang kami dipindahkan ke depan, masyarakat tidak sanggup membangun rumah. Masak kami diusir, kan tidak adil. Itu kampung kami,” tegasnya. (LL)