BatamNow.com – Suatu lowongan kerja (loker) umumnya memasang kualifikasi untuk menyaring para pelamar yang akan mengisi posisi tertentu.
Sayangnya, tidak semua pencari kerja bisa memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Hal ini mengakibatkan beberapa orang gugur bahkan sebelum mencoba melamar pekerjaan.
Kondisi ini pun menuai perhatian beberapa warganet, salah satunya dalam video TikTok ini yang tayang pada Minggu (11/12/2022).
Video tersebut bernarasi, banyaknya pengangguran di Indonesia salah satunya dipicu oleh kandidat yang tidak memenuhi kualifikasi.
Misalnya, kualifikasi loker berada di level bintang tiga, tetapi kandidat yang melamar hanya memiliki kemampuan pada level bintang satu.
“Setelah masuk dunia HRD Jadi paham knp banyak pengangguran di Indo. Lokernya ada, banyak bgt. Kandidatnya yg gaada. Kualifikasi lokernya (bintang tiga) tapi yang lamar kebanyakan cuma (bintang satu), bahkan kurang,” tertulis dalam video.
Warganet: Kualifikasi Berat
Kembali dibagikan di media sosial Twitter oleh akun ini, pengunggah menertawakan beragam video warganet lain yang menanggapi video tersebut.
Dia mengatakan, kualifikasi loker di Indonesia terlampau tinggi hanya untuk satu posisi pekerjaan.
“Ngakak banget liat stitch nya wkwk. Tapi bnr sih wong kualifikasi kerjanya kaya apaan tau, yang bisa di isi 3 orang malah di cari satu orang,” tulis pengunggah, Minggu (29/1/2023).
Pengguna Twitter pun berbondong-bondong membenarkan twit pengunggah.
“emang udh gila sistem kualifikasi di negara ini. udah mah minta macem macem, mana pula kualifikasi nya kadang rasis dan ujung ujungnya gaji gk sebanding dgn jobdesk, sebenernya bukan SDA kita yg rendah, tp perusahaannya yg gatau diri,” komentar warganet Twitter.
“Speknya dewa gaji seikhlasnya HAHAHAHAHA,” kata warganet lain.
“Bisa ga si sistem cari karyawan kek gini di rombak di Indonesia? Kasian banyak FG yg sampe skrg belom dapet kerja, banyak yg pengangguran karena tuntutan kualifikasi nya berat. Biar terserap secara maksimal gitu para jobseeker di Indonesia,” ujar warganet.
Ada Fenomena Mismatch
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi mengatakan, kualifikasi lowongan pekerjaan tentu disesuaikan dengan kebutuhan kerja.
Menurut dia, fenomena tak sesuainya kualifikasi dengan kandidat atau mismatch masih menjadi tantangan.
“Terkait dengan apa yang disampaikan di Twitter memang ada fenomena mismatch masih menjadi tantangan kita,” ujarnya kepada Kompas.com, Senin (30/1/2023).
Mismatch tersebut, bisa antara bidang studi yang dipelajari dengan tuntutan kompetensi kerja maupun antara jenjang pendidikan dengan kebutuhan kompetensi kerja.
Oleh karena itu, lanjut Anwar, perlu adanya pemetaan kebutuhan jenis dan kualifikasi kerja yang tepat untuk menghadapi situasi seperti ini.
“Sehingga lembaga pendidikan utamanya pelatihan bisa menyiapkan kurikulum dan materi yang pas,” kata dia.
“Inilah salah satu tujuan dari Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi,” imbuh Anwar.
Banyak Pengangguran, Indikasi Minim Lapangan Kerja
Terpisah, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono mengungkapkan, banyaknya pengangguran justru mengindikasikan ketersediaan lapangan kerja yang masih minim.
“Sekaligus menjadi bukti bahwa omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja gagal memenuhi janjinya,” tutur Kahar, saat dihubungi Kompas.com, Senin.
Kahar menjelaskan, UU Cipta Kerja menjanjikan akan membuka lapangan kerja yang luas. Namun ternyata, masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Sebaliknya, kualifikasi loker di Indonesia yang dinilai tinggi sehingga membuat banyak pengangguran, menurut Kahar tidak sepenuhnya tepat.
Sebab, pekerjaan dengan kualifikasi tinggi tersebut tidak membutuhkan banyak tenaga kerja.
“Sebagai contoh, lowongan kerja yang tersedia hanya untuk 1 atau 2 orang, tetapi yang melamar lebih besar dari itu,” ujarnya.
Cipta Kerja gagal menjawab tantangan dunia kerja
Dia pun mengatakan, apabila memang benar bahwa kualifikasi tinggi menjadi penyebab maraknya pengangguran, seharusnya Cipta Kerja fokus pada keterampilan.
“Omnibus law Cipta Kerja yang sekarang sudah menjadi Perppu gagal menjawab tantangan yang ada di dalam dunia kerja,” ungkap dia.
Padahal, peningkatan keterampilan kerja bisa dilakukan melalui upaya mensinergikan dunia pendidikan dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam lapangan kerja.
Dengan demikian, kata Kahar, calon tenaga kerja sudah memiliki kualifikasi yang dibutuhkan setelah lulus pendidikan.
Adapun berkenaan dengan keberadaan program Kartu Prakerja untuk menambah keterampilan, dia menyebut tak bisa menjawab kebutuhan.
“Kartu Prakerja tidak menjawab kebutuhan akan keterampilan kerja, jika pelatihan yang ditawarkan berbasis aplikasi daring (online),” tandasnya. (*)
sumber: Kompas