BatamNow.com, Jakarta – Pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Batam yang dipegang oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam melibatkan mitra operasional dan maintenance (OM) yakni konsorsium PT Moya Indonesia dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.
Konsorsium perusahaan entitas milik Salim Group dan perusahaan milik BUMN itu kemudian membuat perusahaan patungan (joint venture) bernama PT Air Batam Hulu dan PT Air Batam Hilir pasca menang lelang SPAM Batam. Kedua perusahaan ini meneken perjanjian kerja sama dengan BP Batam pada Jumat, 29 Juli 2022 dan resmi menangani SPAM Batam sejak Senin, 1 Agustus 2022 hingga 15 tahun masa konsesi.
Sayangnya, meski ditangani dua perusahaan skala nasional, namun pengelolaan SPAM di Kota Batam tidaklah lebih baik. Bahkan, warga membandingkan pelayanan dinilai lebih baik saat dikelola perusahaan sebelumnya PT Adhya Tirta Batam.
Bayangkan, sebagian warga Kota Batam harus menunggu air mengalir sekitar pukul 01.00 WIB-04.00 WIB dini hari, selepas itu air mati total. Di tempat lain, bahkan air tak jarang mati total, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga harus menampung air hujan hingga mengambil dari kubangan air yang tentu kualitasnya sangat tidak baik. Namun, warga seperti tidak punya pilihan lain. Karena saat dikeluhkan pun, malah Kepala BP Batam ex-officio Wali Kota Batam Muhammad Rudi malah seperti mengejek warga. “Bagus juga hidup, ye. Kalau mati 24 jam bagaimana,” kata Rudi kepada warga, Selasa (10/01/2023) lalu.
Sebagai seorang pemimpin, Rudi bukannya menaruh simpatik kepada penderitaan warganya malah bersikap nyeleneh. Apakah dia bisa merasakan, sementara ia bersama keluarga tidur lelap di bawah sejuknya AC, rakyatnya harus begadang menunggu air mengalir.
Dari hasil penelusuran BatamNow.com, ternyata dua perusahaan konsorsium mitra BP Batam dalam mengelola SPAM, tengah tersandung masalah.
Di Jakarta, PT Moya Indonesia yang berhasrat mengelola SPAM di Jakarta pasca berakhirnya kontrak dengan Palyja dan Aetra, jelas-jelas ditolak oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak Atas Air (Gerak).
Secara khusus Gerak menyurati Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dan meminta tidak lagi melakukan swastanisasi air. Surat peringatan itu mendesak Heru agar tidak menyerahkan hak pengelolaan air minum dan air bersih kepada pihak swasta.
Gerak menilai ada potensi terjadinya swastanisasi air jilid II lantaran Pemprov DKI dan PAM Jaya telah menandatangani kontrak pengelolaan air dengan PT Moya Indonesia pada Oktober 2022 lalu.
“Kami, warga DKI Jakarta yang tergabung dalam Gerak melayangkan surat peringatan kepada Pj Gubernur DKI Jakarta. Hal ini didasarkan pada poin-poin permasalahan yang akan berpotensi timbul akibat kebijakan baru yang mengatur pengelolaan air di DKI Jakarta,” kata pengacara publik LBH Jakarta selaku perwakilan Gerak, Jihan Fauziah Hamdi, dalam keterangan persnya, Senin (30/01/2023) lalu.
Gerak beranggapan, selama ini swastanisasi air telah melanggar hak asasi manusia dan konstitusi terkait pemenuhan hak atas air warga Kota Jakarta. Bahkan, kata dia, KPK pun merekomendasikan Pemprov DKI Jakarta untuk tak memperpanjang kontrak PAM Jaya dengan PT Aetra.
Dia menjelaskan, pengelolaan air bersih di Ibu Kota bergantung pada tiga hal. Pertama, Nota Kesepakatan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tertanggal 3 Januari 2022 tentang Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan SPAM.
Kedua, Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya untuk Melakukan Percepatan Cakupan Layanan Air Minum di DKI Jakarta yang ditetapkan pada 30 Maret 2022. Ketiga, Keputusan Direksi PAM JAYA No. 65/2022 tentang Pedoman Tata Cara Kerja Sama Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum.
Dengan tegas, Gerak mengajukan 5 tuntutan yakni:
1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait penyelenggaraan penyediaan Air di Jakarta melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Aetra dan Palyja dengan melibatkan masyarakat
2. Membuka informasi atas proses evaluasi, proses transisi, dokumen-dokumen terkait serta bagaimana skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) penyelenggaraan air di Jakarta melalui Pergub DKI 7/2022, Nota Kesepakatan Kemendagri-KemenPUPR-Pemprov DKI Jakarta tertanggal 3 Januari 2022 serta Keputusan Direksi PAM Jaya No. 65/2022
3. Memberikan jaminan bahwa ketika Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Aetra dan Palyja berakhir, layanan air tetap tersedia dan tidak diputus
4. Membuka ruang pertemuan dengan Warga DKI Jakarta yang tergabung di dalam Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak Atas Air (GERAK) untuk membahas dan memberikan kejelasan informasi sebagaimana poin 1-3 tuntutan ini
5. Melakukan remunisipalisasi pengelolaan air Jakarta sebagaimana mandat Putusan MK No. 85/PUU-XI/2012 dan memastikan pemenuhan hak atas air untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali, khususnya untuk masyarakat miskin dan rentan.
Sementara satu lagi perusahaan mitra operasional BP Batam yakni PT PP (Persero) Tbk, saat ini tengah menghadapi gugatan dari salah satu vendor CV Surya Mas. Gugatan didaftarkan dengan Nomor Perkara: 22/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Jkt.Pst, pada 26 Januari 2023. Nilai gugatan yang diajukan kabarnya sebesar Rp3,1 miliar.
Di sisi lain, sejak lama Ombudsman Kepri sudah meminta BP Batam mengevaluasi kinerja dua mitranya tersebut. “Banyak hal yang masih belum dijelaskan secara gamblang kepada masyarakat tentang langkah dan kebijakan yang dilakukan BP Batam melalui SPAM BP Batam dan mitra kerjanya konsorsium PT Moya dan PP Persero,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman RInl Provinsi Kepri, Lagat Siadari, kepada BatamNow.com, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, isi kontrak antara BP Batam dengan mitra (PT Air Batam Hilir dan Hulu) sebaiknya dibuka ke publik. “Tidak ada yang perlu dirahasiakan karena ini merupakan layanan publik dan pelanggannya adalah masyarakat yang membayar semuanya. Akuntabilitas dan transparasi BP Batam dipertanyakan kalau justru menutup-nutupi info ini,” tandasnya.
Disampaikan Lagat, pihak BP Batam menyampaikan pengelolaan SPAM hilir dan hulu awalnya akan dipisah, namum ternyata malah ketika dilelang langsung untuk pengelolaan keduanya. Patut diduga ada patgulipat dalam proses lelang tersebut sehingga tidak transparan.
Ada apa di balik konsorsium yang dibuat oleh BP Batam dalam mengelola SPAM? Maukah BP Batam transparan terkait kerja sama dengan dua perusahaan tersebut? (RN)