BatamNow.com, Jakarta – Sejumlah persoalan mencuat terkait kinerja jajaran Bea dan Cukai (BC) di sejumlah daerah. Makin terkuak dugaan-dugaan selama ini bahwa oknum-oknum BC kerap ‘bermain’ mendulang cuan dengan segala cara.
Dari hasil penelusuran BatamNow.com, ternyata di era Orde Baru, instansi yang berada di bawah Kemeterian Keuangan (Kemenkeu) tersebut sempat dibubarkan lantaran diduga jadi sarang pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum-oknum di dalamnya. Diduga saat itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai.
Dalam tulisannya di Harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969, wartawan senior Mochtar Lubis menuturkan, ketika itu praktik-praktik penyeludupan dan penyelewengan di BC terjadi karena terjalin kongkalikong antara BC dengan importir penyelundup. Saat itu, Menteri Keuangan (Menkeu) dijabat oleh Ali Wardhana.
Disebutkan, kalaupun ada pelanggaran, BC menerapkan istilah ‘denda damai’ yang memuaskan semua pihak yang tersangkut. Dengan tegas, Mochtar meminta Menteri Keuangan untuk memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ itu yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur.
Bahkan dia menilai, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest yang telah berakar lama antara BC dengan importir-penyeludup. “Perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya,” pintanya. Namun faktanya, keadaan demikian bertahan cukup lama.
Dikisahkan, saat Menkeu mengunjungi kantor BC di Tanjung Priok, Mei 1971, dia melihat sendiri para petugas tengah bersantai. Dia juga mendapati kabar adanya penyeludupan ratusan ribu baterai merek terkenal.
“Padahal, Menkeu Ali baru memberikan tunjangan khusus sebesar 9 kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah EY dalam buku ‘Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa’.
Akhirnya, Ali Wardhana melakukan mutasi pejabat eselon II antar-unit eselon I. Pada 1978, Direktur Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali. Namun, ternyata cara ini tak memperbaiki kinerja BC, karena penyelewengan dan penyeludupan terus terjadi.
Kemudian, Ali Wardhana diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan, tahun 1983. Posisi Menteri Keuangan diisi oleh Radius Prawiro.
Dibekukan
Pada 29 Agustus 1983, Radius Prawiro melantik seorang perwira tinggi Departemen Hankam, Bambang Soejarto sebagai Direktur Jenderal BC menggantikan Wahono yang terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur.
Dalam pidato pelantikan, dengan tegas Radius Prawiro meminta jajaran BC memerangi para penyeludup sampai ke akarnya. “Akan kita perangi sampai ke akar-akarnya,” tukasnya. Sayangnya, penyelewengan dan penyeludupan BC masih belum lenyap.
Keluhan dari para pengusaha datang bertubi-tubi. Mereka melaporkan oknum aparat BC yang ribet, berbelit-belit, dan melakukan pungli. Itu menjadi bahan diskusi para menteri dan mendapat masukan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Akhirnya, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi. Berpegang pada Instruksi Presiden tersebut, BC pun dibekukan. Sebagian wewenang BC diberikan kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveilance (SGS).
Hanya bertahan 10 tahun, sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997, kewenangan dikembalikan pada Direktorat Jenderal Bea Cukai. UU tersebut kemudian direvisi dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan No. 10/1995.
Bahkan, UU 10/1995 memberikan kewenangan lebih besar kepada Dirjen BC sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diembannya. Dengan pemberlakuan UU tersebut, produk hukum kolonial tidak berlaku lagi. Lahir pula UU 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yang kemudian diubah dengan UU 39/2007, untuk menggantikan kelima ordonansi cukai lama.
Di era reformasi, konon kabarnya Kemenkeu terus melakukan perbaikan, termasuk di Dirjen BC. Pada tahun 2000, di bawah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, dilakukan penataan organisasi Dirjen BC untuk mengoptimalkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan standarisasi teknis. Dibentuk juga Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai. Sementara itu, Pusat Pengolahan Data dan Informasi BC (PPDIBC) dihapus. Kemudian dilakukan perubahan nomenklatur Direktorat Perencanaan Penerimaan menjadi Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai.
Guna memperkuat fungsi pengawasan kepabeanan dan cukai serta mengoptimalkan pencegahan dan pemberantasan penyeludupan, UPT Pangkalan Sarana Perhubungan BC diubah nomenklaturnya menjadi Pangkalan Sarana Operasi BC (PSOBC). Dibentuk pula tenaga pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal BC pada 2006, serta beberapa kali penataan instansi vertikal sejak 2009 hingga 2014.
Lanjut pada tahun 2018, di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani, dilakukan penataan organisasi Pangkalan Sarana Operasi BC. Dengan perbaikan-perbaikan tersebut, Dirjen BC memainkan peranan penting dalam melindungi masyarakat dan industri dalam negeri, serta mengoptimalkan penerimaan negara untuk pembangunan nasional. Selain itu, dilakukan transformasi Balai Pengujian dan Identifikasi Barang menjadi Balai Laboratorium BC, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor-84/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Laboratorium Bea dan Cukai.
Akan Dibekukan Kembali?
Saat ini, BC tengah didera berbagai masalah. Salah satunya terkait dugaan kongkalikong registrasi IMEI, seperti terjadi di Kota Batam, Kepulauan Riau. Bahkan diduga, oknum BC Batam juga menjadi beking masuknya perangkat seluler, terkhusus handphone jenis iPhone, yang diduga berasal dari Tiongkok.
Dari hasil investigasi BatamNow.com, diketahui bahwa iPhone ilegal tersebut secara sengaja dibawa oleh orang-orang yang memang khusus dibayar untuk berangkat dari Batam ke Singapura. Masing-masing orang dibelikan tiket feri PP Batam-Singapura-Batam dan uang makan SGD 30 untuk membawa dua unit HP jenis iPhone.
Di Singapura, HP tersebut dikumpulkan, lalu dibawa kembali ke Batam dan didaftarkan IMEI-nya. Dibuat skenario seolah HP tersebut dibeli dari Singapura. Mereka yang membawa HP tersebut sudah mengantongi invoice bodong yang dibuat di Batam. Lewat aplikasi BC, HP didaftarkan, dengan memasukkan harga seenaknya (sesuai invoice) yang intinya harus di bawah SGD 500 agar tidak kena bea masuk dan pajak impor. Padahal, harga iPhone tersebut ditaksir senilai Rp 7,5 juta.
Sesampai di Batam, IMEI pun didaftarkan dengan mulus dengan cukup membayar Rp 150 ribu saja. Parahnya lagi, sekarang orang tidak perlu lagi membawa unit HP ke Batam, karena pendaftaran IMEI bisa dilakukan hanya melalui boarding pass yang diperoleh di pelabuhan.
Modus lain dari pemain HP melegalkan dagang HP-nya lewat registrasi IMEI bermodalkan boarding pass penumpang yang dikoordinir jaringan pedagang HP ilegal.
Para penumpang dari Batam yang kebanyakan wanita itu sengaja diberangkatan tanpa membawa HP lagi ke Batam-Singapura-Batam.
Di Singapura para suruhan berbayar ini hanya menyerahkan boarding pass feri tujuan Batam kepada koordinator di Singapura.
Lalu para koordinator mengisi semua data paspor dan boarding pas serta invoice pembelian HP bodong dan sejumlah suruhan melenggang kembali ke Batam.
Ratusan HP gelap di Batam setiap hari teregistrasi IMEI dan HP ilegal tadi menjadi legal dengan modus seperti ini.
Diduga sudah ada kongkalikong antara penadah HP di Batam dengan oknum BC, sehingga pajak yang seharusnya masuk kas negara dihapus. Sebagai gantinya, diduga pengusaha nakal akan memberi fee kepada oknum BC. Nampak sangat rapi sekali ‘permainan’ ini.
Sayangnya, kondisi demikian seperti tak digubris oleh Pemerintah Pusat. Sepertinya tak ada satu pihak pun yang mau menginvestigasi hal tersebut. Padahal, potensi hilangnya pendapatan negara akibat perlakuan oknum BC tersebut bisa mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah bila dibiarkan terus.
Ke mana aparat keamanan atau lembaga kontrol. Bahkan Kemenkeu sendiri yang memiliki Inspektorat Jenderal pun terkesan tutup mata terhadap ‘ulah’ jajaran di bawahnya. Bahkan Menkeu pun seperti tak mau tahu. Dikhawatirkan, mereka pun sudah terkontaminasi alias “masuk angin”. Mungkinkah BC dibekukan kembali karena menjadi pusaran masalah yang menggerus pendapatan negara? (RN)