BatamNow.com – Keberadaan kampung-kampung di Pulau Rempang, Galang, Kota Batam, Kepri, sudah berusia ratusan tahun dan memiliki nilai kesejarahannya. Kabarnya, Pulau Rempang telah dihuni warga setidaknya sejak tahun 1834, di mana warga asli di sana adalah Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat.
“Kami di sini dari generasi ke generasi. Bahkan, dulu nenek moyang kami pun berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang di pulau ini,” kisah Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Gerisman Achmad, kepada BatamNow.com, di Pantai Melayu, Rempang, Batam, Kamis (11/05/2023).
Kehadiran Jepang di pulau ini ditandai dengan adanya makam tentara Jepang di pulau tersebut.
“Kami tidak keberatan kalau ada pihak yang mau mengembangkan potensi Pulau Rempang, tapi jangan kami jadi digusur atau direlokasi,” serunya.
Menurut Gerisman, kalau benar Pemerintah dan BP Batam mau mengembangkan pulau ini harusnya warga di sini diajak diskusi dan duduk bersama, bukan ujug-ujug kasih hak pengelolaan lahan kepada investor.
“Sejak awal, tidak ada dialog, baik dari Pemerintah Batam maupun BP Batam. Tiba-tiba kami dapat kabar hak pengelolaan Pulau Rempang seluas 17.000 hektare sudah diberikan ke PT Makmur Elok Graha (MEG). Bahkan, kami malah yang mau direlokasi,” ujarnya mengaku keheranan.
Kalau sampai terjadi begitu, lanjut Gerisman, pihaknya akan siap melawan. “Kami tidak anti-investasi, tapi kami juga minta kejelasan dan transparansi, utamanya dari BP Batam dan pemerintah setempat. Terbuka saja karena kami juga mau kehadiran investasi di sini bisa membantu meningkatkan kesejahteraan warga Pulau Rempang,” tuturnya.
Menurutnya, Pemkot Batam dan BP Batam adalah pihak yang bertanggung jawab atas keluarnya izin investasi. Untuk itu, KERAMAT yang berslogan ‘Bumi Bertuah Negeri Beradat’ ini menantang apakah kedua instansi itu mau menemui dan memberikan penjelasan konkret kepada warga Rempang.
“Kalau berani membuat keputusan memberikan hak pengelolaan lahan kepada pihak swasta, ya datang dong ke sini, temui warga di sini. Jangan-jangan mereka (Pemkot Batam dan BP Batam) takut bertemu dengan warga Pulau Rempang,” duga Gerisman.
Dikatakannya, sekalipun Pemkot Batam dan BP Batam pernah menyatakan tetap akan mempertahankan kampung tua di Pulau Rempang, tapi dirinya tidak percaya. “Kalau hanya lisan saja saya tidak percaya sama sekali. Saya mau itu dibuat tertulis dan berkekuatan hukum,” tukasnya.
Dengan lugas Gerisman memastikan, kalau sampai dipaksakan relokasi, dirinya bersama warga kampung yang direlokasi akan turun ke jalan. “Saya berjanji kalau sampai warga dipaksa direlokasi, maka kami akan turun dan membuat pagar blokade menolak hal tersebut. Tidak ada jalan lain dan tidak ada negosiasi untuk hal itu,” tegasnya.
Gerisman mengaku, dari bocoran master plan yang ia peroleh nampak kalau warga dari 16 kampung di Pulau Rempang akan direlokasi ke satu tempat. “Ini akan kita lawan. Kami punya pertanggungjawaban besar kepada anak-cucu kita dan ini menyangkut sejarah yang harus dilestarikan dan tidak boleh hilang,” serunya.
Ditambahkannya, ke-16 kampung di Pulau Rempang yang akan direlokasi yakni Tanjung Kertang, Tanjung Kelingking, Blongkeng, Pantai Melayu, Monggak, Pasir Panjang, Sembulang, Tanjung Banun, Cijantung, Dapur Tiga, Pengapit, Air Lingka, Rempang Cate, Sungai Langkai, Sungai Raya, dan Dapur Enam.
Luas wilayah ke-16 desa tersebut, kata Gerisman, tak lebih dari 1.500 hektare. “Bayangkan, tidak ada 10 persen dari luasan Pulau Rempang seluruhnya yang mencapai hampir 20.000 hektare. Tapi ini juga mau direlokasi. Padahal, kesejarahan ada di sini. Tidak masuk akal,” tukasnya.
Dia meminta rencana relokasi ditinjau ulang. “Silakan bangun Rempang, tapi jangan relokasi warga di sini,” tegasnya.
Sementara itu, Trijono Direktur PT MEG ketika dikonfrontir terkait permintaan Keramat mengatakan, “Soal permintaan itu, kita akan coba diskusikan dengan BP Batam. Kita coba duduk bersama-sama dengan warga untuk bermusyawarah”.
Apakah akan ada perubahan site plan bila pihak PT MEG sebagai pengembang memenuhi permintaan warga? Trijono menegaskan, “Kami akan bicarakan dengan pemerintah dan BP Batam. Takutnya kami bicara sekarang dianggap melawan atau merubah secara sepihak. Banyak isu yang beredar dan membuat kita bingung. Itu kembali pada kebijakan pemerintah dan saya tidak bisa mendahului”.
Dirinya mengaku sudah ada yang coba membangun komunikasi dengan warga, tapi dirinya merasa kurang kompeten untuk menjelaskan. (RN)