BatamNow.com – Heboh soal penggusuran paksa warga rumah liar (Ruli) Tangki Seribu, Batu Ampar, Batam, pada Rabu (05/07/2023) sampai seorang anggota Tim Terpadu terkena anak panah.
Sesaat setelah kejadian, Kepala Biro (Kabiro) Humas BP Batam Ariastuty Sirait mengatakan tindakan penggusuran oleh Tim Terpadu itu sudah sesuai prosedur.
Dan dia pun menjelaskan kronologi PT Batamas Indah Permai (BIP) mendapat alokasi lahan di Tangki Seribu.
Tapi di sisi lain BP Batam “bungkam” kala ditanya tentang proses dan prosedur baku pengalokasian lahan ke PT Buskon Tunas Jaya (BTJ) yang kemudian dialihkan ke PT Batamas Indah Permai (BIP) yang diduga di luar prosedur.
Redaksi BatamNow.com mengonfirmasi dan mengklarifikasi BP Batam terkait dugaan tak beres di tahapan-tahapan pengalokasian lahan PT BIP.
Konfirmasi lewat WhatsApp dikirim redaksi pada Kamis, 6 Juli 2023. Ditujukan kepada Kepala BP Batam Muhammad Rudi, Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi Sudirman Saad, Direktur Pengelolaan Pertanahan Iham Eka Hartawan dan Ariastuty sendiri.
Namun sejak konfirmasi dilayangkan hingga berita ini dimuat tak ada respons. BP Batam bungkam?
Beberapa poin pertanyaan yang diajukan, antara lain dugaan terjadi ketidakadilan sosial oleh BP Batam sebagaimana disampaikan warga tergusur yang harusnya dilindungi kebutuhan papannya sesuai dengan konstitusi negara.
Tentang dugaan ketidakadilan ini mereka membandingkan dengan proses pengalokasian lahan kepada PT BTJ dan PT BIP yang diduga menyimpan masalah.
Mereka menuding BP Batam menjalankannya tidak dengan prosedural alias akal-akalan. Banyak pihak menuding BP Batam lebih berpihak kepada kemauan kapitalis.
Pengalokasian lahan kepada PT BTJ dan PT BIP diduga bagian dari ‘permainan’ atau dugaan konspirasi para mafia lahan di eksternal dengan oknum di internal BP Batam.
Soal dugaaan mafia lahan, memang sudah isu klasik di pusaran pengalokasian lahan di Direktorat Pengelolaan Pertanahan BP Batam, selama ini. Riuh, bejibun kasus lahan di BP Batam dan tak habisnya.
Sebagaimana dijelaskan Ariastuty, pada 5 Desember 2005 BP Batam mengalokasikan lahan ke PT Buskon Tunas Jaya (BTJ) seluas 19.995 meter² dengan PL nomor 25.85030217.H1.
Namun menyimak dari data yang dijelasan Ariastuty, tiga tahun sejak mendapat izin alokasi, tampaknya, PT BTJ tak mengelola apapun di atas lahan itu sesuai peruntukan yang ditentukan BP Batam.
Mengapa lahan dibiarkan “terlantar” atau tidak dikelola oleh PT BTJ sesuai peruntukannya?
Dan, mengapa BP Batam tidak mencabut hak pengelolaan lahan itu dari PT BTJ?
Bukankah ketentuan di BP Batam mengatur tindakan pencabutan itu?
Kemudian penjelasan lain Ariastuty, meski telah mendapat alokasi lahan tahun 2005 namun uang sewa lahan atau UWTO belum dibayarkan PT BTJ hingga lahan dialihkan ke PT BIP tahun 2008. Mulusnya pengadministrasian pengalihan itu oleh BP Batam dengan IPH nomor 4939/PL/X/2008 tanggal 22 Oktober 2008.
Kemudian ketika status alokasi lahan berpindah tangan pada tahun 2008, pun UWTO selama 7 tahun tak kunjung dibayar oleh PT BIP. Itu jika membaca penjelasan Ariastuty bahwa PT BIP baru membayar UWTO terhitung tahun 2015-2045 atau dengan hak sewa 30 tahun pertama.
Bukankah BP Batam (Negara) dalam konteks ini pihak yang dirugikan dari aspek sewa lahan jika dikalikan dengan UWTO per meter² dikali 7 tahun dikali luas lahan sejak PT BIP mendapat alokasi lahan pengalihan tahun 2008?
Dan lain lagi jika menghitungnya sejak lahan dikuasai PT BTJ sejak tahun 2005.
Dan juga soal hak pengalihan lahan dari BTJ ke BIP, mengapa itu bisa berjalan mulus padahal sejak tahun 2005-2008 belum terjadi pembayaran UWTO?
Benarkah dugaan selama ini ada mafia lahan dari oknum-oknum pertanahan BP Batam yang merekayasa cara seperti ini atau memang cara seperti ini sesuai prosedur?
Terindikasi Terjadi Jual Beli Antar-Pemohon?
Jika dilihat dari proses pengalihan lahan dikaitkan rentang waktu pembayaran UWTO, kelihatan di sini, begitu leluasanya perusahaan penerima alokasi dan bahkan dapat “dispensasi ” atau tak membayar UWTO sampai 7 tahun ditambah 3 tahun sejak lahan dialokasikan tahun 2005.
Bukankah pengalihan seperti itu dicurigai terindikasi terjadi ‘jual-beli’ lahan antar-pemohon yang tak dibolehkan peraturan baku di BP Batam?
Kemudian setelah terjadi peralihan hak dengan diterbitkannya IPH dari BP Batam tahun 2008 dan sejak pembayaran UWTO tahun 2015, pihak PT BIP juga tak kunjung mengerjakan (membangun) di atas lahan tersebut sesuai dengan peruntukannya BP Batam.
Mengapa BP Batam mentolerir atau membiarkannya dan bukan mencabut izin alokasi lahan itu hingga terjadi penggusuran paksa pada 5 Juli 2023 yang menurut Ariastuty sesuai prosedur?
Belum terkonfirmasi dengan PT BIP kapan konkretnya pembangunan di atas lahan itu dimulai pasca penggusuran sesuai dengan Surat Perianjian-nya dengan BP Batam yang harusnya sudah ditandatangani bersama sejak kelengkapan legalitas formal berupa dokumen PL; SPPT; SKPT; UWTO dan IPH dari BP Batam sudah terbit.
Sejak tahun 2005, lahan dibiarkan terlantar. Ini tentu memancing niat warga yang butuh tempat berteduh dengan menggarap lahan. Itu normal saja karena bumi dan air negeri ini adalah kedaulatan rakyat juga.
Mereka menancapkan bangunan seadanya hanya untuk dapat sekadar berlindung dari terpaan hujan, panas dan dingin.
Atas inisiatif sendiri mereka tidak menjadi beban negara sebagai warga yang terlantar sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, dimana keberadaan warga terlantar diurus dan dilindungi oleh negara.
Terkait kehadiran Tim Terpadu yang melakukan penggusuran paksa. Apakah itu bagian dari prosedur yang disampaikan oleh Ariastuty?
Apakah tindakan penggusuran terhadap setiap gangguan di atas setiap lahan yang dialokasikan, menjadi tanggung jawab BP Batam? Misalnya bangunan liar?
Apakah operasional Tim Terpadu pada Rabu (05/07) di Tangki Seribu di bawah koordinasi langsung BP Batam atau atas inisiatif sediri pemilik alokasi lahan?
Sebab jika di bawah koordinasi BP Batam dan bagian dari prosedur mekanisme operasionalnya, ini berimplikasi pada beban biaya atau anggaran keuangan BP Batam.
Apakah biaya setiap penggusuran rumah liar dan lainnya di Batam masuk dalam sistem penganggaran Badan Layanan Umum (BLU) itu untuk membiayai operasional Tim Terpadu?
Lalu berapa “ikat” sudah rupiah yang digelontorkan BP Batam untuk anggaran ke sana selama ini?
Dan jikalau mekanisme tindakan penggusuran sudah tersistem seperti itu di BP Batam, mengapa tindakan penggusuran di Tangki Seribu tidak dilakukan jauh hari dan di tempat lain yang kini masih dengan bangunan liar yang masif?
Banyak pihak menyebut, cara-cara penggusuran paksa ini adalah tindakan yang kurang profesional dari BP Batam dan disebut tidak manusiawi. Padahal salah satu tujuan pembangunan Batam untuk mensejahterakan warga pun memanusiakan manusia.
Tindakan penggusuran seperti ini sudah sejak Batam dibangun-kembangkan, tapi kini eksesnya dirasa semakin menakutkan.
Menjadi tontonan kurang baik karena memicu keributan dan gaduh, bukan menjadi tuntunan.
Banyak yang prihatin atas situasi penggusuran seperti ini yang pada akhirnya warga negara atau masyarakat Batam yang berhadap-hadapan dengan aparatnya sendiri.
Ini disebut ihwal dari penanganan dan pengawasan (tindakan pencegahan dari awal) yang tak berjalan dari BP Batam sebagai penguasa lahan sehingga munculnya berbagai bangunan liar secara masif dan merata di Batam.
BP Batam Tak Dini Cegah Rumah Liar Berdiri?
Catatan BatamNow.com, kawasan Tangki Seribu dan Bukit Senyum telah beberapa kali dilakukan tindakan penggusuran. Tentu dengan biaya yang lumayan besar.
Namun BP Batam sepertinya tidak melakukan pengawasan ketat atau pencegahan terhadap pendirian rumah liar berikutnya. Malah terkesan membiarkan yang dituding “untuk menciptakan proyek”.
Bulan ini digusur, beberapa bulan kemudian muncul lagi dan tumbuh menjamur tanpa pengawasan yang ketat, kecuali hanya dengan menancapkan papan pemberitahuan yang pengadaannya pastilah lewat proyek pengadaan.
Satu hal yang juga poin konfirmasi redaksi media ini: soal dugaan hutan lindung untuk relokasi warga Tangki Seribu?
Benarkah BP Batam atau pihak PT BIP sendiri menyediakan lahan relokasi bagi warga tergusur di koordinat hutan lindung?
Sekilas soal hutan lindung yang sudah banyak dialokasikan BP Batam selama ini sudah mendapat peringatan keras dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun lalu.
Dalam dokumen Laporan Hasil Pemeriksan (LHP) atas Laporan Keuangan BP Batam, BPK akhirnya mengultimatum BP Batam supaya berhenti mengalokasikan dan membabat, menggunduli hutan lindung.
“Kalau BP Batam tak tobat-tobat, itu namanya bukan hanya zalim lagi, tapi menjadi lazim seenak perutnya,” timpal warga yang lain di lapangan. (tim)