BatamNow.com – Pengalokasian lahan di Pulau Rempang ke PT Makmur Elok Graha (PT MEG), disebut satu-satunya pengalokasian lahan super jumbo dan baru pertama kali sepanjang sejarah BP Batam (dulu Otorita Batam), masa 51 tahun.
“Kalau tak salah iya, baru kali ini terjadi penyerahan satu pulau sekaligus seluas 17 ribu hektare ke satu perusahaan, biasanya hanya ratusan hektare,” ujar sumber di lantai 2 Kantor BP Batam, gedung berlogo Elang Emas di Batam Center itu.
Penelusuran BatamNow.com, per 31 Desember 2022, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam yang tercatat pada Direktorat Pengelolaan Pertanahan seluas ± 27.599 hektare dengan 527 sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Artinya, alokasi lahan kepada PT MEG itu besarnya lebih dari separo total luasan tanah yang dimiliki BP Batam per akhir tahun lalu.
Proses pengalokasian lahan dari BP Batam ke PT MEG juga disebut tumben tergolong cepat. Apalagi investasi dari pabrik kaca terbesar dari Cina perusahaan Xinyi Group itu disebut segera masuk ke Pulau Rempang.
Namun publik meragukan proses administrasi pengalokasian lahan itu tidak seindah yang dirilis BP Batam.
Bahkan luas lahan yang sebenarnya menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam yang dialokasikan ke PT MEG, menjadi pergunjingan di tengah masyarakat.
Publik menilai BP Batam masih kurang transparan terkait status dan luas lahan di Pulau Rempang peruntukan “Rempang Eco-City” itu.
Apalagi dalam rilis BP Batam, PT MEG sebagai pengelola pengembangan Pulau Rempang telah mengantongi Surat Keputusan (SK) Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPJL-PSWA) dan SK Pelepasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK).
Kebijakan BP Batam mengalokasikan lahan dengan bedol desa di Pulau Rempang dan Galang, mengundang decak kagum publik, namun bermunculan tudingan bahwa BP Batam kerap seperti berkelit di pusaran pengalokasian lahan di Pulau Repang.
Salah satu contoh adalah pernyataan Muhammad Rudi yang seolah buang badan di polemik relokasi warga masyarakat adat di sana, lalu seperti melempar tangung jawab ke era pemerintahan Wali Kota Nyat Kadir periode 2001-2005.
Muhammad Rudi mengakui ia hanya meneruskan pemberian izin ke PT MEG yang sudah ada MoU-nya sejak tahun 2004.
Dua dekade lalu, satu MoU antara Wali Kota Batam Nyat Kadir periode 2001-2005 itu dengan PT MEG ditandatangani.
Luas lahan yang diperjanjikan kerja sama dengan PT MEG, kala itu, sekitar 43 ribu hektare. Sementara pengalokasian dari BP Batam kekinian hanya seluas 17 ribu hektare.
Apakah MoU usang yang hampir dua dekade itu masih relevan dikaitkan dengan pemberian izin terkini ke PT MEG, dengan konsep pengembangan yang beda?
PT MEG perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata dua dekade lalu bermimpi dengan konsep membagun Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) yang diplesetkan proyek Kwetiau (sejenis mie tradisi Cina).
Namun proses itu terhenti karena diduga terjadi KKN, hingga lahan Rempang dan Galang disebut dalam status quo.
Kini berembus isu terbaru di tengah masyarakat bahwa izin kawasan yang diberikan BP Batam ke PT MEG sebagai kawasan industri eksklusif yang dikhawatirkan membatasi publik masuk ke beberapa area di sana, kelak.
Ini mirip dengan status kawasan pariwisata Lagoi di Bintan yang tak mudah dimasuki oleh warga lokal.
Pengalokasian lahan di Pulau Rempang kini masih menyimpan bara ancaman terhadap sekitar 10 ribu warga masyarakat adat di 16 kampung sejarah di sana.
Rencana relokasi dari BP Batam ditolak keras oleh masyarakat lewat aksi protes termasuk unjuk rasa yang dikoordinasi Aliansi Pemuda Melayu pada Rabu (23/08) minggu lalu.
Baik Kepala BP Batam Muhammad Rudi, Direktur Pengelolaan Pertanahan Ilham Eka Hartawan dan Kabiro Humas BP Batam Ariastuty Sirait tidak merespons konfirmasi BatamNow.com terkait data dan poin masalah dalam tulisan ini. (red)