BatamNow.com – Kampung Tanjung Banun kini ramai diberitakan di tengah polemik Pulau Rempang buntut rencana pengembangan kawasan Eco-City di Kota Batam, Kepulauan Riau.
Daratan yang menjorok ke laut di ujung tenggara Rempang ini, direncanakan sebagai titik tujuan penggeseran warga yang menempati 5 kampung lainnya di pulau tersebut.
Tim BatamNow.com mengunjungi kampung di Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang itu pada Kamis (28/09/2023).
Dari Jembatan Tengku Fisabilillah alias Jembatan I yang ikonik itu, menempuh jarak ±36 kilometer untuk sampai ke Kampung Tanjung Banun di Pulau Rempang.
Total ada 6 rangkaian Jembatan Barelang yang menghubungkan gugusan Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Setokok, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru.
Barelang adalah akronim dari nama 3 pulau terbesar di Kota Batam.
Pada peta, posisi gugusan pulau yang disebut mirip kalajengking ini, berurutan dari Batam di paling utara hingga Galang Baru di ujung tenggara.
Pulau Rempang berada di arah tenggara Pulau Setokok, keduanya terhubung oleh Jembatan Sultan Zainal Abidin (Jembatan IV Barelang).
Tim BatamNow.com berangkat dari kantor di kawasan The Central Sukajadi, Batam Center, di Pulau Batam, memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan untuk sampai ke Kampung Tanjung Banun.
Setiba di lokasi, terlihat pemukiman warga Tanjung Banun mayoritas dibangun di pesisir dengan konstruksi rumah pelantar terbuat dari kayu dengan pondasi tertancap di perairan dangkal di sana. Sisi kanan dan kirinya masih dipenuhi mangrove.
Sebagian kecil lagi rumah dibangun di dataran tinggi Tanjung Banun yang masih ditumbuhi banyak pepohonan.
Susana pada Kamis (28/09/2023) siang, di Tanjung Banun, tampak sepi aktivitas warga.
Tim media ini mencari dan mendatangi rumah Ketua RW 01, namun sedang tidak di rumah.
Selanjutnya ke Ketua RT 01, sama juga sedang berada di luar.
“Cari pak RT ya? Lagi tidak di rumah,” ucap seorang warga yang menghampiri tim BatamNow.com, di depan rumah Ketua RT 01.
Pria tersebut adalah Nasir, warga asli Tanjung Banun, kelahiran 57 tahun silam.
“Ada apa ya Pak,” tanya dia.
Tim media ini pun menjelaskan maksud kedatangan ke sana untuk melihat kondisi terkini kampung-kampung di Pulau Rempang yang warganya tengah berjuang menolak relokasi. Isu itu menasional bahkan sampai ke media internasional.
“Oh, kami ini menyambut kalau tujuan kedatangannya baik,” ucap Nasir sambil melempar senyum.
Nasir menceritakan banyak hal, mulai dari awal mula pembukaan Kampung Tanjung Banun, asal usul namanya, hingga apa yang kini dirasakan warga terkait isu relokasi ataupun penggeseran.
Ratusan KK di Tanjung Banun di satu RT dan satu RW, menurut Nasir, mayoritas berprofesi sebagai nelayan yang sehari-hari melaut. Tangkapan mereka berupa ikan, kepiting hingga gonggong moluska laut khas Kepulauan Riau itu.
Selain nelayan, sebagian warga bermata pencaharian sebagai pekebun menanam tanaman tua seperti mangga dan kelapa.
3 Orang Pembuka Kampung
Dikisahkan Nasir, cerita didapatnya dari sang ayah yang tutup usia hampir 100 tahun, Kampung Tanjung Banun dibuka oleh 3 orang termasuk leluhurnya.
Tahun pastinya tidak diketahui, tetapi itu dalam rentang masa penjajahan Belanda di nusantara.
“Jadi waktu zaman Belanda itu, kan itu zaman rawan. Jadi perjuangan mereka bukanlah perjuangan melawan Belanda di saat itu, perjuangan mereka menyelamatkan anak-istri mereka,” kisah Nasir.
Salah satu dari 3 orang pertama membuka Kampung Tanjung Banun adalah Azman yang disebut Nasir sebagai datuknya. “Ada lagi orang tua bernama Jalul, dan Jemahat, yang buka kampung ini,” terangnya.
Pembuka kampung ini, disebut berasal dari Pulau Bintan di arah timur laut Pulau Rempang. Bila ditarik garis lurus di peta, terpaut lautan sekitar 28 kilometer.
“Walaupun tidak berjuang melawan musuh, tapi perjuangan mereka melindungi keluarga di zaman itu,” tandasnya.
Bongkat Menimpa Pemimpin Lanun
Semasa penjajahan Belanda, warga pun menetap di kampung tersebut.
Namun ternyata, tanjung itu disinggahi oleh lanun alias bajak laut/ perompak.
“Waktu pembukaan, di zaman Belanda itu, ada lah sekelompok lanun kalau sekarang disebut perompak. Kalau zaman kerajaan disebut lanun,” kata Nasir menceriterakan kisah yang ia dengar dari orangtuanya.
Namun akhirnya, kelompok lanun minggat karena pemimpinnya tetiba meninggal dunia sesaat tertimpa bongkat –bahasa Melayu buah pohon mangrove.
“Jadi berhenti lah di daerah sini, jatuhlah bongkat menimpa ketuanya, mati nggak jadi pergi merampok. Jatuh ke hidungnya. Jadi maka itu disingkatkan menjadi nama kampung ini menjadi Tanjung Banun,” terang Nasir.
“Tapi ukuran buah bakau itu kan kecil?” tanya wartawan media ini.
“Iya. Setiap orang mati itu kan ada sebabnya. Entah sebelumnya dia sudah sakit. Tapi begitulah cerita yang saya dengar,” jawab Nasir.
Sepengetahuan Nasir, tujuan perompak itu adalah Kampung Kuala Buluh yang terletak dekat dengan Kampung Dapur 6, masih di Pulau Rempang.
Di Kuala Buluh, katanya, dahulu dihuni oleh orang-orang etnis Cina.
“Jadi dia singgah di sini, rencana menunggu malam, hendak merompak orang-orang Cina di Kuala Buluh,” sebutnya.
Alasan Kuala Buluh menjadi target, lanun disebut ingin merompak barang bernama “Candu” yang disebut-sebut ‘diproduksi’ di sana.
Ketika ditanya apakah maksudnya adalah Opium, Nasir tak bisa memastikan istilahnya.
Opium adalah getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.
“Candu, seperti ganja. Karena orang dulu banyak makan itu. Itulah yang dibikin di situ, candu-candu itu. Jadi maksud lanun ini mau merompak itu,” jelas Nasir.
Pulau Rempang Bergabung ke Kota Batam
Dikisahkan warga, dulunya pasca kemerdekaan Indonesia, Pulau Rempang masuk ke Kecamatan Bintan Selatan.
Penelusuran BatamNow.com, dahulu Kecamatan Bintan Selatan, Bintan Utara, dan Batam masuk ke Kewedanan Tanjungpinang, Daerah Tingkat (Dati) II Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. (Ahmad Dahlan PhD. Sejarah Melayu. Jakarta: PT Gramedia, 2014)
Pembentukan Daerah Tingkat (Dati) II Kabupaten Kepulauan Riau berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau Nomor 615 tertanggal 15 Desember 1962.
Kemudian diputuskan semua Daerah Administratif Kewedanan dihapuskan per 1 Januari 1966. Semua Dati II berubah status menjadi kabupaten dan kota.
Lalu pada 1983, Tanjungpinang dan Batam ditetapkan sebagai Kotamadya Administratif (Kotif). Dan keduanya tak lagi menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Riau.
Pada 1992, Pulau Rempang ditambahkan ke wilayah kawasan industri Pulau Batam. Ini berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 tertanggal 29 Juni.
Tahun 1999 Kotif Batam ditetapkan sebagai Daerah Kota Otonom dan pada 2004 dimasukkan ke wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang adalah pemekaran dari Provinsi Riau.
Masuknya Proyek Rempang Eco-City
Warga yang mengaku sudah hidup turun-temurun bahkan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, kini merasa resah dan ketakutan dipindahkan dari kampung leluhurnya.
Rencana relokasi berembus pasca diumumkannya proyek Rempang Eco-City di atas lahan seluas ±17.000 hektare di Pulau Rempang, Galang.
Warga menolak keras relokasi 16 kampung di Pulau Rempang, Galang.
Penolakan relokasi disampaikan dengan berbagai cara bahkan dengan unjuk rasa bahkan sempat bentrok dengan aparat di Jembatan IV Barelang yang merupakan akses darat satu-satunya ke Rempang dari Pulau Batam.
Terbaru, pemerintah mengubah rencana relokasi yang semula ingin merelokasi dan mengumpulkan seluruh 16 kampung ke perkampungan baru di Dapur 3, Sijantung, Pulau Galang.
Rencana barunya disebut sebagai penggeseran kampung bukan relokasi, karena katanya, titik tujuan masih di Pulau Rempang.
Pada tahap awal, 5 kampung yakni Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Pasir Merah, Pasir Panjang dan Belongkeng, bakal digeser ke Kampung Tanjung Banun.
Kelima kampung itu terdampak karena lokasinya bakal jadi tempat dibangun industri pabrik kaca dan panel surya oleh Xinyi Group asal Cina.
Berdasarkan rilis Badan Pengusahaan (BP) Batam, ada 961 KK yang tinggal di 5 kampung terdampak tahap awal pengembangan Rempang Eco-City. Sementara di Tanjung Banun ada 361 KK.
Bagi masyarakat, utamanya di kampung-kampung yang hendak digeser itu, mereka tetap tegas menolak.
“Kami menolak relokasi, penggeseran, sama saja itu,” tegas mereka, Kamis (28/09).
Warga Resah, Aktivitas Terganggu
Hingga kini warga tempatan di Pulau Rempang masih merasakan keresahan, utamanya karena khawatir kampungnya direlokasi atau digeser.
Buntut keresahan itu, mereka jadi tidak bisa fokus melaut dan berkebun untuk mencari uang dan persediaan buat bertahan hidup.
Hal itu disampaikan para warga yang ditemui di Kampung Sembulang Hulu, Pasir Merah, Pasir Panjang, Dapur 6, dan Tanjung Banun, di Pulau Rempang, kepada BatamNow.com pada Kamis (28/09).
Keresahan itu paling dirasakan dalam dua bulan terakhir. Meski begitu, mereka menegaskan tak akan menyerah dan tetap memperjuangkan kampung agar tak direlokasi ataupun digeser.
Warga Tanjung Banun pun masih khawatir apakah nantinya juga akan digeser lagi setelah rampung tahap awal pengembangan Program Strategis Nasional di Pulau Rempang itu. “Iya. Ketakutan itu tetap ada,” kata Nasir, warga di sana.
Ia mengamini, aktivitas melautnya kini terganggu dan pendapatannya pun berkurang.
Nasir berharap, pemerintah menerima permintaan mereka yang tidak mau ada relokasi ataupun penggeseran 16 kampung di Pulau Rempang, Galang.
“Kalau memang pemerintah itu memegang patokan Pancasila, tak seharusnya masyarakat kami begini. Pancasila kan lengkap itu, keadilan, persatuan. Jadi kenapa masyarakat Indonesia kok ditindas. Bukan kita ngawur, memang fakta,” tegasnya. (tim)