Tiangwangkang, begitu nama salah satu kampung tua di Kota Batam yang tim BatamNow.com kunjungi pada Rabu (25/08/2021).
Penamaan Tiangwangkang ini bagaimana asal mulanya dan seperti apa kehidupan warganya yang dikabarkan hampir seluruhnya keturunan asli Suku Laut? Tim BatamNow.com pun mencoba berkunjung dan mengeksplor kampung tua itu.
Di Kota Batam sendiri ada lebih dari 30 kampung tua, tersebar di 9 kecamatan. Nah, Kampung Tua Tiangwangkang ini masuk ke Kecamatan Sagulung.
Jika dari simpang traffic light Tembesi, jalan masuk ke kampung tua itu –simpang tiga-, letaknya sekitar 1,3 km sebelum Jembatan Raja Fisabilillah atau yang lebih dikenal dengan Jembatan I Barelang.
Di persimpangan Jalan Trans Barelang itu terpasang plang penunjuk arah ke Kampung Tua Tiangwangkang, tertulis jarak ± 1,5 km. Tenang saja, akses jalan ke perkampungan itu sudah diaspal. Lebarnya sekitar 4 meter, jadi selain dengan sepeda motor juga bisa diakses dengan mobil.
Sepanjang jalan masuk ke Kampung Tua Tiangwangkang, sisi kiri-kanannya ditumbuhi pepohonan dan rumput ilalang yang cukup tinggi meskipun ada juga beberapa titik yang sudah “gundul”. Sedangkan bangunan rumah penduduk terlihat hanya satu dua saja.
Sekitar 5 menit perjalanan, tim BatamNow.com tiba di depan gapura Kampung Tua Tiangwangkang.
Bentuknya mirip dengan gapura-gapura yang ada di beberapa kampung tua lainnya, hanya beda nama saja.
Mungkin memang sudah menjadi patron yang ditentukan. Dilihat dari komposisi warnanya pun sama, dominan hijau-kuning, warna khas dari Suku Melayu yang adalah penduduk asli Pulau Batam.
Tepat di sebelah kiri gapura, berdiri Vihara Thiwangkang. Penamaannya dibuat mirip dengan nama kampung tua di sana.
Hardi yang tinggal di dekat vihara, mengatakan bahwa tempat ibadah itu dibangun oleh orangtuanya.
Pengerjaannya dicicil secara perlahan. “Sampai sekarang, mungkin 4 tahun lebih juga,” ujarnya.
Ia katakan, vihara itu terbuka untuk umum. “Boleh, kapan-kapan pun boleh. Orang luar banyak juga datang,” ucapnya.
Bangunan dan interior Vihara Thiwangkang ini dominan berwarna merah, hijau dan kuning keemasan.
Dekorasi luarnya sebagaimana vihara pada umumnya dengan bentuk atap yang khas.
Di bagian atas depan bangunan dibuat ukiran nama vihara itu. Sedangkan bagian dalamnya, terdapat beberapa patung, lukisan dan perlengkapan sembahyang.
Tepat di muka sebelah kiri vihara ada satu bangunan lagi, pagoda tujuh tingkat. Masih dengan komposisi warna yang sama dengan vihara tadi.
Usai mengeksplor Vihara Thiwangkang kami langsung menuju ke perkampungan warga, jalannya menurun ke arah bibir laut.
Di sekitar ujung jalan masuk, selain vihara tadi ada juga Masjid At-Taqwa dan GPIB Zebulon Batam.

Pewarnaan masjid dan gereja ini pun masih menggunakan warna dominan hijau-kuning khas Melayu.
Di kampung ini, hampir semua rumah warga adalah rumah pelantar yang dibangun di atas pesisir menjorok ke arah laut.

Tim BatamNow.com mencoba berkeliling, berinteraksi dengan beberapa warga. Semua warga di sana merespons dengan ramah. Kekhasan yang biasa dijumpai di kampung tua.
Mencari tetua kampung atau Ketua RT/RW menjadi wajib dilakukan ketika berkunjung ke lokasi terbilang baru, apalagi informasinya minim.
Bertanya kepada beberapa warga, akhirnya kami menemukan rumah Ketua RT Kampung Tua Tiangwangkang. Rumahnya terletak cukup strategis, tepat menghadap ke arah jalan keluar-masuk perkampungan itu dan sudah kami lewati tadi.
Pak Mus, begitu warga memanggilnya saat kami menanyakan siapa Ketua RT di sana.
Ketika ditemui, ternyata nama lengkapnya Amos, satu kata saja kata dia. “Iya, itu nama baptis saya sejak kecil,” jelas Amos.
Pak Amos adalah keturunan asli Suku Laut. Dan katanya, hampir semua warga Kampung Tua Tiangwangkang adalah keturunan Suku Laut.
“Tapi tidak sempat lagi merasakan hidup seperti orang tua dulu, sekarang sudah di darat,” jelas Amos.
“Saya sempat juga ikut bekerja di proyek pembangunan Jembatan I Barelang, bawa boat,” kenangnya.
Dilansir dari akun instagram resmi Kemdikbud, Suku Laut (Sea Nomads) atau Suku Sampan, sering juga disebut Orang Laut, merupakan suku yang tinggal di wilayah perairan Kepulauan Riau.
Disebut sebagai Suku Laut karena melakukan seluruh aktivitas kegiatan hidup di laut dan memfungsikan perahu atau sampan yang beratapkan sebuah kajang sebagai rumah mereka. Mereka hidup berpindah dari pulau ke pulau hingga muara sungai (nomaden).
Amos ungkapkan, ada sekitar 280 penduduk di kampung tua ini. Menurutnya, luas kampung ini sekitar 9 hektare. “Namun di BPN sekitar 7 hektare,” ungkapnya.
Amos menyebut, kini warga sudah bisa mengakses listrik dan air bersih.
“Air bersih dari UPT Bina Marga,” ujarnya.
Satu kemajuan lagi disyukuri Amos adalah sanitasi yang sudah memadai.
“Sekarang kami tak malu kalau datang tamu soalnya sanitasi sudah ada, sudah pakai closet semua,” celetuk Amos.

Soal asal usul penamaan Kampung Tua Tiangwangkang ini, Amos tak tahu pasti. Hanya dengar ke dengar saja.
Sepengetahuannya, dahulu di perairan kampung tua ini banyak aktivitas kapal tongkang. Selain itu juga, di sini dulu ada pohon jeruk besar yang disebut Lim Wangkang. Dan kemungkinan besar kedua kata inilah yang lama-kelamaan bercampur pengucapannya hingga muncul penyebutan ‘Tiangwangkang’.
Urusan pendidikan, kata Amos, anak-anak di kampung itu bersekolah ke pulau lainnya. “SD di Pulau Akar kalau SMP di Pulau Panjang. Untuk SMA baru ke Batam, paling dekat di Cipta Asri,” terangnya.
Amos mengapresiasi perhatian Pemerintah Kota Batam yang menyediakan transportasi ke sekolah untuk anak-anak mereka.
“Transportasi disiapkan, anak kita tinggal pergi sekolah aja,” ujarnya.
Mata pencaharian masyarakat Kampung Tua Tiangwangkang rerata sebagai nelayan, petani rumput laut dan pembuat arang.

Untuk rumput laut yang dicari di sini adalah jenis rumput laut liar atau lebih dikenal dengan rengkam (sargassum sp). Sama seperti yang “diolah” masyarakat di Pulau Mat Belanda di Kecamatan Belakang Padang.
Pengakuan warga di sana, rengkam ini diekspor ke luar negeri untuk dijadikan pakan ternak, pupuk, bahkan bahan kosmetik.

Mengolah rengkam relatif mudah, hanya perlu dicuci lalu dijemur hingga kering di bawah terik matahari.
Abdullah, seorang warga Kampung Tua Tiangwangkang mengatakan harga rengkam kering ini Rp 2.000 per kilo. “Nanti diantar ke dekat Jembatan II,” ujarnya.
Kini, warga Kampung Tua Tiangwangkang tengah berbenah menarik wisatawan terutama dari mancanegara untuk datang sehingga perekonomian mereka ikut meningkat.
Beberapa rumah di sana dicat dindingnya dengan tema bendera negara-negara di dunia. Dengan begini, diharapkan tamu dari luar negeri akan merasa bangga dan senang ketika melihat pola bendera negaranya ‘mampang’ di bangunan rumah warga.
Amos berharap pandemi Covid-19 segera mereda sehingga para wisatawan dari luar negeri berdatangan ke Kota Batam khususnya Kampung Tua Tiangwangkang. Semoga.
Reporter: Domu
Saya memohon izin untuk meminjam kalimat-kalimatnya ya, untuk pembuatan artikel… Baca Selengkapnya