BatamNow.com, Jakarta – Warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, telah mendiami pulau tersebut sebelum ada BP Batam. Bahkan sebelum Indonesia merdeka. Ini ditandai dengan keberadaan rumah-rumah warga di tahun 1900-an dan makam tahun 1800-an.
Anehnya, tanah yang sudah didiami warga seratusan tahun silam tersebut, diakui oleh BP Batam seenaknya saja, hanya berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 28 Tahun 1992.
Hal itu diungkap di dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) hari ini, yang disiarkan langsung di kanal Youtube TVR PARLEMEN.
“Terus di mana logikanya dan nilai kemanusiaannya? Hanya selembar Keppres Nomor 28 Tahun 1992, wilayah penduduk yang tanahnya sudah diduduki kemudian dianggap itu menjadi tanah Negara. Apa ini bisa dimasukkan ke dalam kategori penyerobotan hak-hak tanah yang dilakukan Negara terhadap rakyatnya?” tanya Anggota DPR RI Nusron Wahid, Senin (02/10/2023).
Dengan lugas Nusron dari Fraksi Partai Golkar dapil Jateng II ini menuding BP Batam mirip dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), persekutuan dagang asal Belanda yang melakukan monopoli di Indonesia. VOC dulu hanya mengukur sejauh garis panjang yang ditarik itu menjadi wilayahnya, tanpa memedulikan ada hak-hak masyarakat di situ.
“Kalau cara berpikir seperti itu pak, mohon maaf, apa bedanya BP Batam itu dengan VOC yang hanya mengukur garis panjang, ini sepanjang yang diduduki itu dianggap wilayahnya tanpa mempedulikan ada hak-hak warga negara di situ,” ucapnya lantang.
Harusnya, kata Nusron, pemerintah memberi apresiasi kepada nenek moyang warga Rempang yang telah mau dengan kesadaran penuh bergabung dengan NKRI.
Nusron meminta BP Batam membuktikan dan menunjukkan surat hak pengelolaan lahan (HPL) seluas 600 hektare lebih di Pulau Rempang yang katanya sudah dimiliki BP Batam.
Karena menurutnya setelah turun langsung ke Rempang, ia mendapat informasi dari masyarakat bahwa belum ada HPL BP Batam di pulau tersebut.
“Ternyata waktu saya ke sana pun, ternyata tidak ada HPL-nya menurut masyarakat. Karena itu supaya nggak jadi simpang siur, kami mohon yang 600 hektare penjelasan menteri ATR itu ada HPL-nya ditunjukkan kepada kita bahwa di Pulau Rempang yang 600 hektare itu ada HPL-nya,” tandasnya.
Dia menegaskan, dirinya setuju lebih baik kalau relokasi dihentikan. “Kalau toh memang terpaksa harus dipindah, pertanyaan saya kenapa mereka harus diminta indekos. Kenapa nggak rumahnya itu dibuatkan dulu baru mereka diminta untuk pindah,” katanya.
Dikatakan demikian, Muhammad Rudi, Kepala BP Batam ex-officio tidak bisa mengomentari lebih jauh. “Jadi secara teknis mungkin pak Nusron, ini akan kita sampaikan laporan lengkap ke bapak. Karena kalau diuraikan ini sangat panjang sekali,” ujarnya singkat. (RN)