Catatan Redaksi BatamNow.com
Arena itu sebenarnya merupakan sarana rekreasi keluarga (permainan anak-anak).
Jenis permainannya disebut ketangkasan manual/mekanik, elektronik. Arenanya akrab dikenal gelanggang permainan (gelper).
Jumlahnya bertebar sampai 20-an lebih di sudut Kota Batam.
Jenis usaha tersebut sudah lama beroperasi. Keberadaan usaha pariwisata ini diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Batam No 3 Tahun 2003, perubahan dari Perda No 17 Tahun 2001.
Ketentuan waktu penyelenggaran arena gelper diatur pada Peraturan Wali (Perwali) Kota Batam Nomor 11 Tahun 2023, perubahan dari Perwali 16/2021.
Seharusnya hanya boleh beroperasi mulai pukul 10.00 sampai pukul 24.00, atau 14 jam sehari.
Namun, arena usaha yang diduga perjudian terselubung itu pun merajalela beroperasi selama 20 hingga 24 jam sehari.
Terkait karut-marut pengawasan arena gelper ini sudah disorot Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat. Sebab dasar kebijakan perizinan arena ini pun membonceng dunia dan ranah anak-anak.
KPAI melihat keberadaan arena gelper ini sama saja seperti “mengorbankan” anak-anak, apalagi beroperasi sampai 24 jam. Bukankah itu sama saja mengajak anak-anak ikut begadang?
Pun implikasinya, Kota Batam berpotensi “tak ramah anak”.
Hingga Sabtu (02/11/2023), pelanggaran itu masih berlangsung mulus.
Ramai pengunjung yang bermain, hingga pagi hari. Terkadang ada satu-dua pemain yang membawa anak-anak hingga tengah malam.
Padahal minggu lalu dikabarkan waktu penyelenggaraan semua arena gelper ini akan ditertibkan Pemko Batam.
Rudi Panjaitan sebagai Kadis Kominfo Kota Batam pun memberi sinyal akan ada penertiban atau memberikan teguran
Tapi, alih-alih menertibkan teguran saja belum ada kejelasan.
Ketidaktegasan Pemko ini memantik berbagai syak wasangka publik.
Tudingan miring ke oknum-oknum pejabat di Pemko Batam, ramai digunjingkan.
Dugaan “kongkalikong” antara pelaku usaha gelper dengan para oknum di Pemko Batam dan Pemprov Kepri, menjadi isu klasik.
Tudingan bukan tanpa alasan, setidaknya dipicu tak kunjung ditertibkannya pelaku usaha yang terang-terangan melabrak Perwali itu.
Pemko Batam disebut-sebut seperti kehilangan “taji”.
Para pelaku usaha culas pelanggar Perwali ini memang bukan sekelas pedagang kaki lima yang dengan gampang “dicakar taji” Satpol PP.
Dapat dimaklumi dan sudah menjadi rahasia umum bisnis usaha arena gelper di Batam, cuannya sangat seksi. Mirip dengan kasino di berbagai negara sebagai lapak mencetak bermiliar-miliar fulus para bandar.
Aneh memang, para pelanggar peraturan ini tak kunjung ditertibkan Pemko Batam.
Masyarakat mempertanyakan pembiaran itu meski pelanggaran itu dinilai sudah mencederai wibawa, marwah dari Pemko Batam itu sendiri dan dinilai tamparan bagi wali kotanya.
Pembiaran ini yang dinilai dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemimpin kotanya. Keadilan sosial di tengah masyarakat terkesan tak berjalan.
Banyak juga menilai, membiarkan atau tak menertibkan pelanggaran itu, sama saja bagaikan sedang mendidik masyarakat lain untuk tidak patuh terhadap berbagai peraturan di kota ini apalagi menyangkut ketertiban umum.
Tentu masih banyak yang meyakini, Wali Kota Batam Muhammad Rudi tak sedang memandang masalah ini sebagai hal sepele.
Untuk itu masyarakat masih tetap menanti ketegasan Wali Kota Batam untuk menegakkan peraturannya sendiri yang berkeadilan di tengah masyarakatnya.
Kalau tidak, sulit menepis isu tentang oknum-oknum tertentu di lingkungan Pemko Batam, sedang “bermain” di pusaran arena gelper yang bergelimang cuan itu.
Bahkan dugaan mengalirnya fulus dari arena gelper ke pundi-pundi bakal calon tertentu yang mengemuka jelang Pilkada Provinsi Kepulauan Riau dan Kota Batam di tahun 2024, seakan benar adanya. (*)