BatamNow.com, Jakarta – Meski sudah lulus verifikasi administrasi dan teknis melalui Sistem Online Single Submission (OSS) sejak tiga tahun silam, namun perusahaan tambang pasir laut milik Alex yang berlokasi di Batam, Kepri, tak juga bisa beroperasi. Pasalnya, terganjal di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Saya akan surati Presiden Jokowi untuk menyampaikan kendala yang dihadapi. Semoga ada jalan keluar dari Pak Jokowi,” kata Alex, kepada BatamNow.com, Jumat (19/01/2024).
Perusahaannya adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) berdasarkan Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 322/1/IUP/PMDN/2022 tanggal 14 Februari 2022, yang berlaku hingga 31 Januari 2027.
Menurutnya, meski sudah lulus verifikasi OSS, namun KKP tetap tidak mau terbit billing pembayaran PNBP PKKPRL sebesar Rp 18.680.000/Ha. “Alasan KKP harus tunggu turunan dari PP No 26 Tahun 2023. Padahal, pembayaran PNBP PKKPRL tidak ada hubungan dengan PP 26/2023, tapi diatur dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan,” jelasnya.
Alex menuturkan, di 2023, permohonan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diajukan mendapat 8 kali penolakan. Sejatinya, kata Alex, tidak ada alasan untuk tidak menerbitkan billing pembayaran PKKPRL Pasir Laut untuk IUP OP tambang pasir laut.
“Saya menilai, PP 26/2023 tidak mengatur Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi, seperti terdapat pada Pasal 3 ayat (1) PP tersebut. Juga berdasarkan dokumen final Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepulauan Riau, Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), wilayah perusahaan kami berada pada sub zona pertambangan pasir laut. Dan, pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan menetap di laut telah diatur pada Lampiran PP 85/2021, tepatnya pada halaman 129,” terang Alex.
Dirinya menduga, ada kekhawatiran kalau IUP OP bisa jalan, maka ‘pemain’ baru tidak punya kesempatan lagi untuk mengurus ijin baru. Karena berdasarkan RZWP3K yang ditetapkan KKP, lokasi subzona untuk tambang pasir laut terbatas dan sudah ada perusahaan uang sudah ijin duluan.
Tak Beroperasi
Dia menambahkan, kendala dalam proses pengurusan PKKPRL dari KKP telah mengakibatkan perusahaannya tidak bisa berproduksi selama dua tahun ini.
“Kegiatan penambangan pasir laut yang kami lakukan bukan untuk keperluan ekspor, melainkan kegiatan konstruksi dan pemeliharaan garis pantai dengan reklamasi, seperti pada kawasan pariwisata, kawasan industri dan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan batas terluar wilayah Negera Republik Indonesia,” sebutnya.
Kembali Alex menegaskan, perusahaannya telah memenuhi seluruh persyaratan untuk mendapatkan PKKPRL sesuai dengan hasil verifikasi pada aplikasi OSS dan siap melakukan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk mendapatkan PKKPRL dari KKP.
Patut diduga, sambungnya, PP 26/2023 sengaja dibuat untuk mengakomodir ‘pemain-pemain’ baru dan menyisihkan yang lama.
“Diduga KKP membuat aturan pengolahan hasil sedimentasi laut dengan alasan kesehatan laut dan kebersihan laut, hanya untuk menampung korporasi baru. Saya mengira, PP 26/2023 dan turunannya Permen KP No 33 Tahun 2023 bisa dibaca merupakan kepentingan KKP untuk mengambil alih kekuasaan pengaturan ekspor pasir laut dengan alasan pembersihan kesehatan laut dalam mengolah hasil sedimentasi laut,” tegasnya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP belum dapat memberikan penjelasan resmi terkait masalah tersebut. (RN)