Catatan Redaksi BatamNow.com
Andaikan BP Batam jauh hari menjalankan tugas pencegahannya secara baik dan profesional di lapangan atas berdirinya bangunan nonprosedural di atas lahan di Sei Nayon, Bengkong Sadai, diyakini “sinetron” perobohan bangunan kokoh tak akan terjadi.
Sebab ihwal pembangunan 27 unit bangunan di sana bukan lewat aksi pesulap merah yang sekonyong-konyong berdiri.
Tentu lewat proses waktu yang panjang pengerjaannya. Mulai dari menguruk lahan mangrove di sana hingga ke proses mendirikan bangunan itu konon sekitar tahun 2015.
Apalagi lokasi lahan di sana persis di tepi jalan besar dan dapat dilihat kasat mata. Dan bisa saja sering dilalui para pejabat lahan BP Batam.
Tapi semua itu luput dari pengawasan BP Batam sebagai salah satu tugas utamanya. Atau barangkali terjadi pembiaran sehingga bangunan itu bisa sampai berdiri kokoh.
Atau jangan-jangan para oknum petugas lapangan dari BP Batam maupun Pemko Batam sudah bagian dari persekongkolan dengan penggarap, sehingga bangunan itu bisa berdiri dengan mulus.
Masalah muncul karena bagunan itu didirikan di alokasi lahan PT Harmoni Mas sebagai penerima alokasi lahan. Perusahaan itu mendapat alokasi lahan 21 tahun silam. Tapi tak kunjung dibangun. Wow!
Dan yang pasti ruko dan rumah di atas lahan itu berdiri tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) dari penguasa setempat.
Namun sedikit catatan bahwa tak hanya bangunan di Sei Nayon yang tanpa IMB di Batam. Diperkirakan masih sangat masif lagi di sudut kota industri ini.
Namun bagaimanapun, perobohan paksa bangunan di Sei Nayon adalah deretan peristiwa yang membuktikan karut-marutnya penanganan pengalokasian lahan di BP Batam.
Perobohan yang bisa menjadi image kurang baik bagi BP Batam atau pemerintah di sini di mata para investor dan publik.
Dan kini berita Sei Nayon menjadi topik (highlight) perbincangan publik Batam di akhir tahun 2022 ini.
Sebanyak 22 rumah toko (ruko) bertingkat dan 5 rumah huni permanen di sana menjadi puing-puing yang sudah rata dengan tanah.
Itu terjadi kala belalai baja tiga unit ekskavator milik tim penggusur paksa dari BP Batam dan Pemko Batam merontokkan satu persatu bangunan kokoh itu pada Rabu, 28 Desember 2022.
Bak Singa buas melumat mangsanya. Hampir mirip proses perobohanya dengan Apartemen Indah Puri di Sekupang Batam yang mengecewakan sejumlah orang asing. Yang perkaranya masuk pengadilan itu.
Perontokan bangunan permanen di Sei Nayon hanya berjalan sekitar 5 jam. Operator alat berat di lapangan saat itu tampak ngegas merontokkan konstruksi bagunan itu. Belalai ekskavator itu tak henti melumat fisik jejeran bagunan di samping jalan umum di kawasan Bengkong di Batam itu.
Nyaris tanpa perlawanan dari puluhan pemilik atau penghuni bangunan yang dirobohkan. Mereka tak berdaya. Kecuali mereka hanya dapat meratapi dari jauh. Meratapi uang ratusan juta hasil keringatnya ludes tanpa jejak.
Para pemilik bangunan dapat dikategorikan menjadi korban dari jual beli kaveling dari para penggarap dimana kejadian yang sama adalah jamak dibiarkan berkelindan di kawasan ini. Dan bahkan mafia lahan masih terus merajalela.
Yang jelas penggusuran paksa pada hari itu di-backup penuh oleh Tim Terpadu yang terdiri dari BP Batam, Pemko Batam, Polisi, TNI dan bahkan terlihat Provost TNI.
Dalam tulisan ini tak akan dibahas mengenai tuduhan kuasa hukum pemilik bangunan yang mengatakan bahwa kehadiran tim gabungan itu “pesanan”.
Juga soal kehadiran tim gabungan atau Tim Terpadu di lapangan yang masih dipertanyakan banyak pihak. Redaksi media ini juga belum mendapat konfirmasi atas surat perintah siapa kehadiran mereka di sana. Tentu ini menyangkut konsekuensi anggaran pembiayaan.
Apakah anggaran perobohan lengkap dengan tim gabungan atas anggaran biaya dari BP Batam atau memang lewat dana pihak ketiga.
Karena ketentuan di BP Batam, para pemohonlah diberi tanggung jawab menyelesaikan setiap hambatan apapun yang ada di atas lahan yang dialokasikan.
Syahdan, mengapa bangunan permanen itu dirobohkan paksa?
Dan jika mengurut jauh ke belakang mengapa bangunan bertingkat nan megah itu bisa berdiri tanpa pencegahan dini dari pengawas lapangan BP Batam dan Pemko Batam?
Bukankah petugas dari BP Batam cukup banyak berseliweran di lapangan setiap hari demikian juga dengan pasukan Direktorat Pengamanan (Dirpam) yang dikomandoi Jenderal Polisi itu?
Pada ke mana mereka selama ini? Apakah hanya kongkow duduk di kedai kopi, misalnya?
Hal yang lazim memang terjadi di BP Batam dengan segudang kasus yang senasib dengan bongkar-bangkir di Sei Nayon.
Tak jarang di Batam lahan dikuasai oleh para “tuan thakur” lalu menimbunnya sampai berhektare-hektare kemudian diperjualbelikan.
Namun daripada itu kerap tak ada tindakan pelarangan di lapangan. Demikian juga terhadap bangunan tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Tapi BP Batam seperti menikmati kondisi seperti itu sepanjang sejarah sejak dari Otorita Batam.
Tampaknya BP Batam tak menyadari kondisi seperti ini dapat memperburuk tingkat keamanan dan kenyamanan berinvestasi di Batam. Menjadi potret buram dalam pembinaan masyarakat. Sebab tujuan pembangunan Batam adalah untuk mensejahterakan rakyat bukan untuk kepentingan segelintir kapitalis.
Tapi apapun itu tetap saja BP Batam mengklaim di pihak yang benar meski tak secara tegas dan adil menjalankan pengawasannya di lapangan. Wargalah atau pemilik bangunan nonprosedural itulah yang disalahkan, meski mereka sebagai korban para tuan thakur tadi.
Apalagi tindakan perobohan paksa itu menjadi senjata pamungkas. Kejadian seperti ini menjadi kusut-masai bagi penegakan hukum oleh BP Batam yang seakan digdaya itu.
Di pihak yang merasa korban atau warga pemilik bangunan mengaku tindakan perobohan itu sangat tidak manusiawi. Mereka tak diberi kesempatan alokasi lahan rumah dan ruko mereka untuk menopang hidupnya oleh BP Batam untuk mendapat alokasi lahan kecuali hanya “monopoli” para mafia lahan. Begitu image selama ini ditengah publik.
Kejadian perobohan itu betapa memprihatinkan banyak pihak. Paling tidak jika melihat dari kondisi fisik bangunannya yang permanen lalu dihancurkan. Apalagi dilihat dari nilai materi satu bangunan itu ditaksir Rp 600 juta. Di kali 27 bangunan ruko dan rumah itu.
Pun begitu saja “seenak udel” dirobohkan. Disaksikan mata para pemilik bangunan. Menjadi tontonan bagi masyarakat luas dan tindakan itu disebut tak manusiawi.
Masyarakat mendirikan bagunan di atas lahan yang bukan miliknya, ini alasan pihak penggusur dari pemerintah Batam.
Namun di balik kisruh lahan itu para “korban” mencurigai ada prosedur yang tak beres dan tak berkeadilan dijalankan BP Batam pada proses pengalokasian lahan yang dilakukan oleh BP Batam ke PT Harmoni Mas.
Penetapan Lokasi (PL) lahan itu ternyata berulang kali direvisi oleh BP Batam. Sejak tahun 2001 ke 2003. Dari 518 ribu meter² menjadi sekitar 375 ribu meter². Dan tak kunjung dibangun dalam rentang waktu sangat lama.
Tapi aneh bin ajaib, bukannya lahan itu ditarik sebagaimana diberlakukan ke sebagaian pemilik alokasi lahan yang mangkrak.
Sementara lahan tapak bagunan yang dirobohkan itu hanya bagian kecil dari luas yang dialokasikan ke PT Harmoni Mas.
Dan menurut pengakuan Kabiro Humas BP Batam Ariastuty ada lagi revisi PL tahun 2021 sebagaimana siaran persnya. Pernyataan Ariastuty ini juga bisa menjadi celah sebagai pintu masuk membuka selubung dugaan patgulipat di di balik pengalokasian lahan ini.
Sementara Rajali dan Tiras Siahaan sebagai penggarap lahan dari awal telah membangun ruko dan rumah itu sejak 2015 kala lahan itu tak kunjung dibangun oleh penerima alokasi.
Memang jika berkaca dari hak atas mendirikan bangunan dan penguasaan lahan tak prosedural itu pemantik kisruh itu, posisi warga memang di pihak yang lemah.
Namun jika mengkaji proses kepemilikan alokasi lahan yang bertahun-tahun direvisi apalagi tak kunjung dibangun sampai 21 tahun lamanya, ini menyisakan masalah yang perlu diluruskan.
Dan diperlukan satu upaya membongkar tabir di balik masalah ini.
Artinya boleh saja para warga pemilik bagunan tak prosedural itu disalahkan, namun tak tertutup kemungkinan ada kesalahan prosedur juga di BP Batam yang masih terselubung yang selama ini kerap dijuluki: mafia lahan.
Apalagi di sela proses pembangunan berlangsung dan pada saat BP Batam masih melakukan tindakan revisi PL, didapat info bahwa pemilik bangunan telah beberapa kali berupaya memohon alokasi lahan ke BP Batam, namun ditolak.
Selain pengalokasian lahan PT Harmoni Mas yang maju-mundur, salah satu tanggung jawab dari BP Batam maupun Pemko Batam yang tak dilaksanakan adalah tugas pengawasan yang diembannya untuk mengawasi bangunan yang berdiri tanpa IMB itu. Bangunan yang berdiri di atas lahan yang tak prosedural dari BP Batam.
Namun semua tugas dan tanggung jawab itu sepertinya tak dijalankan secara baik dan profesional. Dan memang hal itu sudah rahasia umum. Sehingga hilirisasi permasalahan seperti ini kerap menjadi kisruh di Batam. Mejadikan kawasan Batam serasa angker.
Pada akhirnya semua saling menyalahkan. Peristiwa Sei Nayon mengukuhkan betapa karut marutnya penanganan lahan di Batam.
Dan meski karut-marut serasa tak menjadi beban bagi BP Batam, mesti terkadang rakyatlah banyak yang menanggung derita.
Peristiwa Sei Nayon bukan satu-satunya. Ini adalah bagian dari episode masalah yang kemungkinan besar masih akan berlanjut ke depan.
Pun masalah IMB ini tak lepas dari sejarah pemukiman rumah liar (ruli) di Batam. Tak lekang dari “permainan” kaveling siap bangun yang dilakoni BP Batam yang izin programnya dikeluarkan hingga 2016. Meski kaveling siap bangun salah satu biang kerok sengkarut masalah lahan di Batam.
Pun juga tak sedikit bangunan rumah dan ruko yang memiliki riwayat sejarah demikian. Hingga kini.
Dan sebelum peristiwa Sei Nayon sederet masalah lainnya yang pemantiknya adalah penanganan pembagian lahan yang kurang berkeadilan meski banyak juga “pemain” di balik itu. Belum lagi isu mafia lahan di tubuh BP Batam sendiri bahkan menyerempet petinggi paling atas.
Tak cukup waktu menggeber satu per satu permasalahan lahan yang sama, khususnya kronologi lahan Sei Nayon itu.
Bongkar-bangkir di Sei Nayon, entah siapa yang salah… (*)
Kami tingal lama d sana dulu danau kecil yg kami… Baca Selengkapnya