BatamNow.com, Jakarta – Pasca dirilis 7 Desember 2023, Kepala BP Batam ex-officio Muhammad Rudi langsung mengklaim bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional, ditujukan untuk menyelesaikan masalah Pulau Rempang.
Sosialisasi pun langsung dilakukan dimana-mana. Padahal, tidak demikian bila ditafsirkan dengan benar.
Namun Petrus Selestinus, advokat senior mengatakan Perpres tersebut tidak tepat digunakan untuk mengatasi masalah polemik Pulau Rempang, Batam.
“Perpres 78/2023 tidak tepat hanya ditujukan untuk persoalan di Rempang, Batam,” kata Kuasa Hukum Himad Purelang ini kepada BatamNow.com, di Jakarta, Minggu (31/12/2023) lalu.
Menurutnya, warga Rempang memiliki status hak dan sejarah yang jelas.
Karena itu, Pemerintah wajib menerapkan UU No 2 Tahun 2012 jo Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum jo PP No 39 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PP No 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Petrus menilai, kalau Pemerintah Pusat dan BP Batam menghadapi masyarakat Rempang dan Galang serta pulau-pulau lainnya di Kepri dengan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan di atas, maka masalahnya clear and clean dan tidak akan menimbulkan dampak sosial apapun selain dampak positif yaitu, masyarakat Rempang dan pemerintah dapat bersinergi dan berdampingan membangun Pulau Rempang sesuai dengan tujuan nasional atau tujuan negara.
Perpres No 78 Tahun 2023, sambung Petrus, tidak dikhususkan untuk masyarakat Rempang.
Namun dilihat dari tempus (waktu) dikeluarkannya, Perpres 78/2023 itu, bisa saja antara lain diperuntukkan dalam rangka persiapan antisipasi dalam rangka penanganan kasus tanah Pulau Rempang yang hingga kini belum selesai.
“Dalam menghadapi persoalan di Rempang, Pemerintah–dalam hal ini Presiden RI jangan terlalu banyak buat aturan, namun penerapannya tidak konsisten atau dilangkahi aturan baku yang masih berlaku. Tak perlu buat aturan baru atau aturan khusus yang lain. Seolah permasalahan tanah di Pulau Rempang sangat rumit sehingga harus dibuat aturan khusus dan berbeda dari permasalahan tanah di daerah lain yang pemerintah hadapi. Padahal, cukup dengan aturan yang ada saja,” tegasnya.
Bahkan, Petrus menduga akan ada skenario terkait pengosongan Pulau Rempang.
“Jadi, bisa saja Perpres 78/2023 itu dipaksakan diberlakukan terhadap warga Rempang yang menolak menyerahkan tanahnya tanpa ganti rugi yang wajar dan adil. Lalu terjadi pemaksaan kehendak sehingga muncul kerusuhan. Dari kerusuhan itu, lalu digunakan Perpres 78/2023 itu sebagai payung hukumnya. Ini mengerikan,” sebutnya.
Dia menambahkan, aroma pemerintah akan jadikan Perpres 78/2023 sebagai pijakan dalam mengosongkan warga Rempang dapat dibaca pada ketentuan Pasal 6 sampai Pasal 10 Perpres itu yakni, lewat Tim Terpadu.
Perpres tersebut, lanjutnya, juga bisa menimbulkan tafsir bahwa Pemerintah akan melanjutkan cara-cara represif, brutal, dan tidak manusiawi terhadap warga Rempang. Yang penting kosongkan dahulu Pulau Rempang, urusan dampak sosialnya Pemerintah akan berlindung di balik Perpres 78/2023, yang tujuannya tidak jelas dan tendensius.
Benarkah akan demikian perlakuan pemerintah terhadap warga Rempang yang jelas-jelas memiliki catatan sejarah dan budaya serta telah mendiami pulau tersebut sejak tahun 1834 silam? (RN)