BatamNow.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperebutkan tata kelola usaha pertambangan dan ekspor pasir laut.
Hal itu diungkap oleh Komisi VII DPR RI dalam kertas panduan kunjungan kerja (kunker) reses legislatif itu ke Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada 11 Mei 2022.
Ihwal rebutan itu mencuat saat rapat dengar pendapat (RDP) para anggota legislatif itu di Senayan pada Januari 2022.
Berebutan karena kedua kementerian itu juga sama-sama punya kewenangan atas Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil pemanfaatan pasir laut.
Menurut Komisi VII, selain atas PNBP, juga terkait dualisme kewenangan dalam pemberian izin.
Padahal, awalnya, kewenangan pengelolaan pasir laut dalam bentuk pemberian Izin Usaha Penambangan (IUP) dan pengawasan ekplorasi termasuk pungutan PNBP, merupakan kewenangan sektor Kementerian ESDM.
Kewenangan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021, dimana pasir laut masuk dalam golongan pertambangan mineral dan tambang batu bara.
Hal lain yang sangat menarik lagi di balik kebijakan rencana pertambangan dan ekspor pasir laut itu ternyata Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) atas tata kelola penambangan pasir laut mengacu pada ketentuan dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker).
Sedangkan putusan MK atas uji meteriil (judicial review) UU Cipta kerja No 11 Tahun 2020, bahwa UU tersebut cacat formil. MK pada putusannya November 2021 menyatakan UU itu inkonstitusional bersyarat. UU itu harus diperbaiki dalam waktu dua tahun. Konsekuensinya, pemerintah tak boleh megeluarkan kebijaan strategis dan membuat peraturan dan aturan turunan UU ini.
Menurut Ketua DPP LI Tipikor Hukum Kinerja Aparatur Negara Kepri, Panahatan SH, dengan munculnya Permen KP mengacu pada UU Ciptaker sudah patut dikategorikan mengabaikan putusan MK.
Katanya, kebijakan atas pertambangan dan ekspor pasir laut seakan dipaksakan di ujung pemerintahan Presiden Joko Widodo ini.
Catatan BatamNow.com, rencana menghidupkan kembali pertambangan dan ekspor pasir laut ini awalnya digagas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kala dijabat Edhy Prabowo.
Edhy Prabowo, seperti banyak orang tahu, dia adalah kader Gerindra, partainya Prabowo Subianto itu.
Sebelumnya, pertambangan dan ekspor pasir laut jor-joran di era pemerintahan Presiden Soeharto hingga era Presiden BJ Habibie.
Namun pada tahun 2002 Presiden Megawati Soekarno Putri menghentikan atau melarang tambang dan ekspor pasir laut lewat moratorium dengan surat keputusan bersama tiga menteri. Alasan penghentian, karena tambang dan ekspor pasir laut merusak ekosistem lingkungan laut.
Kemudian sampai dua periode kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2004-2014, ekspor pasir laut juga tetap dilarang dan diperkuat dengan Undang-undang (UU).
UU Nomor 27 Tahun 2007 dan direvisi dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 dimana Pasal 35 huruf (i) menyebut: Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan Pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/ atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Di masa Presiden Joko Widodo (Jokowi), digesa kembali rencana pertambangan dan ekspor pasir laut itu.
PDI Perjuangan adalah partai pemenang pemilu yang mengusung Jokowi.
Dan yang pasti, satu-satunya negara yang butuh pasir laut secara masif adalah Singapura. Negaranya Lee Hsien Loong itu, dikabarkan hingga kini masih butuh miliaran meter kubik pasir laut untuk mereklamasi daratan di sana.
Bisnis pasir laut ini memang sangat seksi tak jauh beda seksinya dengan pertambangan alam lainnya.
Ratusan triliunan cuan akan bergelimang di pusaran pertambangan dan ekspor pasir laut.
Dapat dibayangkan jika harga per meter kubik pasir laut ekspor dipatok Rp 228 ribu, kalikan jika Singapura butuh 2 miliar meter kubik dalam jangka pendek dan menengah.
Lalu, siapa-siapa sebenarnya para inisiator di balik rencana pencabutan moratorium pertambangan dan ekspor pasir laut ini? (red)