Apa yang sedang terjadi di Batam hari ini adalah salah satu bentuk pertanyaan besar kepada kepala daerah Kota Batam, dimanakah posisi Wali Kota Batam saat ini?
Jika kawasan wilayah Pulau Rempang, Galang, hari ini menjadi program investasi Badan Pengusahaan (BP) Batam, lalu dimana posisi Wali Kota Batam sebagai kepala daerah dalam melihat bentrokan yang sedang terjadi antara masyarakat dengan aparat?
Seperti diketahui, 7 September 2023 adalah hari dimana terjadi bentrokan fisik antara masyarakat Rempang dengan aparat setempat. Bentrokan tersebut disebabkan karena masyarakat menolak adanya pematokan batas di Pulau Rempang Batam.
Hal ini berawal dari adanya MoU antara BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang akan menjadikan wilayah Rempang sebagai kawasan investasi dengan Eco-City.
Alhasil, warga Rempang harus direlokasi.
Sekalipun Kepala BP Batam ex-officio Wali Kota Batam Muhammad Rudi menjanjikan akan mengganti dengan hunian tipe 45 dengan fasilitas kebutuhan masyarakat, namun masyarakat tetap menolak adanya relokasi tersebut.
Problematika Wali Kota Batam Ex-officio Kepala BP Batam
Inilah kekeliruan awal tentang digaungkannya kalimat bahwa “keberadaan ex-officio adalah untuk menghentikan dualisme kepemimpinan di Kota Batam”.
Justru dengan adanya ex-officio, keadaan Kota Batam akan lebih runyam dari berbagai sisi. Salah satu contoh konkretnya adalah apa sedang terjadi di Batam hari ini.
Bentrokan fisik antara aparat dengan masyarakat Rempang untuk mempertahankan wilayahnya dari relokasi BP Batam tentu tidaklah mungkin dapat diselesaikan oleh kepala daerah Kota Batam. Hal ini karena, kebijakan BP Batam adalah ex-officio Wali Kota Batam yang justru menjadi pihak yang merealisasikan isi MoU antara BP Batam dengan PT MEG.
Problematika tak berkesudahan ini jelas ketika Pemerintah Kota Batam dan BP Batam memiliki regulasi yang berbeda-beda tapi sama-sama “merasa memiliki” wilayah Batam.
Jika saja proyek ini adalah proyek daerah, maka masyarakat akan lebih mudah meminta pertangungjawabannya kepada daerah. Namun karena proyek ini jelas merupakan kebijakan pemerintah pusat yang dijalankan oleh BP Batam maka problematikanya menjadi semakin kompleks.
Oleh karena itu, sejak awal penulis menilai bahwa kedudukan BP Batam sudah lama menjadi tidak relevan lagi dalam sistem hukum pemerintahan daerah, setidak-tidaknya sejak adanya Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999.
Hal ini disebabkan karena jika Otorita Batam yang sekarang bernama BP Batam masih berada dalam kekuasaan pemerintah daerah, maka tujuan desentraslisasi jelas tidak akan pernah tercapai.
Lantas dimanakah nilai -nilai otonomi daerah dari perjuangan panjang sejarah reformasi?
Memang Otorita Batam yang kini bernama BP Batam adalah lembaga pengembang Batam pada saat itu. Tapi jelas tidak dapat dikatakan BP Batam memiliki kepemilikan wilayah pada Kota Batam dengan dalih regulasi apapun.
Karena sekalipun Kota Batam belum menjadi kota pemerintahan seperti hari ini, Kota Batam adalah salah satu dari kesatuan masyarakat adat melayu yang sangat besar yang sudah lama hadir sebagai kerajaan Melayu.
Dan jauh setelah itu, masyarakat adat dengan suku laut dan beragam suku lainnya hingga hari ini masih tetap eksis.
Masyarakat suku laut sendiri adalah masyarakat yang kehidupan satu-satunya adalah di laut, dengan mata pencahariannya adalah nelayan.
Lantas bagaimana negara menjaga ini?
Menurut penulis, keberadaan BP Batam sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat harus segera diselesaikan.
Problematika hari ini adalah dimana lembaga pengembang hanya menjadikan daerah sebagai tujuan investasi tanpa memperhatikan kebudayaan, adat istiadat, dan struktur Konstitusi Negara Indonesia.
Dua Lembaga Pada Satu Wilayah Batam Yang Problematik
Awalnya Kota Batam lahir berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 yang hanya menjadikan Kota Batam sebagai wilayah industri dengan lembaga pengembangnya adalah Otorita Batam.
Ketentuan ini jugalah yang menjadi cikal bakal adanya Badan Otorita di Batam. Kemudian Kota Batam dikembangkan menjadi kota administratif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983, dan barulah pada tahun 1999 melalui Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999 Batam ditetapkan menjadi Kota Batam beserta kabupaten lainnya.
Dan pada tahun 2002 melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002 barulah Kepulauan Riau melakukan pemekaran dari Provinsi Riau.
Sepanjang perjalanan Batam menjadi Kota Batam dalam sistem pemerintahan daerah, Otorita Batam tetap berdiri melakukan fungsinya secara bersamaan dengan Pemerintah Kota Batam.
Dan pada tahun 2007 keleluasaan Otorita Batam semakin dikuatkan dengan dihidupkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 2007 perubahan atas Undang-undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Praktis pasca keluarnya Undang-undang Nomor 44 Tahun 2007 lahirlah beragam aturan pelaksana sampai pada tingkatan Peraturan Menteri hingga hari ini.
Tentu semua regulasi kedua lembaga tersebut tidak mudah untuk dipahami. Tidak hanya itu, kedua regulasi lembaga tersebut banyak memiliki pertentangan norma secara horizontal ataupun vertikal.
Sederhananya saja, kasus-kasus di PTUN adalah contoh kasus masyarakat bukan hanya berjuang ketika Pemerintah Kota Batam mengeluarkan kebijakan yang merugikan, namun masyarakat juga memperjuangkan haknya atas kebijakan BP Batam yang juga merugikan. Artinya masyarakat berkali lipat disibukkan pada dua badan yang memiliki dua regulasi yang sama-sama dapat merugikan.
Kembali pada kasus Pulau Rempang, bahwa kondisi ini tidak terlepas dari sejarah Keppres Nomor 41 Tahun 1973. Dengan adanya BP Batam maka hak pengelolaan atas tanah diserahkan pada BP Batam untuk merencanakan peruntukan ataupun penggunaan lahan tersebut.
Dan hal itu (Keppres Nomor 41 Tahun 1973) terus dibawa sebagai alas hukum pada peraturan perundang-undangan setelahnya.
Inilah yang problematik, dimana Kota Batam dikuasai oleh negara dengan pengembang BP Batam, dan Pemerintah Kota Batam seakan hanya menjadi formalistik administrasi bernegara semata.
Jikapun nanti pihak BP Batam atau pihak perusahaan berusaha membenarkan tindakannya beralaskan hukum, perlu difahami bahwa adanya sebuah regulasi atas tindakan tertentu belum tentu dapat menjadi benar.
Butuh kajian mendalam khususnya dalam lingkup peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana tidak, Kota Batam adalah kota yang “dimiliki” oleh dua badan dengan regulasi pendirian yang berbeda, lembaga yang berbeda, pertanggungjawbaan yang berbeda, pendanaan yang berbeda dan masih banyak perbedaan lainnya. Sehingga memiliki dasar regulasi saja belum tentu dapat dibenarkan sebagai dasar hukum untuk relokasi warga Rempang-Galang.
Apabila berbicara berdasarkan perspektif investasi dalam kasus Rempang-Galang, maka ada dua pertanyaan.
Pertama, apakah Pemerintah Kota Batam cukup lemah untuk berotonomi dalam bidang investasi hingga masih membutuhkan lembaga pengembang?
Kedua, bagaimana konstitusionalitas Negara jika warga Rempang-Galang direlokasi dan lahannya diinvestasikan pada sebuah perusahaan tanpa kebijaksanaan dalam pengembilan keputusan?
Pada akhirnya, rencana investasi perusahaan kaca terbesar konon di dunia dan bentuk invenstasi lainnya yang akan dilakukan oleh BP Batam di kawasan Rempang-Galang adalah bentuk investasi yang memiliki beragam permasalahan, diantaranya:
- Bagaimana pertanggungjawaban hukum dan sosial atas lahan Rempang-Galang yang akan dijadikan sebagai wilayah investasi oleh BP Batam tersebut?
- Apa sebenarnya alas hukum hingga lahirnya MoU antara BP Batam dengan perusahaan tersebut?
- Investasi yang dikatakan diinisiasi sejak 2004 baru mulai diimplementasikan pada tahun 2023, lantas penjelasan apa hingga investasi tersebut cukup memiliki perjalanan yang begitu panjang?
- Dapatkah dibuktikan bentuk komunikasi atau hasil musyawarah antara pemerintah dengan masyarakat sekitar (khususnya kesatuan masyarkat adat) Atau apa rasionalitas hukum yang dapat dipertanggungjawabkan untuk melangkahi masyarakat hukum adat dan segala haknya tanpa melibatkan unsur masyarakat adat itu sendiri?
Perlu diketahui pada tataran kementerian terdapat regulasi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, namun apakah hal ini dijalankan?
Dan pada aturan tertinggi terdapat Pasal 18B ayat 2 UUD 1945. Sejauh mana pemerintah menjaga pasal ini?
Karena jika berbicara peraturan perundang-undangan antara kedua aturan tersebut di atas, cukup memiliki problematikanya sendiri.
Oleh karenanya, hal ini tentu harus dapat dipertangungjawabkan secara luas. Karena apa yang terjadi hari ini akan tercatat menjadi sejarah di kemudian hari.
Dan tentunya Negara tidaklah mungkin bersedia menjadi pihak yang menghapus kesatuan masyarakat adat Melayu di Kepri khususnya wilayah Rempang-Galang di Kota Batam. (*)