BatamNow.com, Jakarta – Diduga ulah penambangan pasir ilegal dan penebangan untuk usaha arang, mengakibatkan hutan mangrove di Provinsi Kepulauan Riau saat ini rusak parah.
Menurut data, dari 68.351 hektare luas area yang ditanami pohon bakau (hutan mangrove) di Kepulauan Riau, sekitar 37.364 hektare mengalami kerusakan. Tidak hanya gegara penambangan pasir dan penebangan, tapi ada juga untuk pembukaan lahan.
Saat dikonfirmasi terkait masalah tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Zenzi Suhadi mengatakan bahwa saat ini semua negara di dunia mengkhawatirkan ancaman perubahan iklim, dimana dampak nyatanya dalam bentuk banjir, abrasi, pencairan es kutub dan naiknya permukaan air laut.
“Bila dicermati, bencana-bencana tersebut kian sering terjadi akhir-akhir ini,” ujarnya kepada BatamNow.com, di Jakarta, Rabu (17/11/2021).
Menurutnya, mempertahankan ekosistem pesisir merupakan salah satu jalan yang diharapkan untuk menghadapi ancaman perubahan iklim, terutama kawasan ekosistem mangrove.
“Dalam hal ini, pemerintah daerah harus menyusun tata ruang dengan serius dan mengutamakan perlindungan ekosistem mangrove,” cetusnya.
Terkait dengan perlindungan kawasan hutan mangrove, Suhadi menilai, Pemerintah Pusat telah cukup serius. “Bahkan Presiden Jokowi pun telah membentuk Badan Restorasi Ekosistem Gambut dan Mangrove (BRGM),” urainya.
Bila ada upaya merusak ekosistem hutan mangrove, apalagi yang dilakukan perusahaan-perusahaan penambang dan sebagainya, Suhadi menyerukan agar izin dicabut. Namun, bila perusahaan penambang ilegal, maka harus diberi sanksi tegas dan dilarang beroperasi kembali.
“Pemerintah daerah harus bertindak tegas, bukan sebaliknya malah mem-backing perusahaan penambang, baik legal maupun ilegal yang telah jelas-jelas merusak keberadaan hutan mangrove,” serunya.
Dia menegaskan, harus diberi sanksi tegas bagi pihak-pihak yang oleh karena kegiatan usahanya telah merusak ekosistem mangrove. “Keberadaan ekosistem hutan mangrove harus dijaga,” tukasnya. (RN)