BatamNow.com – Jhonny alias Ate, satu dari tiga orang yang divonis bersalah oleh majelis hakim PN Batam dalam perkara pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Batam.
Baik Jhony maupun dua rekannya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara tanpa denda oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam pada persidangan Rabu (28/02/2024)
Dua rekan Jhonny: Hendra alias Acai dan Irnicen alias Mami.
Peran ketiganya dalam kasus TPPO itu, Hendra alias Acai bertugas mencari perempuan dari berbagai pelosok Indonesia untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di 81 Orchid Massage di Batam.
Ruko tempat pijat (massage) itu beralamat di Ruko Taman Nagoya Indah Blok C1 No 08, Kelurahan Batu Selicin, Kecamatan Lubuk Baja, Batam, sudah tak beroperasi lagi.
Satu hari pada 02 Juli 2023, ada operasi “telik sandi” dari petugas kepolisian Polresta Barelang dengan cara mem-booking jasa PSK dari 81 Orchid Massage.
Dari situlah awal ketiganya tersandung kasus melawan hukum. Mereka pun dijebloskan ke terali besi.
Akademisi dan Praktisi Hukum Tanggapi Putusan Majelis Hakim
Di balik putusan majelis hakim di perkara TPPO kemarin, ternyata Jhonny adalah narapidana yang sudah pernah dihukum dalam perkara yang sama.
Itu dibenarkan sumber BatamNow.com di Kejaksaan Negeri Batam.
Hal ini dinukil BatamNow.com dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Batam.
Dipaparkan di SIPP itu, pada 11 Oktober 2017, Jhony alias Atek berkolaborasi dengan Ade Fransiska alias Ucok melakukan TPPO.
Jhony berperan sebagai terdakwa II. Sedangkan Ade terdakwa I. Mereka melakukan TPPO sebagaimana diatur dalam dakwaan Pertama Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam perkara itu, Jhony berperan sebagai Public Relation (PR) di Karaoke New Permata Indah, Windsor Foodcourt, Nagoya, Kecamatan Lubuk Baja, Batam.
Di tempat karaoke itu para wanita di sana dipajang seperti barang di dalam etalase.
Para “bidadari” itu nampak diperlihatkan (show) dari balik kaca kepada setiap pengunjung untuk dipilih. Boleh untuk menemani karaoke maupun untuk hubungan seks layaknya suami-istri.
Setelah pengunjung memilih wanita lewat PR, kemudian membawanya. Menemaninya karaoke. Usai karaoke, pengunjung membayar kepada Jhony.
Suatu hari pada 20 Maret 2017, Tim Ditreskrimum Polda Kepri datang menyamar ke tempat kejadian perkara untuk melakukan penyelidikan.
Jhony dan Ade pun tercokok polisi disangka melakukan TPPO.
Kala itu Ade berperan sebagai kasir atau sering disebut Mami di Karaoke New Permata Indah, untuk menerima tarif buyaran jasa para PR.
Adapun biaya jasa PR untuk karaokean sebesar Rp 300 ribu.
Lain lagi tarif jasa short time sebesar Rp 500 ribu, sedangkan untuk booking sehari yaitu sebesar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta.
Pada 4 Oktober 2017, Jhony dan Ade, dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rumondang Manurung selama 5 tahun, dengan pidana denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Lalu 11 Oktober 2017, majelis hakim PN Batam, Redite Ika Septina, Hera Polosia Destiny dan Iman Budi Putra Noor menjatuhkan vonis 3 tahun dan 3 bulan penjara kepada Jhony dan Ade, dan denda sebesar Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dosen Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, Sarmadan Pohan SH MH memberi tanggapannya, terkait putusan majelis hakim PN Batam yang ia nilai keliru dalam memutuskan perkara TPPO yang terkesan ringan.
Tarkait salah satu terdakwa yang merupakan mantan narapidana (residivis), tentunya Majelis Hakim dalam hal memutus perkara tersebut telah keliru dikarenakan ada undang-undang khusus yang menjerat para terdakwa dan salah satu terdakwa merupakan residivis.
“Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Yang membatasi adanya minimal hukuman, jika dalam undang-undang yang khusus mangatakan ada minimal maka majelis hakim tidak boleh memutus lebih rendah daripada perintah undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang TPPO yang menyebutkan minimal tiga tahun itu,” ujar Sarmadan Pohan, yang merupakan salah satu Mediator dan Advokat Senior di Wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel), kKepada BatamNow.com melalui pesan di WhatsApp, Senin (04/03/2024).
Putusan Ringan Tak Beri Efek Jera
Hampir senada, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron Batam Mangara Sijabat, menanggapi putusan majelis hakim PN Batam yang terkesan ringan terhadap perkara TPPO yang diputus pada minggu lalu.
Ia katakan, terkait pertimbangan hakim dalam putusan memang menjadi kewenangan mutlak dari majelis hakim.
“Namun jika melihat dalam tindak pidana pemberantasan TPPO merupakan pidana khusus yang ancaman pidananya juga cukup tinggi,” kata Mangara Sijabat kepada BatamNow.com melalui pesan WhatsApp, Senin (04/03/2024).
Itu, katanya jika melihat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan 7 tahun, namun majelis hakim memvonis 1 tahun penjara.
Apalagi dalam amar putusan menyebut baik Jhonny, Hendra dan Irnicen terbukti turut serta melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Jadi, ujar Mangara, jika mencermati ancaman hukuman pada pasal tersebut juga cukup tinggi, yaitu paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.
Melihat dari pasal tersebut ada ancaman minimal yang seharusnya hakim perhatikan dalam membuat putusan.
“Justru menjadi janggal jika sangat jauh antara tuntutan dan putusan, apalagi salah 1 terdakwa merupakan residivis justru seharusnya hal tersebut menjadi pertimbangan hakim terkait bagian hal yang memberatkan pada diri terdakwa karena pengulangan tindak pidana, atau mungkin bisa jadi majelis hakim lupa kalau salah satu terdakwa adalah residivis sehingga tidak masuk dalam pertimbangannya,” ujar Mangara.
Ia tambahkan lagi, justru dengan putusan-putusan rendah seperti ini dan mengingat ada terdakwa juga yg sudah residivis maka kedepannya tidak akan menjadi efek jera bagi pelaku kejahatan.
Demikian juga dalam menjawab rasa keadilan di masyarakat yang akhirnya membuat orang tidak takut mengulangi pidana yang sama.
“Hakim harus memperhatikan hal ini sebagaimana dalam UU No 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1),” jelas Mangara. (Aman)