BatamNow.com – Lewat sudah batas waktu penyusunan dan pembentukan struktur Dewan Kawasan (DK) Batam, Bintan dan Karimun sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 41 Tahun 2021.
Pasal 74 poin 3 PP itu menyebut: penyusunnan pembentukan Dewan Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun dilakukan oleh menteri yang mengoordinasikan urusan pemerintahan di bidang perekonomian, paling lama 6 (enam) bulan sejak PP ini berlaku.
PP itu sendiri berlaku (diundangkan dalam lembaran negara) 2 Februari 2021.
Tapi sampai melewati batas waktu yang ditentukan PP itu, pembentukan struktur DK (terintegrasi) itu tak kunjung ada.
Mengapa?
Lalu apa implikasi atas “mangkrak”-nya amanah Pasal 74 poin 3 itu?
Peneliti/ Praktisi, Akademisi Hukum di Batam, Dr Ampuan Situmeang SH MH mengatakan secara hukum administrasi DK versi PP 41/2021 belum terbentuk.
Dia jelaskan, dengan belum terbentuknya DK dan strukturnya yang seharusnya lewat Keputusan Presiden (Keppres), maka dia menyarankan kepada DPRD maupun Gubernur sebagai Kepala Daerah untuk segera mempertanyakan hal itu ke Kemenko Perekonomian.
Ampuan juga mempertanyakan relevansinya, karena sebelum PP 41/2021 yang menjadi Ketua DK Karimun dan DK Bintan adalah Gubernur dan struktur lainnya.
Di satu pihak, dan menurut PP 41/2021 sudah disatukan (integrasi), yaitu DK PBPB BBK. Sehingga posisi Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi Kepri menjadi dilematis dalam membuat kebijakan terkait Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Karimun-Bintan dan Tanjungpinang, sehingga perlu klarifikasi.
Menurut Ampuan, kondisi karut marut dari implementasi PP ini menjadi dilematis.
Secara hukum tata negara, ujarnya, posisi Ketua DK Batam, DK Bintan, dan DK Karimun sudah demisioner berdasarkan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 dan PP 41/2021 itu.
Jadi, dia yakin legitimasi tindakan administrasi yang dilakukan oleh DK Karimun dan DK Bintan oleh Gubernur Kepri, menjadi dilematis.
Bukan hanya Bintan dan Karimun, posisi dilematis itu ikut berimbas ke DK Batam yang juga karena PP 41/2021 itu.
“Quo Vadis DK PBPB,” kata Ampuan bertanya.
Bukan hanya implementasi Pasal 74 PP 41/2021 yang menjadi masalah.
Pasal 80 PP 41 Tahun 2021 pun demikian. Bunyi pasal itu menyebut peraturan pelaksanaan dari PP itu HARUS ditetapkan paling lama 4 (empat) bulan sejak diundangkan.
Namun hingga berjalan 8 bulan PP 41/2021 itu, implementasi Pasal 80 dimaksud tak kunjung diterbitkan.
Lagi-lagi ada apa?
Pasal 80 ini juga bisa jadi berkorelasi dengan kebijakan terbaru atas 53 perizinan yang menjadi otoritas KPBPB di tiga kawasan sebagaimana lampiran PP 41/2021.
Memang, ujar advokat senior di Batam itu, ada pasal-pasal tertentu yang akan diatur lagi dengan Keputusan Presiden, yakni ketentuan teknis atau petunjuk teknis dalam aturan dan peraturan yang seyogianya sudah terbit.
Itu makanya Ampuan menyebut DK yang sekarang itu bukan versi PP 41/2021. “Ini yang menjadi persoalan dalam ranah hukum administrasi. Sebab menurut PP 41, DK PBPB BBK sudah digabung strukturnya, tapi belum ditetapkan dengan Keppres,” tambah Ampuan.
Apakah PP 41/2021 ini legal atau bagaimana?
Ampuan mengatakan PP 41/2021 tetap legal.
Namun, karena sudah ada UU Cipta Kerja 11/2020 dan PP 41/2021 sebagai pelaksanaannya, maka DK yang lama itu tidak paripurna lagi dalam membuat kebijakan untuk DK BBK.
Tugas mereka, tambah Ampuan, sudah beda. “Dulu DK Karimun dan DK Bintan itu kepalanya gubernur. Sekarang, menurut PP terbaru, siapa?”
Kata Ampuan bagaimana dia bisa bertindak dengan situasi yang sudah berubah dengan PP41/2021, atau dengan istilah: organisasinya telah menjadi demisioner?
Kemenko Perekonomian Stakeholders Bungkam?
Sementara menurut Panahatan SH, Ketua LI Tipikor dan Hukum Aparatur Negara di Kepri, Menko Perekokomian atau jajaran mesti mem-publish alasan digantungnya implementasi PP 41/2021 ini, khususnya Pasal 74 poin 3 (tiga).
“Pembuatan UU Omnibus Law adalah kebijakan strategis nasional yang mengeluarkan energi yang sangat besar di negara ini. Mengapa ketika sudah di hilir digantung?” kata Atan biasa dipanggil.
Dia katakan tujuan dari PP 41/2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja adalah dalam rangka meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha untuk pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja serta peningkatan daya saing di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di sini.
Dan dia sangat menyayangkan mengapa semua pengambil keputusan bungkam alias diam seribu bahasa atas digantungnya implementasi PP ini.
Apalagi, kata Atan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, harusnya menjelaskan kondisi ini ke publik.
“Menteri tidak baik mendiamkan masalah ini karena berimplikasi ke berbagai kebijakan di KPBPB,” tegas Atan.
Dia pun mempertanyakan apa masalahnya sehingga digantung. Lalu apakah efektivitas dari PP 41/2021 bisa dijalankan secata konkret jika perintah Pasal 74 poin 3 (tiga) tidak diabaikan?
Dia katakan BP Batam sudah menjadikan PP 41/2021 sebagai acuan hukum atas kebijakan strategisnya.
Lalu bagaimana keabsahannnya?
“Apakah sesederhana ini perintah PP itu digantung atau diabaikan dan apakah Presiden Jokowi sudah mengetahui kondisi ini?”
“Semua ini harus dijelaskan Menteri Hartarto ke publik dalam waktu dekat atau dengan segera menerbitkan implementasi PP itu meski terlambat,” kata Atan.
“Tak ada alasan menggangtung implementasi PP itu, karena pandemi Covid-19. Pemerintahan harus berjalan,” kata Atan.
Senada dengan Atan, Ampuan juga berkata sama.(JS/D)