BatamNow.com, Jakarta – Langkah BP Batam menggesa relokasi warga Rempang, dengan dasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional, menimbulkan pertanyaan. Salah satunya dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Komnas HAM mempertanyakan, apakah BP Batam sudah memiliki hak pengelolaan lahan, baik di Rempang maupun Tanjung Banou?
Sebab, sebagian tanah di Rempang, ada tanah negara yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Artinya, baik Pemprov Kepri maupun Pemkot Batam (dan BP Batam) belum mengelola tanah tersebut.
“Sepanjang yang kami ketahui jurisdiksi sebagian tanah di Rempang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Apakah BP Batam sudah memiliki izin persetujuan pelepasan kawasan hutan dari KemenLHK atau belum? Kalau sudah, apakah BP Batam sudah mengajukan dan mendapatkan hak pengelolaan lahan (HPL) dari Kementerian ATR/BPN?” tanya Prabianto Mukti Wibowo, Komisioner Mediasi Komnas HAM, kepada BatamNow.com, di Jakarta, Selasa (16/01/2024).
Demikian halnya tanah di Tanjung Banun yang dijadikan tempat relokasi warga Rempang. “Perlu dicek apakah sudah ada HPL-nya atau belum. Kalau belum ada, maka groundbreaking rumah contoh warga yang dilakukan BP Batam itu bisa dikatakan ilegal. Sebab, alau tidak salah wilayah Tanjung Banun itu masih masuk kawasan hutan dan dibawah ‘kekuasaan’ KemenLHK,” tegasnya.
Prabianto melanjutkan, itu baru dari sisi legalitas lahannya.
Lalu dari sisi aturannya, berdasarkan PP 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah dikatakan, masyarakat yang telah menguasai, menempati, dan memanfaatkan tanah negara dengan itikad baik selama 20 tahun berturut-turut harus mendapat hak prioritas untuk mengurus apa yang menjadi haknya terhadap tanah tersebut, dalam hal ini sertifikat hak milik (SHM).
“Nampaknya Pemkot Batam dan BP Batam sudah salah kaprah. Bukannya memberikan apa yang menjadi hak prioritas bagi warga Rempang, malah digusur,” tukasnya.
Bahkan, kata Prabianto, kalau BP Batam belum punya HPL, maka kedudukannya sama dengan warga Rempang. Kalau demikian, lantas bagaimana mungkin mereka seolah mau jadi penguasa di sana?
Lebih jauh Prabianto mengatakan masalah Rempang lebih baik dihandle oleh Pemerintah Provinsi Kepri, bukan BP Batam. “Kalau BP Batam yang diberi kepercayaan pola penanganannya akan berbeda, karena lembaga itu memang di drive untuk memasukkan investasi ke Batam secepat mungkin. Sementara kalau Pemprov Kepri tentu akan memiliki sejumlah pertimbangan lain yang mungkin lebih humanis,” tukasnya.
Baginya, kesejarahan warga yang bermukim di Rempang tetap harus jadi pertimbangan. Jangan sampai merelokasi mereka sekaligus mencerabut dari adat budayanya.
“Masalah di Rempang tidak bisa dilihat secara sederhana. Karena itu, sejak lama kami usulkan agar tempat investasinya saja yang dipindah lokasi, bukan warganya. Tentu dari sisi pembiayaan akan lebih murah dan masyarakat bisa tetap tenang di tanah yang mereka tempati sekarang. Jangan korbankan rakyat hanya untuk investasi semata,” pungkasnya.
Benarkah dugaan Komnas HAM ini? Untuk keperluan ini, BatamNow.com telah coba mengkonfirmasi ke tiga pihak di BP Batam, melalui pesan singkat.
Direktur Pengelolaan Pertanahan BP Batam Ilham Eka Hartawan, tidak membalas pesan dari BatamNow.com.
Sementara, Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Harlas Buana hanya mengatakan, “Terkait informasi yang bapak butuhkan dapat ditanyakan langsung ke Kabiro Humas BP Batam, Ibu Tuti yaa“.
Sementara, pesan konfirmasi yang dikirim ke Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait, juga tidak direspons hingga waktu deadline.
Ketua DPP Kepri LI-Tipikor dan Hukum Kinerja Aparatur Negara, Panahatan SH mempertanyakan transparansi BP Batam, soal kejelasan status lahan pembangunan rumah contoh di Tanjung Banun, Rempang.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, jangan-jangan benar BP Batam belum mengantongi HPL, baik tanah di Rempang, maupun Tanjung Banun,” katanya manakala dimintai pendapatnya. (RN)