BatamNow.com, Jakarta – Sebagai pihak yang dirugikan dalam persoalan investasi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, warga bisa melakukan gugatan class action terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.
“Merujuk pada sejarah keberadaan warga di Pulau Rempang, yang sudah ada sejak tahun 1834, maka selayaknya masyarakat di sana mendapatkan prioritas untuk mengurus apa yang menjadi haknya terhadap tanah tersebut, dalam hal ini sertifikat hak milik (SHM),” kata Komisioner Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Dr Prabianto Mukti Wibowo, kepada BatamNow.com, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (16/01/2024).
Prabianto menjelaskan, mengacu pada PP 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, maka dikatakan, masyarakat yang telah menguasai, menempati, dan memanfaatkan tanah negara dengan itikad baik selama 20 tahun berturut-turut harus mendapat hak prioritas. Apalagi warga Rempang yang telah turun temurun ada disana.
Dia menilai, Pemerintah terkesan terlalu menyederhanakan persoalan warga di Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Bahkan, menggampangkan masalah dengan berlindung dibalik Perpres 78/2023.
“Kalau kita dalami Perpres 78/2023 itu hanya menilai tanah Rempang sebagai barang ekonomi yang bisa hanya digantikan dengan uang. Padahal, bagi warga negara Indonesia, tanah itu tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tapi juga punya nilai budaya, sejarah, sampai spiritual. Itu berlaku di seluruh tanah di Indonesia,” ujar Prabianto.
Dalam Perpres 78/2023 ini, sambungnya, Pemerintah Pusat memunculkan istilah baru yakni, tanah negara yang dikelola oleh pemerintah. “Kalau kita mengacu pada Peraturan Presiden No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, di mana dikatakan bahwa tanah negara itu adalah tanah yang belum dilekati hak. Kenyataan pada sebagian tanah di Rempang, ada tanah negara yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Artinya, baik Pemprov maupun Pemkot Batam belum mengelola tanah tersebut,” jelasnya.
Bisa dikatakan jurisdiksi sebagian tanah di Rempang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Berkaca pada hal tersebut, posisi BP Batam dengan warga Rempang itu sama. Tidak bisa lantas BP Batam menguasai tanah di sana begitu saja,” tegas peraih penghargaan Satyalancana Karya Satya XXX Tahun 2016 ini.
Prabianto menegaskan, warga Rempang harus mendapat prioritas atas tanah yang mereka duduki sekarang. Apalagi ada PP 18/2021, di mana secara hierarkhi Peraturan Presiden itu posisinya diatas Perpres. Untuk itu, warga Rempang bisa melakukan perlawanan terhadap Perpres tersebut.
“Masyarakat bisa menggugat Perpres 78/2023 tersebut dengan melakukan class action dengan legal standing yang dimiliki oleh warga Rempang,” seru Prabianto.
Hal tersebut dibenarkan oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Petrus Selestinus. “Tidak bisa aturan yang dibawah menabrak regulasi diatasnya. Kalau itu terjadi, maka harusnya aturan dibawahnya digugurkan,” serunya di Jakarta, hari ini.
Dia menilai, class action bisa menjadi pilihan warga Rempang untuk mendapatkan keadilan atas tanah yang mereka diami selama ini.
“Sejak keluarnya Perpres 78/2023, sudah tercium aroma bahwa itu regulasi dan pijakan pemerintah menggusur warga Rempang. Dengan kata lain, pemerintah seolah mau mengambil tanah rakyat yang sudah ditempati lebih dari 20 tahun. Itu sama saja menabrak aturan di atasnya,” tukasnya. (RN)