Catatan Redaksi
Dulu, semangat menyala masyarakat Melayu di Pulau Rempang, di Batam, dalam menyambut dan merayakan HUT RI seolah tak terbantahkan.
Bersama perangkat desa dan kecamatan, berbagai acara mereka kemas untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan setiap 17 Agustus itu.
Mereka bergotong-royong melakukan pertandingan sepak bola, bola voli, balap sampan layar, jong, panjat pinang, dan jenis hiburan masyarakat lainnya.
Satu hal yang membuat menarik, dalam memeriahkan HUT Kemerdekaan RI itu masyarakat desa melakukannya hingga memakan waktu selama sekitar satu bulan penuh.
Begitu kentalnya jiwa patriotisme warga sehingga perayaan HUT RI, mereka lakukan sejak awal hingga puncak acaranya pada 17 Agustus, setiap tahun.
Bahkan kebiasaan sebagian masyarakat di sana yang sudah mentradisi, mereka selalu rela menabung dari sisa pendapatannya sehari-hari selama setahun, sebelum 17 Agustus tiba.
Tabungan itu sebagai persiapan biaya masing-masing untuk menyemarakkan HUT RI, itu sendiri. Tak ada bansos dan sejenisnya, saat itu.
Mereka mayoritas nelayan dengan pendapatan terbatas dan tinggal di pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.
Meski kesehariannya dapat dikatakan lebih dekat dengan negara tetangga dan diwarnai kehidupan ekonomi semenanjung, namun bendera merah putih kebanggannya tak pernah luput dari hatinya.
Bendera yang mereka kibarkan di pulau-pulau terpencil di mana mereka berdiam sebagai WNI, sebagai pertanda tanah leluhur yang mereka diami masuk wilayah NKRI.
Mereka hidup dan berkehidupan di berbagai pulau yang terisolir dari jangkauan berbagai jaringan informasi nasional, kala itu. Misalnya, belum dapat mengekses saluran televisi maupun radio nasional yang dominan disiarkan dari Jakarta.
Kecuali saluran televisi dan radio Malaysia dan Singapura yang sehari-hari dapat mereka akses.
Hal ihwal karena faktor geografis daerah ini dengan negara tetangga. Program penerangan penyebaran informasi dari pemerintah Indonesia belum dapat menjangkau mereka.
Hampir setiap hari mereka hanya dapat menonton TV dan mendengar suara radio Malaysia pun Singapura. Itulah sebabnya mengapa warga di sini, dulu, lebih mengenal wajah Perdana Menteri Malaysia atau Singapura daripada presidennya sendiri.
Kendati minim dapat perhatian pemerintah Indonesia dalam program pembangunan negeri, namun kesetiaan mereka terhadap NKRI dengan bendera merah putih serta Pancasila-nya tak diragukan sedikitpun sejak RI merdeka.
Namun semua itu, kini, seakan pupus dari kehidupan mereka.
@batamnow Warga dari kampung-kampung tua di Rempang-Galang, menyuarakan kembali sikap mereka yang tegas menolak relokasi. Dalam aksi solidaritas pada hari ini, Minggu (21/07/2024), utusan warga dari setiap kampung berkumpul di pelabuhan Sembulang Pasir Merah. “Hari ini Minggu tanggal 21 Juli 2024, kami warga Rempang tetap menolak relokasi harga mati. Kami warga Rempang tidak akan meninggalkan kampung halaman kami walau selangkah pun. Di kampung ini kami dilahirkan, di kampung ini juga kami mati,” kata perwakilan warga Rempang menyuarakan sikap bersama mereka. Baca Beritanya di BatamNow.com #batamnow #batamtiktokcommunity #batamhits #batamnews #batamisland #batamsirkel #kotabatam #batampunyacerita #semuatentangbatam #galang #rempang #barelang #bpbatam #muhammadrudi #fyp #fypシ #fypシ゚viral #jokowidodopresidenkita #jokowidodo #rempangecocity #rempanggalangtanahmelayu #ham #komnasham ♬ Suspenseful and tense orchestra(1318015) – SoLaTiDo
Hampir setiap hari, kini, mereka diterpa keresahan, paling tidak dalam setahun ini. “Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak”.
Jangankan untuk memeriahkan HUT RI, kini, nasib mereka justru terancam digusur dari “tanah air” atau tanah adat leluhur yang mereka diami secara turun-temurun sejak sebelum Indonesia merdeka.
“Kami tidak mengadakan atau merayakan HUT RI secara bergotong royong pada tahun ini,” kata warga di sana, Jumat (09/08/2024).
Jusru menjelang HUT RI, kali ini, “Kami masih harus berpeluh berjuang memerangi upaya relokasi paksa yang kini mengancam kemerdekaan dan kedaulatan hak atas tanah leluhur kami”.
Perjuangan melawan ancaman penggusuran yang datang setahun belakangan, yang ditandai dengan peristiwa konflik menegangkan dengan 1.010 aparat di Jembatan IV Barelang pada 7 September 2023.
Soal bentuk perjuangan mereka yang kini tak kenal henti, seolah mengisahkan bagaimana rakyat NKRI berjuang melawan penjajah negara ini dulu.
Itu dapat dilihat pada Jumat, 10 hari menjelang HUT RI ke-79. Warga Kampung Sembulang Hulu dan Pasir Merah masih ramai-ramai memasang sekitar seratusan spanduk putih bertulisan merah dengan narasi perlawanan “Kami Menolak Direlokasi/ Geser”.
Berbagai spanduk itu terdapat di kiri dan kanan sepanjang jalan masuk ke perkampungan mereka.
Rumah warga di Sembulang Hulu pun terlihat belum ada mengibarkan bendera merah putih. Kecuali, spanduk berwarna merah putih “TOLAK RELOKASI” yang ditempel pada dinding depan rumahnya.
Hingga kini, banyak warga di Rempang masih menolak kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City dari Tiongkok yang berdampak pada penggusuran mereka dari kampung leluhurnya.
Di bukit dekat gerbang masuk kampung itu juga dibentangkan spanduk bertuliskan “TOLAK PSN REMPANG ECO-CITY”.
Warga pun mengaku selalu menjaga spanduk ini setiap magrib, agar tak diturunkan pihak yang tak suka dengan perjuangan mereka.
“Berjuang, berjuang, sampai mati, untuk mempertahankan tanah sejarah kami. Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut,” sebut seorang warga Sembulang di depan wartawan media ini dan bukan mengucapkan semboyan Merdeka, sebagaimana biasanya pada momen HUT RI.
Warga Rempang masih terus melawan upaya penggusuran paksa. Mereka berhadapan dengan pemerintahnya sendiri.
”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” begitu pesan Bung Karno.
Pemerintah lewat BP Batam berupaya keras menggusur warga dari kampungnya sendiri. Dan rentetan dentuman suara senjata gas air mata dan tembakan water cannon memulai aksi penggusuran itu pada September lalu. (*)