BatamNow.com, Jakarta – Hasil Kajian Sistemik IPPKH atau Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (P2KH) dan Pengawasan yang Integratif yang dirilis Ombudsman RI, menemukan adanya potensi maladministrasi pada aspek tata kelola dan pengawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Media ini sebelumnya merilis izin pengelolaan hutan milik 2 perusahaan di Provinsi Kepri yang maaing-masing akan dicabut dan dievaluasi di pusaran diskresi Presiden Jokowi.
Kedua perusahaan tersebut berlokasi di Kabupaten Lingga, PT Citra Sugi Aditya (CSA) izinnya akan dicabut sementara PT Singkep Payung Perkasa (SPP) izinnya akan dievaluasi.
Lalu bagaimna nasib hutan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) di Batam?
Pemerhati lingkungan Kepri Muclis Sujadi juga sebelumnya menengarai ada ketidakberesan dalam pengkajian serta pengalokasian hutan di Kepri atau Batam.
Ambil contoh TWA di kawasan Muka Kuning seluas 901 hektare. Seluas 247 hektre telah dialokasikan ke PT Lise Batam Rimba Lestari sejak tahun 2015. Dan seluas 207 hektare ke PT Papanjaya Sejahtera Raya (Panbil Group) di Batam.
Menurut Kementerian LHK kegiatan pemanfaatan TWA oleh PT Papanjaya Sejahtera Raya belum terlaksana meski izinnya sudah terbit Mei 2021 yakni Perizinan Berusaha Pengusahaan Sarana Jasa Lingkungan Wisata Alam (PB-PSWA).
Sementara kegiatan di sekitar TWA Muka Kuning beroperasi secara komersil yakni Panbil Nature Reserve Eco Edu Park yang di luar izin TWA dari Kementerian LHK.
Hal inilah yang memantik kecurigaan berbagai pihak semisal pemerhati lingkungan hidup Kepri Muclis.
“Apakah kajian belum komprehensif sebelum izin dikeluarkan KLHK atau gimana, ini memantik tanya,” ujar Muclis.
Kemungkinan potensi kealpaan seperti itulah, menurut Muclis, yang diduga terjadi di balik penerbitan izin pemanfaatan hutan sebagaimana oleh Ombudsman RI.
“Kajian ini untuk memperoleh penjelasan mengenai alur proses penerbitan sampai pada pengawasan terhadap IPPKH/P2KH mulai dari pemberi izin, serta tanggung jawab atas kewajiban dari pemegang P2KH,” kata Anggota Ombudsman RI Hery Susanto, dalam keterangan resminya, Jumat (07/01/2022).
Dijelaskan ada 5 aspek yang berpotensi terjadi maladministrasi yakni, Penundaan berlarut dalam IPPKH; Tidak seragamnya persyaratan permohonan rekomendasi Gubernur daerah mengenai IPPKH; Kurangnya aksesbilitas informasi proses permohonan IPPKH dan belum optimalnya penggunaan sistem Online Single Submission (OSS) IPPKH/P2KH; Belum adanya penyebarluasan informasi Geopasial Tematik (IGT) Kehutanan terkait peta IPPKH dalam Kebijakan Satu Peta (KSO) dan informasi realtime kuota IPPKH; dan Belum menyeluruhnya sosialisasi terkait perubahan dan prosedur teknis pada kebijakan baru.
Sementara itu, terkait pengawasan, Ombudsman RI menemukan tiga aspek maladministrasi yakni, Alokasi anggaran yang tidak memadai dan potensi hasil pengawasan yang tidak indepeden; Adanya keterbatasan sumber daya manusia (SDM) petugas pengawas sehingga memperlambat prosedur telaah kawasan; dan Kendala pelaksanaan kewajiban terutama rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Untuk itu, Ombudsman meminta sejumlah perbaikan terkait tata kelola dan pengawasan IPPKH kepada lima instansi terkait yakni, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Badan Informasi Geopasial. (RN)