Oleh: Tim News Room BatamNow
Sengkarut di pusaran pengelolaan air masih menggelinding di penghujung konsesi air.
Ya, itu soal klaim tagihan piutang Pajak Air Permukaan (PAP) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri).
Sekitar Rp 39 Miliar lebih besaran tagihan yang dicatat Pemprov terhadap PT Adhya Tirta Batam (ATB). Tapi hingga kini selisih pajak yang ditagih itu, tak kunjung kelar.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam gagal membentuk Panitia Khusus (Pansus), Kamis (05/11) dalam rangka melindungi hak konsumen air, pasca berakhirnya konsesi ATB dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
DPRD Batam pun tak dapat memenuhi janji-janjinya ke publik. Menguap karena jumlah anggota yang hadir tak kuorum 50% plus 1 dari 50 anggota DPRD.
Kalau benar-benar gagal, ini menjadi salah satu dari sekian janji-janjinya yang tak terealisasi ke masyarakat.
Kalau demikian juga kondisi di DPRD Batam,kepercayaan masyarakat atau konsumen air tergerus, karena para wakil rakyat itu seakan tidak pro nasib rakyat yang diwakilinya lagi.
Selain masalah di atas , kemungkinan ATB mengajukan gugatan hukum ke BP Batam di pengakhiran konsesi air, pun sayup-sayup.
Belum lagi keberadaan pengelola Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) oleh PT Moya yang masih bungkam mendistribusi informasi transisi penyediaan air minum ini ke konsumen air yang jumlahnya sekitar 300 ribu pelanggan itu. Padahal mereka sudah harus beroperasi mulai 15 November, pukul 00.00 WIB .
Jangankan mendistribusi, manajemen PT Moya pun menutup rapat akses informasi ke publik atau media. Mengapa dan ada apa? Pertanyaan yang bisa memantik multi tafsir.
Padahal Undang-undang (UU) nomor 17 Tahun 2019 sudah mengamanahkan “wajib” atas transparansi informasi air itu kepada masyarakat dan konsumen.
Namun perusahaan ini seakan tak mengindahkan perintah UU itu. Kondisi ini sebenarnya tak perlu terjadi karena PT Moya diyakini bukan perusahan abal-abal.
PT Moya masih di grup Salim. Salah satu grup perusahaan milik taipan di negeri ini. Tapi mengapa “kecut”, dan seolah bersembunyi di balik tembok besar BP Batam?
“Kami terikat dengan kode etik dengan BP Batam” kata Corporate Communication Manager PT Moya Indonesia, Astriena Veracia.
Terikat kode etik kah?
Sekelas Pemprov “Keok” Oleh ATB
Kembali ke tagihan piutang PAP Pemprov yang sudah lama menjadi polemik. Ini menjadi tontonan yang bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik, baik kepada Pemprov maupun ke DPRD Kepri.
Bayangkan bagaimana sulitnya pemerintah menyelesaikan tagihan sekitar Rp 39 Miliar itu. Pemprov Kepri pun “keok” oleh ATB.
Andaikan masalah ini menimpa masyarakat UMKM yang terlambat membayar pajak daerah, pasti sudah “bulan-bulanan” dan dikejar-kejar Satpol PP lagi.
Di satu sisi, pihak Pemprov Kepri mencatat piutang PAP teronggok di ATB. Sedangkan ATB sendiri merasa tak berutang ke Pemprov Kepri.
Polemik utang-piutang ini memang sangat membingungkan dan memuakkan bagi rakyat Kepri.
Munculnya angka Rp 39 Miliar itu pun juga bagian dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 atas PAP sejak tahun 2016. Artinya cukup valid untuk diperdatakan. Namun mengapa pihak Pemprov hanya dengan “gertak sambal”?
Setelah beberapa kali pihak Pemprov “mengancam” pelunasan PAP itu, manajemen ATB “santuy” saja dan selalu bergeming.
Apalagi bila melihat gaya Head of Corporate Secretary ATB Maria Jacobus, wanita berparas cantik ini menjawab BatamNow dengan enteng, “kami tak ada utang pajak air permukaan. Semua lunas”.
Pernah Ketua DPRD Provinsi Kepri Jumaga Nadeak bersuara lantang, lalu mewacanakan penyegelan gedung ATB di kawasan elit Sukajadi di Batam. Tapi semua narasi yang disampaikan Jumaga tak mempan buat ATB. Terkesan hanya “gertak sambal”.
Demikian juga Sekdaprov Kepri TS Arif Fadilla yang juga mencoba meniru gaya “gertak sambal” Jumaga.
Dia tetiba berkata lantang juga akan meminta Kejaksaan Tinggi sebagai pengacara negara untuk menagih ATB.
Namun semua wacana itu, hingga kini, hanya menjadi jejeran dari jejak digital saja.
Sementara deadline atas pengelolaan air, berakhir 14 November 2020 setelah 25 tahun ATB “ngelonin” air untuk masyarakat Batam.
Soal piutang Pemprov Kepri, mungkin ini akan menjadi catatan tinggal catatan alias catatan warisan di pembukuan Pemprov.
Apalagi tugas pengelola air “Tak Tergantikan” itu tinggal beberapa hari lagi. ATB akan “check out”, lalu akan menyampaikan “selamat tinggal wahai pelangganku”.
Dendang Pesisir ATB
Sesungguhnya ucapan selamat tinggal atau sinyal perpisahan dari ATB sudah dikumandangkan manajemen ATB, 31 Desember tahun lalu. Namun tak banyak yang menyadari itu, termasuk pihak manajemen ATB sendiri.
Pengelola air legendaris ini mengemas satu acara bertema “Dendang Pesisir ATB” di malam tahun baru 2019.
Acara itu dibiayai tunggal oleh ATB yang disebut-sebut berkisar antara Rp 1-2 Miliar lebih. Acara terbesar pertama yang dilakukan ATB selama 25 tahun menggeluti pengelolaan air kehidupan ini di Batam.
Banyak pihak, terutama “krona-kroni” ATB, nyinyir dengan judul berita BatamNow.com dan BatamNow Epaper “Dendang Pesisir ATB Sinyal Perpisahankah?”
Media ini memang mengulas nasib ATB yang cenderung tidak akan diperpanjang pihak BP Batam lagi sebagai pengelola air minum. (BatamNow.com akan mencoba mengulas masalah beberapa hal prinsip, mengapa BP Batam menutup lembaran kontrak kerja sama pengelolaan air di Batam itu)
Apalagi manajemen ATB, ketika itu, merasa pede akan meneruskan pengelolaan air ini .
Mereka mengklaim tak akan tergantikan oleh siapa saja karena banyak badan-badan penilai yang memuji profesionalitas manajemen BP Batam dalam mengelola air minum ini.
Dan memang banyak masyarakat mengakui kehebatan ATB atas keahlian pengelolaan air minum ini, bila dibanding dengan pengelola air minum diberbagai penjuru nusantara.
Tapi apa yang dikaji BatamNow dalam tulisan Januari lalu itu, tak meleset.
Acara “Dendang Pesisir ATB” itu benar-benar menjadi wahana menyampaikan terima kasihnya ke masyarakat Batam, khususnya bagi pelanggan air.
Sinyal berakhirnya ATB, 14 November 2020 sesuai masa kontrak di konsesi yang serba misterius itu.(JS)
Sedih
Biar berjalan seperti air mengalir😝