BatamNow.com, Jakarta – Sejumlah pelaku usaha penambangan pasir laut merangsek Kepulauan Riau, sebagai dampak dari keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang diikuti oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Para pengusaha bahkan diduga sudah mengkaveling-kaveling wilayah kerjanya dan melakukan sosialisasi kepada warga di pesisir pulau-pulau di gugusan Kepulauan Riau.
“Benar, kami sudah melakukan sosialisasi pengerukan sedimentasi laut kepada masyarakat yang berada di Kecamatan Sugie Besar, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau,” kata CEO PT Berkah Bersama Kepri, Suprianto SH, SpN, dalam pesannya kepada BatamNow.com, Jumat (05/01/2024).
Sosialisasi serupa juga telah dilakukan PT Berkah Lautan Kepri, di mana Alexander Direktur Utama PT Berkah Lautan Kepri bersama Direktur Operasional Jusri Sabri menemui warga dari 7 desa di Kecamatan Sugie Besar, didampingi pemerintah setempat.
Diyakini, sejumlah perusahaan juga telah bersiap menyasar sejumlah pulau di Kepri untuk melakukan penambangan pasir laut.
“Kami akan langsung mulai melakukan pengerukan setelah Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) keluar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” sebut Suprianto lagi.
Dia menjelaskan, akibat tingginya sedimentasi laut, ikan menjauh dari bibir pantai karena terumbu karang ditutupi oleh pasir sendimentasi. Hal ini menyebabkan biota laut dan plankton tidak ada. “Ini membuat nelayan kesulitan menangkap ikan,” tambahnya.
Karenanya, dengan dikeruknya hasil sedimentasi laut, maka habibat ikan dan biota laut akan kembali normal. Selain itu, para nelayan juga akan terbantu karena lebih mudah menangkap ikan.
Suprianto belum memastikan apakah hasil pengerukan sedimentasi (pasir) laut tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor? “Semua tentu ada perizinannya. Tidak bisa serta-merta kita melakukan ekspor,” imbuhnya.
Belum Final
Kementerian Perdagangan memastikan soal ekspor pasir laut masih dalam tahap pembahasan. “Belum final, masih dibahas,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Budi Santoso, di Jakarta, hari ini.
Kemendag, lanjutnya, sudah menyurati Kemenko Perekonomian untuk membahas hal tersebut. “Sampai saat ini belum ada arahan. Kami masih menunggu,” jelasnya.
Tak hanya itu, Budi menjelaskan, hingga kini terkait regulasi ekspor pasir laut masih dibahas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian ESDM. “Kalau sudah final, maka hasilnya akan dibawa ke Kemenko Perekonomian untuk untuk dibahas, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No 29/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan,” urainya.
Salah satu yang dibahas, kata Budi, terkait dokumen perencanaan untuk menentukan lokasi prioritas pengelolaan sedimentasi laut. Kabarnya juga ada perbedaan rekomendasi kadar sedimentasi antara KKP dan Kementerian ESDM. “Hingga kini Kemendag belum mengeluarkan aturan turunan dari PP 26/2023,” akunya.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Victor Gustaaf Manoppo, kepada BatamNow.com, di Jakarta mengakui, meski Permen KP No.33/2023 telah keluar pada 16 Oktober 2023, namun belum bisa diberlakukan. Pasalnya, belum ada dokumen perencanaan untuk menentukan lokasi prioritas pengelolaan sedimentasi laut.
“Sampai saat ini, KKP belum mensosialisasikan secara luas Permen KP No.33/2023 tersebut. Dokumen perencanaan harus ada dulu bersana tim kajian, karena strategi lingkungan ada di situ. Tim kajian yang terdiri dari KKP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), akademisi, aktivis hingga lembaga lainnya,” bebernya.
Dirinya belum bisa memastikan kapan Permen KP tersebut akan mulai berjalan. Meski begitu, diakuinya sudah cukup banyak dokumen perusahaan yang mendaftar untuk perizinan pengerukan hasil sedimentasi laut.
“Kami tentu akan sangat berhati-hati dalam mengeluarkan perizinan. Perusahaan yang mengajukan perizinan harus benar-benar melengkapi dokumennya,” tukasnya mengingatkan.
Sebaliknya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai PP 26/2023 bertentangan dengan fitrah Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya dengan keanekaragaman hayati.
“Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan yang katanya pengerukan sedimentasi laut tersebut adalah krisis ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang semakin parah. Banyak pesisir akan terkena abrasi, desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil tenggelam,” kata Parid Ridwanuddin Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, kepada BatamNow.com, Jumat (05/01/2023).
Dia menegaskan, kebijakan ini akan memperparah dampak buruk krisis iklim. “Masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan, akan semakin miskin karena ruang hidupnya dihancurkan,” pungkasnya. (RN)