Pertanyaan yang kerap menghantui teman-teman pebisnis skala UMKM dengan berbagai pola usaha adalah apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi potensi resesi ekonomi 2023?
Apakah kami tetap bisa scale up? Bagaimana menyusun proyeksi usaha tahun 2023? Bagaimana bertahan umpama resesi benar-benar terjadi? Dag dig dug pastinya, ketar ketir karena isu resesi ini timbul pasca pandemi baru melandai dan aktivitas kembali normal.
Ibarat baru merengangkan otot-otot yang dipaksa tidur hampir 2 tahun, sedang indah-indahnya musim semi mendadak DUAR: recession will come only in several months later. Ini seperti masa sedang sayang-sayangnya, disuruh bubaran.
Perlukah khawatir dengan ancaman resesi? Perlukah galau, kena mental atau kemudian buru-buru set back antisipasi lost money? Batalin berbisnis, batalin investasi, kencangin ikat pinggang sampai gagal napas?
Tidak perlu seekstrem itu menyikapi resesi. Mari kita pahami sedikit apa itu resesi ekonomi.
Resesi Ekonomi adalah masa di mana aktivitas ekonomi melambat, ditandai dengan penurunan produk domestik bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut.
Beberapa indikator yang dapat digunakan suatu negara selama resesi antara lain penurunan PDB, penurunan pendapatan riil, berkurangnya lapangan kerja (peningkatan penggangguran), turunnya penjualan ritel, dan runtuhnya sektor manufaktur.
Di dunia pernah terjadi berkali-kali resesi sejak tahun 1772. Mulai dari credit crisis yang bermula di Inggris, Great Depression pada 1929 yang diduga bermula dari rontoknya Wall Street, kemudian krisis minyak OPEC pada tahun 1973, Asian Crisis tahun 1997 yang bahkan membuat Indonesia berganti tampuk kepemimpinan dan melahirkan orde reformasi. Terakhir financial crisis dengan runtuhnya bubble housing di Amerika yang menyebabkan Lehman Brothers, perusahaan investasi keuangan terbesar di dunia ambruk.
Indonesia sendiri pernah mengalami krisis moneter yang parah tahun 1998 namun pada resesi global 2007 yang terpusat di Amerika, Indonesia telah berhasil melewatinya dengan elegan walau BBM dan kurs dolar sempat membuat bleeding sektor bisnis namun struktur ekonomi Indonesia yang pernah babak belur pada 1998, membuat pondasi ekonomi Indonesia tidak lagi ditumpukan pada sektor manufaktur dan keuangan yang rentan terhadap inflasi dan kontraksi ekonomi global.
Bahkan akhir 2020, Indonesia dalam perjuangan menghadapi pandemi Covid-19 juga mengalami resesi dengan pertumbuhan PDB negatif selama 2 kuartal berturut-turut. Sektor usaha yang dipaksa Covid-19 melambat mengakibatkan terjadi PHK namun juga menciptakan peluang usaha rumahan yang tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Dari sejarahnya kita sadar bahwa resesi adalah sesuatu yang pasti terjadi, dan dapat terjadi kapan saja. Perang, bencana, wabah dan kebijakan moneter dan fiskal bisa menjadi pemicu datangnya resesi.
Lalu bagaimana mengantisipasinya? Apakah dengan jangan perang, jangan ada bencana, jangan ada wabah dan jangan salah bikin kebijakan spekulatif.
Faktanya resesi 2023 terjadi karena pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, inflasi, dan kenaikan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga, akan membuat investor menahan uang dan memilih menyimpannya dalam bentuk deposito daripada diputar dalam bisnis yang berisiko tinggi.
Bagi sektor usaha, tingginya suku bunga akan memperbesar cost of fund mereka. Akibatnya modal kerja (cash) akan tergerus untuk membayar bunga pinjaman sedangkan pasar sedang dalam kondisi bertahan. Maka efisiensi usaha akan berpindah pada pos biaya dan aset yang lain. Penurunan penjualan menyebabkan kapasitas produksi menganggur, tidak seimbang dengan ekspektasi income. Efeknya perlu dilakukan perampingan biaya tetap, salah satunya beban karyawan. Kata lainnya PHK. Pengangguran naik, uang terbatas, daya beli turun dan dampak sosial seperti keamanan akan muncul.
Bisakah itu dihentikan?
Tentu saja bisa walau perlu waktu untuk menstabilkan atau menyusun new equilibrium asumsi ekonomi.
Saat ini, hal yang bisa dilakukan adalah lebih peka membaca peluang sambil bertahan. Bertahan dengan rumus 3E: terapkan efisiensi, efektivitas dan ekonomis. Hanya lakukan hal-hal yang memiliki dampak langsung, secara hemat dan tepat sasaran.
Analoginya kalau butuhnya sayur, maka hanya beli sayur, jangan beli cemilan. Kalau bisa diproduksi sendiri, produksilah, berhemat (ekonomis). Kemudian lakukan usaha rumahan dengan memanfaatkan teknologi, moving to be digitalpreneur. Ciptakan nilai tambah (value added) dari apa yang ada.
Isu resesi sendiri bukan lagi isu yang menakutkan walaupun bagi karyawan yang sewaktu-waktu bisa saja di PHK.
Sebenarnya yang paling terdampak dari resesi adalah siapa saja yang memiliki utang baik individu maupun institusi. Apalagi jika rasio (komposisi/struktur modal) utang dan asetnya tidak ideal. Lebih banyak utang daripada total aset.
Untuk yang masih memiliki utang, pikirkan langkah untuk menyelesaikan utang. Jika bisa dilunasi dengan aset yang ada, segera lakukan sebelum suku bunga melambung.
Jika aset tidak mencukupi, minta restrukturisasi (roll over) utang. Bisa dengan menambah masa mengangsur atau pelunasan bertahap. Negosiasikan untuk kebaikan bersama. Karena jika sampai gagal bayar, yang kesulitan bukan hanya debitur, kreditur juga akan sulit.
Mulai sekarang, tingkatkan literasi keuangan. Terapkan komposisi alokasi penghasilan yang sesuai dengan rumus perencanaan keuangan dan preferensi keuangan Anda. Rumus perencanaan keuangan yang umum 10-20-30-40.
Dari 100% penghasilan, alokasikan 10% untuk sosial/ibadah (sedekah), 20% untuk dana darurat bisa dalam bentuk investasi likuid yang sewaktu-waktu bisa dicairkan, 30% gunakan untuk membayar utang produktif yang dilakukan untuk menunjang penghasilan, misalnya cicilan/sewa rumah, kendaraan, dan peralatan kerja.
Lalu sisanya 40% dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika tidak punya hutang, 30% dana untuk hutang produktif, alokasi untuk sosial dan investasi/dana darurat, jangan dimasukkan ke bagian kebutuhan hidup. Ingat Anda harus bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Jika saat menerapkan rumus ini, uang Anda masih kurang, maka itu saatnya harus menambah penghasilan bukan mengubah komposisi.
Seperti yang Saya sebutkan di atas, Anda bisa menjadi digitalpreneur yang modal usahanya murah, dan berisiko rendah.
Jika Anda berproduksi sendiri terapkan rumus ini: producing only what it needed, in the amount it needed and when it needed.
Akhirnya walaupun saat ini uang Anda, ancaman resesi bisa saja sewaktu-waktu mengubah keadaan. Anda bisa kehilangan pekerjaan bahkan usaha dalam sekejap. Bersiaplah dengan apa yang sudah Saya uraikan di atas. (*)