BatamNow.com, Jakarta – Selama lebih dari 75 tahun kedaulatan udara Indonesia dikendalikan Singapura. Setiap penerbangan dari Tanjungpinang ke Pekanbaru atau dari Pulau Natuna ke Batam harus meminta izin kepada otoritas penerbangan Negeri Singa.
Banyak contoh betapa para penerbang kita, baik sipil maupun militer, mendapatkan perlakuan diskriminatif dari otoritas penerbangan Singapura. Kapten Pilot Christian Bisara mengaku pernah diminta menurunkan ketinggian pesawat Garuda yang dikendalikannya karena jalur yang dilalui akan digunakan pesawat lain.
“Ini kurang ajar betul. Saya sempat menolak dan menyampaikan nota protes,” katanya saat berbicara dalam bedah buku Believe It or Not karya Marsekal (Purn) Chappy Hakim di Gramedia Pondok Indah, Jakarta, 7 November 2014.
Sejatinya, kekurangajaran yang dialami Christian belum seberapa. Otoritas penerbangan Singapura pernah mempermainkan pesawat yang ditumpangi Menhankam Jenderal Benny Moerdani saat akan mendarat di Pangkalan Udara Natuna, Batam pada 1991. Kala itu pesawat harus berputar-putar selama 15 menit di langit Natuna, Kepulauan Riau karena tak kunjung diberi izin mendarat.
Bisa dibayangkan betapa murkanya jenderal dan tokoh intelijen yang pernah sangat berkuasa di Indonesia itu begitu tahu ada perlakuan demikian dari Singapura. Negeri yang oleh BJ Habibie pernah disebut cuma noktah kecil di peta dunia. Sejak itu, Jenderal Benny bertekad untuk mengambil alih kontrol atas ruang udara atau FIR (Flight Information Region) di Natuna.
“Masak terbang di wilayah sendiri tapi diatur oleh negara lain,” kata Moerdani seperti dikisahkan Marsekal (Purn) Chappy Hakim dalam bukunya Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?. KSAU pada era Megawati yang juga dikenal sebagai pilot Hercules langganan Menhankam/Pangab Jenderal M. Yusuf itu paling getol menyuarakan pentingnya mengambil alih pengelolaan FIR.
Tapi faktanya upaya pengambilalihan itu ternyata tak kunjung terwujud. Ada saja alasan yang mengemuka, mulai dari kesiapan SDM Indonesia hingga kecanggihan berbagai peralatan navigasi udara yang belum dimiliki Indonesia. Akibatnya, seluruh penerbangan di langit Kepulauan Riau, dari Natuna ke Batam atau dari Tanjungpinang ke Pekanbaru, tetap harus minta izin ke Singapura.
“Seperti ada keengganan dari pihak Indonesia untuk mengambil haknya,” kata Chappy geram.
***
Lalu bagaimana bisa Singapura punya hak mengatur ruang udara yang jelas-jelas masuk ke wilayah Indonesia? Jawabannya ada pada konvensi International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada 1946. Kala itu forum ICAO mempercayakan Singapura dan Malaysia untuk mengelola FIR Kepri. Singapura memegang kendali sektor A dan C, Malaysia mengendalikan sektor B.
Alasannya sederhana, Singapura yang saat itu masih koloni Inggris dianggap mumpuni secara peralatan dan SDM. Lagipula, otoritas Singapura yang saat itu paling dekat dengan FIR Kepri.
Soal peralatan dan infrastruktur, serta kompetensi SDM ini menjadi salah satu titik lemah Indonesia saat bernegosiasi untuk mengambil alih pengelolaan FIR. Sadar akan hal itu, pada September 2015, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memodernisasi peralatan dan meningkatkan kemampuan personelnya agar Indonesia siap mengelola ruang udaranya sendiri.
Kala itu Jokowi memberi waktu tiga-empat tahun bagi Kementerian Perhubungan dan Tentara Nasional Indonesia untuk berbenah. Sambil mempersiapkan semua itu, Indonesia mulai berkomunikasi dengan Singapura dan Malaysia –negara tetangga yang ruang udaranya juga berbatasan dengan Indonesia- soal rencana pengambilalihan ini.
Keputusan Jokowi itu dilandasi oleh amanat UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 458 UU tersebut mengamanatkan, “Wilayah udara RI yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak UU itu berlaku.”
Sadar bahwa tekad Jokowi untuk mengambil alih FIR itu tidak main-main, Singapura kembali mengusik soal kecakapan SDM dan kecanggihan peralatan navigasi yang dibutuhkan. Duta Besar Singapura untuk Indonesia, Anil Kumar Nayar menegaskan bahwa persoalan di langit Kepri bukanlah tentang kedaulatan. Tapi lebih ke pertimbangan operasional dan teknis untuk memberikan pelayanan kontrol udara yang efektif.
“Prioritas utama adalah keselamatan penerbangan,” tulis Nayar melalui akun Facebook resmi Kedubes Singapura, 12 Desember 2017. Praktik pengelolaan wilayah suatu negara oleh negara lain, dia melanjutkan, sebagai hal yang lazim. Nayar mencontohkan, Indonesia juga mengelola wilayah udara Pulau Christmas, Australia; dan Timor Leste.
Pernyataan Pak Dubes Nayar itu tak akurat. Sebab pendelegasian oleh Australia adalah pelimpahan beban, bukan pendapatan mengingat tidak banyak pesawat yang melintas. Sehingga sangat tidak selaras jika dipadankan dengan pendelegasian pengelolaan langit Kepulauan Riau dan Natuna.
Untuk diketahui, selain soal kedaulatan negara pengendalian FIR juga menyangkut fulus jutaan dolar. Sebab setiap pesawat yang melintas di sana akan dikenakan pungutan (Route Air Navigation Service Charges). Bila satu pesawat melintasi dikenai 10 dolar AS saja, sudah berapa banyak yang dihimpun Singapura. Sedangkan Indonesia hanya mendapatkan prosentase yang ibaratnya remah-remah kue saja.
Kenyataan tersebut masih akan berlangsung lama, setidaknya 25 tahun ke depan. Meskipun Presiden Jokowi menyatakan Indonesia telah mengambil alih FIR untuk Natuna dalam pertemuan dengan PM Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Selasa (25/1/2022), bila menyimak kesepakatan yang ditandatangani ternyata tak sepenuhnya demikian.
Satu dari lima elemen penting dari kesepakatan yang baru ditandatangani, menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Indonesia akan bekerja sama dengan Singapura memberikan Penyediaan Jasa Penerbangan (PJP) di sebagian area FIR Indonesia yang berbatasan dengan FIR Singapura. Indonesia akan memberikan delegasi PJP pada area tertentu di ketinggian 0-37.000 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Di area tertentu tersebut, ketinggian 37.000 kaki ke atas tetap dikontrol Indonesia.
Secara diplomatis atau politis, memang kesannya Indonesia seolah telah mengambil alih kontrol FIR. Tapi secara ekonomi dengan mandat seperti itu Singapura tetap yang paling banyak memetik cuan dari PJP. Sebab selama ini penerbangan pesawat komersial umumnya memang di ketinggian kisaran tersebut. (*)
sumber: detikcom