BatamNow – Mengejutkan! Semua lahan Dam tadah hujan di Batam, masih berstatus hutan lindung (protected forest).
Kepala Seksi Wilayah II Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Batam, Decky Hendra Prasetya menguak itu, Jumat (25/09), di Batam.
Berkata di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di gedung DPRD Batam, Decky memaparkan semua Dam masih bermasalah dari aspek izin penggunaan atau pemanfaatan hutan lindung, kecuali Sei Gong.
Ketua DPRD Batam Nuryanto yang duduk di kursi pimpinan rapat RDPU, agak terperanjat mendengar pernyataan Decky. “Wah gawat ini, rupanya belum punya izin,” ujarnya.
Itu maka dalam resume RDPU, DPRD meminta BP Batam segera menyelesaikan persoalan penggunaan izin penggunaan atau pinjam pakai hutan lindung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sementara Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Boy Sembiring mengatakan bahwa setiap pemanfaatan hutan harus terlebih dulu mendapat izin dari Kementerian Kehutanan.
“Siapapun dan dari lembaga negara sekalipun, ” ujar Boy kepada BatamNow lewat telepon, Jumat malam (25/09) malam.
Sebagaimana UU No 18 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan bahwa sanksi hukumnya jelas karena penggunaan hutan lindung non prosedural.
Pengungkapan Decky ini menambah deretan kasus hutan dan hutan lindung yang dirambah di Batam. Ribuan hektare lapak-lapak bangunan perumahan, tadinya hutan dan hutan lindung.
Menjadi aneh, karena lahan dan hutan lindung sengaja dialokasikan BP Batam, mesti itu menyalahi aturan.
Seluas 11.500 hektare total seluruh Dam di Batam, sebanyak itulah lahan hutan lindung hilang menjadi Dam.
Belum lagi areal catchment area sebagai sumber air yang diperkirakan 30.000 hektare. Demikian juga dengan Dam Sei Ladi sebagai “tubuh hutan”.
Adapun masing-masing luas Dam, yakni 7.259 hektare di Dam Duringkang, Dam Muka Kuning 944 hektare, Dam Nongsa 212 hektare, Dam Sei Harapan 993 hektare, Dam Sei Ladi 1010 hektare, Dam Tembesi 842 hektare dan Dam Baloi 119 hektare. Dam Baloi sudah tak berfungsi.
Seluruh hutan lindung yang berubah wujud menjadi Dam, masih dicatatkan Kementerian Lingungan Hidup dan Kehutanan sebagai aset hutan yang dilindungi. Institusi negara itu tak pernah memberi izin pinjam pakai kepada BP Batam.
Miris melihatnya, tampak amburadulnya pengelolaan hutan lindung di Batam. Begitu sepele masalah ini di mata BP Batam. Padahal masih banyak konsekuensi yang muncul dari dampak arogansi pihak BP Batam, akibat penggunan hutan lindung non prosedural.
Berkilas balik tahun 80-an, awal pembangunan Batam. BJ Habibie pernah menegaskan pulau seluas 416 Km2 ini hanya 40% yang dapat dibangun. Seluas 60 % tetap menjadi zona hijau dan dijaga kelestariannya demi ekosistem lingkungan.
Apa artinya? BJ Habibie mau mengatakan bahwa hak kelola lahan berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) terbatas pada Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dikeluarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI. Namun tidak termasuk dengan hutannya.
Pada awalnya, hutan di Batam masih “perawan”. Pembangunannya sudah diskenario lewat Master Plan (Rencana Induk) oleh Otorita Batam (OB), yang kini bernama BP Batam.
Master Plan yang dirancang oleh para konsultan profesional asing semasa BJ Habibie, berbasis pada ekosistem lingkungan.
Kini kondisi hutan di Batam apalagi hutan lindungnya, telah luluh lantak hingga ke Pulau Rempang, Galang dan sekitarnya.
Menurut pihak KSDA Batam tentang kondisi lahan Dam yang tak ada izin ini, masih terus dilakukan pembahasan.
Pembahasan?
Memprihatinkan memang, hingga masa konsesi antara operator PT ATB dengan BP Batam selama 25 tahun berakhir, Dam masih status “bodong”.
Mengapa sampai berpuluh tahun izin pengelolaan atau pinjam pakai Dam ini tak kunjung kelar?
Direktur Humas, Promosi dan Protokol BP Batam Dendi Gustinandar beberapa kali diminta penjelasan tentang isu Dam ilegal ini.
“Saya coba koordinasikan dulu dengan pejabat berwenang,” ujar penghobi seni dan musik ini menjawab BatamNow, Senin (28/09).
Tak sekali BatamNow mengirim pesan WhatsApp kepada Dendi yang gemar memposting bakat menyanyinya di akun Facebooknya ini. Tapi sampai berita ini publis, belum dapat dipertemukan dengan pejabat berwenang.
Hutan lindung untuk Dam dibabat dan lesap. Dam memang sebagai wadah sumber daya air sebagai kebutuhan vital kehidupan manusia. Namun pengelolaannya tak harus sengkarut. Tidak dengan semberono memanejnya, “tabrak sana-sini”. Tidak dengan non prosedural.
Dari sini, tampak penanganan Dam oleh BP Batam, serasa misteri. Dan BatamNow akan mencoba menguak dan mengulik dimensi buruk dari dampak Dam ilegal ini.
Melihat kondisi ini, tak salah bila profesionalisme para ahli lingkungan di BP Batam dengan berbagai disiplin ilmunya, patut dipertanyakan.
Pun melihat dari fakta ini, wajar muncul gaduh di pengakhiran konsesi air di Batam. Tak berlebihan bila pihak PT Adhya Tirta Batam melaporkan BP Batam ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Karena diduga ada kecurangan proses dan prosedur lelang, transisi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Batam.
Soal pemanfaatan hutan lindung yang ilegal ini, BP Batam mestinya membuka masalah ini ke publik secara transparan. Rakyat selama puluhan tahun mendapat suplai air Dam dari perambahan hutan lindung yang ilegal.
Fungsi pokok hutan lindung adalah juga sebagai sistem penyangga kehidupan. Tapi tak terurus dengan baik.
Nah, kita menunggu action Purwiyanto, Wakil Kepal BP Batam sebagai Pelaksana Harian (Plh) Kepala BP Batam. Apakah dia mampu menuntaskan masalah ini dengan segera?, karena tanggung jawab berada di tangannya. (Junpa/Oki)