BatamNow.com, Jakarta – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.62 Tahun 2018 yentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional, dinilai tidak tepat digunakan kepada warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau, terkait proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.
“Lahirnya Perpres Nomor 78 Tahun 2023 cukup sensitif bagi warga Pulau Rempang yang belum sembuh luka akibat peristiwa kekerasan aparat pada September dan Oktober 2023 yang lalu,” kata Petrus Selestinus SH MH, kuasa hukum Himad Purelang, dalam keterangan persnya kepada BatamNow.com, Minggu (31/12/2023).
Dia menilai, Perpres No 78 Tahun 2023 dimaksudkan untuk memberi santunan kepada warga yang menempati tanah Negara atau tanah yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah atau BUMN/BUMD.
Sementara, warga Pulau Rempang memiliki sejarah penghunian dan pemilikan hak atas tanah sejak ratusan tahun silam, berinteraksi sosial dan hukum dengan warga lain lalu terjadi peralihan hak atas tanah. Hanya saja Pemerintah tidak mau mengakui hal tersebut.
“Aromanya, pemerintah akan jadikan Perpres 78 Tahun 2023 sebagai pijakan dalam mengosongkan warga Pulau Rempang. Itu dapat dibaca pada ketentuan Pasal 6 sampai Pasal 10 Perpres tersebut lewat Tim Terpadu. Ini mengerikan karena mengabaikan ketentuan UU, di mana tanah Pulau Rempang dianggap milik Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN atau BUMD,” terang Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara ini.
Jika itu yang dimaksud, lanjutnya, maka Pemerintah keliru besar. Pemerintah melakukan pelanggaran hukum dengan menyiapkan payung hukum, di mana warga Rempang hanya diberikan santunan atas dasar belas kasihan pemerintah.
“Warga Rempang memiliki kesejarahan di pulau tersebut. Mereka telah mendiami pulau tersebut ratusan tahun lamanya dari nenek moyang mereka,” tegas advokat senior ini.
Petrus mengaku aneh, bila kriteria tanah Pulau Rempang ditafsirkan sebagai tanah negara, milik pemerintah, pemda, BUMN dan/atau BUMD.
Hapus Sejarah
Nampaknya, pemerintah melihat permasalahan warga Rempang hanya dari sudut kebutuhan Pembangunan Nasional (nomenklatur baru, seharusnya nomenklatur yang dipakai adalah Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).
Lanjut Petrus, ini patut dipertanyakan. “Bisa saja Perpres No 78 Tahun 2023 itu dipaksakan diberlakukan terhadap warga Rempang yang menolak menyerahkan tanahnya tanpa ganti rugi yang wajar dan adil, lalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga muncul kerusuhan. Dan, dari kerusuhan itu lalu payung hukumnya adalah Perpres No 78 Tahun 2023,” tukasnya.
Jika maksud Perpres No78 Tahun 2023 diterbitkan untuk mengantisipasi dampak sosial yang ditimbulkan sebagai suatu bentuk penanganan dampak sosial tadi, maka bisa menimbulkan tafsir bahwa pemerintah akan melanjutkan cara-cara represif, brutal, dan tidak manusiawi terhadap warga Rempang. Yang penting kosongkan dahulu Pulau Rempang, urusan dampak sosialnya pemerintah akan berlindung dibalik Perpres No 78 Tahun 2023, yang tujuannya tidak jelas dan tendensius. (RN)