BatamNow.com, Jakarta – Ada kesan pembiaran oleh pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan pengelola hutan sawit yang diduga ilegal di Indonesia. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, sedikitnya ada 222 perusahan ilegal yang tersebar di 14 provinsi bakal tetap bisa beroperasi lantaran mendapat “pengampunan dosa” yang diberikan melalui mekanisme keterlanjuran yang diatur dalam Undang-undang Cipa Kerja (Ciptaker).
Diuraikan, dari 222 korporasi tersebut, 37 perusahaan ada di Riau dengan luasan 112.858 hektare. Lalu, Sumatera Utara sebanyak 10 perusahaan dengan 55.165 ha, Sumatera Selatan 6 perusahaan seluas 11.199 ha dan Bengkulu 1 perusahaan seluas 1.661 ha. Selanjutnya, Kepulauan Riau 2 perusahaan (3.683 ha), Bangka Belitung 1 perusahaan (60 ha).
Bergeser ke Pulau Kalimantan, ada 8 perusahaan dengan luasan 39,80 ha, Kalteng 109 perusahaan seluas 449.548 ha, Kalimantan Timur 11 perusahaan 7.377 ha dan Kalsel 18 perusahaan seluas 29.893 ha.
Kemudian, di Maluku Tengah ada 3 perusahaan dengan luasan 4.142 ha, dan Papua sebanyak 2 perusahaan dengan 13.141 ha.
“Mekanisme keterlanjuran ini diakomodasi dalam Pasal 110 A dan 110 B UU Ciptaker,” jelas Pengkampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian, kepada BatamNow.com, di Jakarta, Rabu (12/01/2022).
Padahal, lanjut Uli, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya telah mengatakan bahwa UU CK ini adalah inkonstitusional, meskipun memakai kata ‘bersyarat’, inkonstitusional bersyarat.
“Seharusnya penyelenggara negara, baik eksekutif maupun legislatif tidak melakukan revisi, tetapi membatalkan UU ini, karena regulasi ini merupakan produk hukum yang bertentangan dengan mandat konstitusi,” kata Uli lagi.
Dia menilai, penyelenggara negara seharusnya fokus melahirkan kebijakan dan produk hukum yang memulihkan hak rakyat dań lingkungan hidup.
Menurut Uli, pihak yang paling merugi dari aktivitas perkebunan sawit ilegal dalam hutan adalah rakyat. Karena ini menjadi salah satu penyebab konflik antara rakyat dan perusahaan.
“Tidak sedikit perusahaan yang mengikuti mekanisme keterlanjuran ini berkonflik di lapangan,” ujarnya.
Selain itu, perubahan bentang ekosistem hutan menjadi perkebunan monokultur sawit skala besar akan berdampak pada bencana ekologis, seperti banjir dan longsor. Lagi-lagi kemudian yang akan menanggung itu adalah rakyat.
Sementara itu, sambungnya, apa yang akan didapatkan negara melalui pembayaran denda administrasi yang harus dibayarkan perusahaan-perusahaan yang mengikuti mekanisme keterlanjuran ini tidak seberapa dibandingkan kerugian selama bertahun-tahun yang harus dialami perusahaan.
“Selama perusahaan tersebut beraktivitas secara ilegal dalam kawasan Hutan, beberapa besar pendapatan negara yang hilang? Pasti lebih besar lagi,” tegasnya.
Kata Uli, pemerintah seharusnya mencabut ratusan izin usaha ilegal itu, bukan malah memberikan pengampunan. Sebab, kebanyakan dari perusahaan itu juga menyebabkan kerusakan alam dan konflik di masyarakat.
Dua korporasi yang diduga ilegal di Kepri yakni, PT Sinar Alam Sejati yang berada di Kawasan Hutan Produksi Konversi seluas 227 hektare dan PT Tirta Madu berada di Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi untuk Konversi dengan luas total 3.456 hektare.
Dari fakta di lapangan, nampak jelas sejauhmana komitmen pemerintah untuk ikut serta melestarikan lingkungan hidup. (RN)